Oleh: Yayan Sumantri
JOHN Naisbit seorang futurolog Amerika dalam bukunya "Global Paradox" meramalkan bahwa akibat globalisasi dan perubahaan dunia yang berjalan sangat cepat maka dalam abad XXI akan banyak negara terpecah belah dan muncul puluhan negara baru. Kebenaran atas ramalan itu terbukti diawali ketika Presiden Uni Soviet, Michael Gorbacev, meluncurkan program perestroika atau keterbukaan. Imperium Uni Soviet sebagai kekuatan adidaya akhirnya runtuh terpecah menjadi beberapa negara antara lain; Rusia, Ukrania, Georgia, Armenia, Kirgizstan, Uzbeskistan, Turmenkistan dan Azerbaijan.
Bola salju terus bergulir dan dunia menyaksikan keruntuhan Jugoslavia dan Chekoslovakia, sehingga sekarang muncul negara baru Serbia, Bosnia, Herzegovina, Cheko dan Slovia.
Di Indonesia, ketika Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun jatuh dan muncul era reformasi, beberapa gerakan sparatisme di daerah seolah mendapat spirit baru sehingga upaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tumbuh kembali. Sebut saja Gerakan Aceh Merdeka (GAM]) Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Pasundan, Riau Merdeka, dan seterusnya.
Upaya pemisahan diri pada umumya didasarkan pada alasan ketidakadilan pemerintah pusat dalam memperlakukan daerah, ketimpangan pembangunan antar daerah, eksplorasi sumber daya alam daerah yang berlebihan oleh pemerintah pusat dan lain-lain. Selain itu, agar upaya pemisahan diri mendapat dukungan luas maka isu-isu primordial yang mampu menggugah emosi massa pun digulirkan seperti sentimen suku, agama, ras, golongan, budaya dan lain-lain.
Paradoks Pemekaran Wilayah Secara umum ada tiga asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dewasa ini, memberikan kewenangan yang sangat luas bagi kabupaten/kota, sedangkan propinsi memiliki kewenangan terbatas.
Adapun pemerintah pusat "hanya" memegang kendali kewenangan bidang politik, hubungan luar negeri, hukum, fiskal dan moneter dalam arti mencetak uang dan pertahanan keamanan. Salah satu fenomena yang muncul dalam era otonomi daerah adalah menjamurnya upaya pemekaran wilayah dengan harapan pemekaran wilayah akan mempercepat pelayanan publik dan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Data dari Departemen Dalam Negeri, selama kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1998 sampai dengan juni 2009 telah berdiri sebanyak 250 daerah otonom baru terdiri dari tujuh propinsi, 165 kabupaten dan 33 kota. Selanjutnya hasil evaluasi yang dilakukan Departemen Dalam Negeri (media PAB Indonesia, 7 Juli 2009) ternyata bahwa tingkat keberhasilan daerah baru hasil pemekaran dibandingkan dengan sebelum pemekaran hanya 15% persen saja. Artinya pemekaran daerah tidak berdampak positif kepada kesejahteraan, pelayanan publik tidak lebih baik, tidak mampu mengembangkan potensi ekonomi dan hanya bergantung kepada limpahan dana pusat. Bahkan untuk beberapa daerah tertentu justru terjadi kemunduran dilihat dari kualitas layanan publik/infrastruktur dan kemampuan fiskal daerah. Mendagri Mardianto (PR Selasa 7 Juli 2009) menegaskan "sungguh disayangkan terbentuknya daerah baru tidak berbanding lurus dengan peningkatan dan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah, bahkan sebaiknya hampir di sebagian besar daerah otonom baru itu.
Pertumbuhan kesejahteraan cenderung menurun, pelayanan publik stagnan dan daya saing daerah belum mengemuka". Karena itu cukup beralasan ketika Depdagri lebih memperketat persyaratan pemekaran wilayah bahkan muncul wacana untuk menunda pemekaran wilayah. Meskipun banyak fakta yang tidak bisa dibantah bahwa tidak sedikit daerah otonom baru hasil pemekaran masih terseok-seok "menghidupi dirinya sendiri", semangat untuk memekarkan daerah tidak pernah surut.
Di Jawa Barat saja, tiga kabupaten dirintis untuk dimekarkan yaitu Bogor, Ciamis dan Sukabumi. Sehingga diharapkan bertambah tiga lagi daerah otonom baru yaitu Kabupaten Bogor Barat, Kabupaten Pangandaraan dan Kabupaten Sukabumi Selatan.
Bahkan para elit politik yang berdomisili di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon pun ketika masa pemilihan kepala daerah sedang berlangsung di daerahnya, turut menggulirkan wacana pembentukan Kabupaten Indramayu Barat atau Kota Indramayu dan Kabupaten Cirebon Timur. Kepentingan Elit Ketika Bupati Indramayu, Iriyanto MS Syafiuddinn atau Bung Yance selaku kader Golkar gagal diusung oleh partainya sendiri untuk menjadi calon wakil Gubenur Jawa Barat mendampingi Dani Setiawan Gubernur, Jawa Barat saat itu, muncul reaksi kekecewaan dari yang bersangkutan dan dari "warga masyarakat Indramayu" sehingga mengancam untuk memisahkan diri dari Jawa Barat dan membentuk Propinsi Cirebon.
Upaya itu mendapat dukungan dari Bupati dan Walikota Cirebon serta para Ketua DPRD se wilayah Cirebon. Langkah mulai ada ganjalan ketika Bupati Kuningan belum tegas menyatakan dukungan sedangkan Bupati Majalengka cenderung untuk menolak dan lebih menghendaki wilayah Cirebon tetap menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat.
Terlepas dari aspek politis yang melatarbelakangi wacana pembentukan Propinsi Cirebon, pemekaran wilayah pada dasarnya dimungkinkan sepanjang didasarkan pada hasil kajian yang matang, objektif, rasional, realistis, dapat meningkatkan pelayanan publik, dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. secara lebih kongkret.
Menurut Bupati Majalengka, H Sutrisno, para penggagas pemekaran Propinsi Cirebon harus mampu menjawab tiga pertanyaan mendasar: Pertama, apa yang melatarbelakangi berdirinya Propinsi Cirebon, kedua apa keuntungan dan kerugiannya apabila Propinsi Cirebon berdiri dibandingkan apabila tetap bergabung dengan Jawa Barat, dan ketiga secara khusus apa manfaatnya bagi masyarakat Kabupaten Majalengka?
Elit vs Kepentingan Rakyat Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga kelompok/elit yang lebih dahulu memperoleh keuntungan apabila ada pemekaran daerah yaitu politisi, birokrat dan pengusaha. Bagi kalangan politisi, terbuka kesempatan menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah serta menjadi anggota DPRD; bagi birokrat tersedia ribuan jabatan baru baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional; sedangkan bagi pengusaha dapat berharap dari berbagai proyek rehabilitasi dan pembangunan gedung pemerintahan serta pengadaan barang jasa yang sudah pasti kesemuanya "bersifat mendesak" dan masuk dalam "skala prioritas".
Biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan sebagaimana digambarkan di atas disadari atau tidak akan menyedot biaya belanja publik. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi beban rakyat melalui intensifikasi dan ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Atas alasan itulah banyak kalangan yang meyakini bahwa pemekaran wilayah tidak selalu berbanding lurus dengan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat bahkan justru sebaliknya.
Fakta lambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat bahkan terjadi kemunduran ketika suatu daerah dimekarkan telah diuraikan dalam paradoks pemekaran wilayah. Potensi Cirebon Wilayah Cirebon memiliki beragam potensi yang layak untuk dikembangkan bahkan telah dikembangkan.
Sebut saja Kabupaten Indramayu; ada eksplorasi serta kilang pengolahan minyak dan gas bumi, hasil perikanan laut, mangga dermayon; Kabupaten Majalengka merupakan penghasil migas, produk pertanian, sayuran, peternakan, dan perikanan air tawar; Kabupaten Kuningan kaya akan objek wisata baik wisata alam, wisata sejarah, ekowisata, situs purbakala, dan hasil pertanian; Kabupaten Cirebon memiliki industri rotan, sentra batik, makanan olahan, perikanan laut, industri skala menengah, dan wisata rohani; sedangkan Kota Cirebon semakin berkembang sebagai kota jasa dan perdagangan.
Memperhatikan banyaknya potensi yang dimiliki wilayah Cirebon, cukup beralasan apabila berkembang aspirasi untuk membentuk propinsi sendiri, terpisah dari Jawa Barat. Andai waktu bisa berjalan mundur dan sejarah diulang, pemilihan presiden yang baru digelar beberapa waktu lalu sesungguhnya merupakan momen yang sangat tepat untuk mengukur seberapa kuat dukungan "penguasa dan calon penguasa" serta dukungan rakyat atas wacana pembentukan Propinsi Cirebon.
Akan tetapi tampaknya momen itu tidak dimanfaatkan sehingga kita tidak mendengar adanya statemen apapun dari capres dan cawapres bahkan rakyat pun sepertinya apatis. Apakah itu merupakan pertanda rendahnya dukungan pemerintah dan rakyat?. Wallahualam. Pemekaran wilayah sebenarnya hanyalah salah satu opsi dari sekian banyak opsi untuk mempercepat pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ada opsi lain yang lebih murah biayanya antara lain melalui pelimpahan kewenangan maupun pemberian tugas pembantuan yang disertai dengan sarana dan prasarana serta pembiayaan yang memadai. Apalagi disertai dengan tumbuhnya inisiatif dan kreativitas daerah dalam menggali dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya.
Perjuangan para penggagas Propinsi Cirebon yang tergabung dalam P3C dengan semangat pantang menyerah dan secara maraton melakukan lobi-lobi politik layak diapresiasi. Kita berharap apa yang dilakukan oleh siapapun termasuk P3C untuk menggagas pembentukan Propinsi Cirebon murni gerakan rakyat demi rakyat dan bukan kepentingkan segelintir elit yang dikemas dalam bungkus kepentingan rakyat.***
*) Penulis adalah praktisi pemerintahan tinggal di Majalengka.
Sumber :
http://sinarmedia-news.com/index.php?isi=3&cat=&nid=8