Tuesday, March 16, 2010

Propinsi Cirebon


Oleh: Yayan Sumantri

JOHN Naisbit seorang futurolog Amerika dalam bukunya "Global Paradox" meramalkan bahwa akibat globalisasi dan perubahaan dunia yang berjalan sangat cepat maka dalam abad XXI akan banyak negara terpecah belah dan muncul puluhan negara baru. Kebenaran atas ramalan itu terbukti diawali ketika Presiden Uni Soviet, Michael Gorbacev, meluncurkan program perestroika atau keterbukaan. Imperium Uni Soviet sebagai kekuatan adidaya akhirnya runtuh terpecah menjadi beberapa negara antara lain; Rusia, Ukrania, Georgia, Armenia, Kirgizstan, Uzbeskistan, Turmenkistan dan Azerbaijan. 

Bola salju terus bergulir dan dunia menyaksikan keruntuhan Jugoslavia dan Chekoslovakia, sehingga sekarang muncul negara baru Serbia, Bosnia, Herzegovina, Cheko dan Slovia.

Di Indonesia, ketika Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun jatuh dan muncul era reformasi, beberapa gerakan sparatisme di daerah seolah mendapat spirit baru sehingga upaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tumbuh kembali. Sebut saja Gerakan Aceh Merdeka (GAM]) Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Pasundan, Riau Merdeka, dan seterusnya.

Upaya pemisahan diri pada umumya didasarkan pada alasan ketidakadilan pemerintah pusat dalam memperlakukan daerah, ketimpangan pembangunan antar daerah, eksplorasi sumber daya alam daerah yang berlebihan oleh pemerintah pusat dan lain-lain. Selain itu, agar upaya pemisahan diri mendapat dukungan luas maka isu-isu primordial yang mampu menggugah emosi massa pun digulirkan seperti sentimen suku, agama, ras, golongan, budaya dan lain-lain.

Paradoks Pemekaran Wilayah Secara umum ada tiga asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dewasa ini, memberikan kewenangan yang sangat luas bagi kabupaten/kota, sedangkan propinsi memiliki kewenangan terbatas.

Adapun pemerintah pusat "hanya" memegang kendali kewenangan bidang politik, hubungan luar negeri, hukum, fiskal dan moneter dalam arti mencetak uang dan pertahanan keamanan. Salah satu fenomena yang muncul dalam era otonomi daerah adalah menjamurnya upaya pemekaran wilayah dengan harapan pemekaran wilayah akan mempercepat pelayanan publik dan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Data dari Departemen Dalam Negeri, selama kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1998 sampai dengan juni 2009 telah berdiri sebanyak 250 daerah otonom baru terdiri dari tujuh propinsi, 165 kabupaten dan 33 kota. Selanjutnya hasil evaluasi yang dilakukan Departemen Dalam Negeri (media PAB Indonesia, 7 Juli 2009) ternyata bahwa tingkat keberhasilan daerah baru hasil pemekaran dibandingkan dengan sebelum pemekaran hanya 15% persen saja. Artinya pemekaran daerah tidak berdampak positif kepada kesejahteraan, pelayanan publik tidak lebih baik, tidak mampu mengembangkan potensi ekonomi dan hanya bergantung kepada limpahan dana pusat. Bahkan untuk beberapa daerah tertentu justru terjadi kemunduran dilihat dari kualitas layanan publik/infrastruktur dan kemampuan fiskal daerah. Mendagri Mardianto (PR Selasa 7 Juli 2009) menegaskan "sungguh disayangkan terbentuknya daerah baru tidak berbanding lurus dengan peningkatan dan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah, bahkan sebaiknya hampir di sebagian besar daerah otonom baru itu.

Pertumbuhan kesejahteraan cenderung menurun, pelayanan publik stagnan dan daya saing daerah belum mengemuka". Karena itu cukup beralasan ketika Depdagri lebih memperketat persyaratan pemekaran wilayah bahkan muncul wacana untuk menunda pemekaran wilayah. Meskipun banyak fakta yang tidak bisa dibantah bahwa tidak sedikit daerah otonom baru hasil pemekaran masih terseok-seok "menghidupi dirinya sendiri", semangat untuk memekarkan daerah tidak pernah surut.

Di Jawa Barat saja, tiga kabupaten dirintis untuk dimekarkan yaitu Bogor, Ciamis dan Sukabumi. Sehingga diharapkan bertambah tiga lagi daerah otonom baru yaitu Kabupaten Bogor Barat, Kabupaten Pangandaraan dan Kabupaten Sukabumi Selatan.

Bahkan para elit politik yang berdomisili di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon pun ketika masa pemilihan kepala daerah sedang berlangsung di daerahnya, turut menggulirkan wacana pembentukan Kabupaten Indramayu Barat atau Kota Indramayu dan Kabupaten Cirebon Timur. Kepentingan Elit Ketika Bupati Indramayu, Iriyanto MS Syafiuddinn atau Bung Yance selaku kader Golkar gagal diusung oleh partainya sendiri untuk menjadi calon wakil Gubenur Jawa Barat mendampingi Dani Setiawan Gubernur, Jawa Barat saat itu, muncul reaksi kekecewaan dari yang bersangkutan dan dari "warga masyarakat Indramayu" sehingga mengancam untuk memisahkan diri dari Jawa Barat dan membentuk Propinsi Cirebon.

Upaya itu mendapat dukungan dari Bupati dan Walikota Cirebon serta para Ketua DPRD se wilayah Cirebon. Langkah mulai ada ganjalan ketika Bupati Kuningan belum tegas menyatakan dukungan sedangkan Bupati Majalengka cenderung untuk menolak dan lebih menghendaki wilayah Cirebon tetap menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat.

Terlepas dari aspek politis yang melatarbelakangi wacana pembentukan Propinsi Cirebon, pemekaran wilayah pada dasarnya dimungkinkan sepanjang didasarkan pada hasil kajian yang matang, objektif, rasional, realistis, dapat meningkatkan pelayanan publik, dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. secara lebih kongkret.

Menurut Bupati Majalengka, H Sutrisno, para penggagas pemekaran Propinsi Cirebon harus mampu menjawab tiga pertanyaan mendasar: Pertama, apa yang melatarbelakangi berdirinya Propinsi Cirebon, kedua apa keuntungan dan kerugiannya apabila Propinsi Cirebon berdiri dibandingkan apabila tetap bergabung dengan Jawa Barat, dan ketiga secara khusus apa manfaatnya bagi masyarakat Kabupaten Majalengka?

Elit vs Kepentingan Rakyat Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga kelompok/elit yang lebih dahulu memperoleh keuntungan apabila ada pemekaran daerah yaitu politisi, birokrat dan pengusaha. Bagi kalangan politisi, terbuka kesempatan menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah serta menjadi anggota DPRD; bagi birokrat tersedia ribuan jabatan baru baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional; sedangkan bagi pengusaha dapat berharap dari berbagai proyek rehabilitasi dan pembangunan gedung pemerintahan serta pengadaan barang jasa yang sudah pasti kesemuanya "bersifat mendesak" dan masuk dalam "skala prioritas".

Biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan sebagaimana digambarkan di atas disadari atau tidak akan menyedot biaya belanja publik. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi beban rakyat melalui intensifikasi dan ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Atas alasan itulah banyak kalangan yang meyakini bahwa pemekaran wilayah tidak selalu berbanding lurus dengan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat bahkan justru sebaliknya.

Fakta lambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat bahkan terjadi kemunduran ketika suatu daerah dimekarkan telah diuraikan dalam paradoks pemekaran wilayah. Potensi Cirebon Wilayah Cirebon memiliki beragam potensi yang layak untuk dikembangkan bahkan telah dikembangkan.

Sebut saja Kabupaten Indramayu; ada eksplorasi serta kilang pengolahan minyak dan gas bumi, hasil perikanan laut, mangga dermayon; Kabupaten Majalengka merupakan penghasil migas, produk pertanian, sayuran, peternakan, dan perikanan air tawar; Kabupaten Kuningan kaya akan objek wisata baik wisata alam, wisata sejarah, ekowisata, situs purbakala, dan hasil pertanian; Kabupaten Cirebon memiliki industri rotan, sentra batik, makanan olahan, perikanan laut, industri skala menengah, dan wisata rohani; sedangkan Kota Cirebon semakin berkembang sebagai kota jasa dan perdagangan.

Memperhatikan banyaknya potensi yang dimiliki wilayah Cirebon, cukup beralasan apabila berkembang aspirasi untuk membentuk propinsi sendiri, terpisah dari Jawa Barat. Andai waktu bisa berjalan mundur dan sejarah diulang, pemilihan presiden yang baru digelar beberapa waktu lalu sesungguhnya merupakan momen yang sangat tepat untuk mengukur seberapa kuat dukungan "penguasa dan calon penguasa" serta dukungan rakyat atas wacana pembentukan Propinsi Cirebon.

Akan tetapi tampaknya momen itu tidak dimanfaatkan sehingga kita tidak mendengar adanya statemen apapun dari capres dan cawapres bahkan rakyat pun sepertinya apatis. Apakah itu merupakan pertanda rendahnya dukungan pemerintah dan rakyat?. Wallahualam. Pemekaran wilayah sebenarnya hanyalah salah satu opsi dari sekian banyak opsi untuk mempercepat pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ada opsi lain yang lebih murah biayanya antara lain melalui pelimpahan kewenangan maupun pemberian tugas pembantuan yang disertai dengan sarana dan prasarana serta pembiayaan yang memadai. Apalagi disertai dengan tumbuhnya inisiatif dan kreativitas daerah dalam menggali dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya.

Perjuangan para penggagas Propinsi Cirebon yang tergabung dalam P3C dengan semangat pantang menyerah dan secara maraton melakukan lobi-lobi politik layak diapresiasi. Kita berharap apa yang dilakukan oleh siapapun termasuk P3C untuk menggagas pembentukan Propinsi Cirebon murni gerakan rakyat demi rakyat dan bukan kepentingkan segelintir elit yang dikemas dalam bungkus kepentingan rakyat.***

*) Penulis adalah praktisi pemerintahan tinggal di Majalengka.


Sumber :

http://sinarmedia-news.com/index.php?isi=3&cat=&nid=8


Gubernur Aceh: Pemekaran Aceh Dagelan


Gubernur Nangroe Darussalam Aceh (NAD) Irwandi Yusuf menyatakan usulan pemekaran Aceh tak akan menjadi kenyatan. Pasalnya, usulan ini tidak didukung Pemerintah NAD dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NAD.

"Ini dagelan segelintir elite saja," kata Irwandy kepada Tempo, Kompas, dan Detik Com yang mewawancarainya di Hotel Nikko, Jakarta, Kamis (24/1). Irwandy sendiri akan menyampaikan penolakannya malam nanti kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Seperti diketahui, Selasa lalu, dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui pembentukan 8 provinsi baru hasil pemekaran. Dua diantaranya adalah Provinsi Aceh Leuseur Antara dan Aceh Barat Selatan.

"Saya akan bilang ke beliau (Presiden Yudhoyono), ini dagelan yang takkan jadi kenyataan," ujar Irwandy. Menurut dia, usulan pemekaran Aceh menjadi tiga provinsi hanya akal-akalan para elite politik di pusat dan kabupaten yang ingin mekar untuk mencari kekuasaan.

"Itu isu lama, dan berhenti begitu saja karena masyarakat di dua usulan provinsi baru itu tidak sepakat," kata Irwandy. Dulu, ia melanjutkan, usulan itu melingkupi 11 kabupaten/kotamadya dari dua usulan provinsi baru Aceh ini. Total jumlah kabupaten/kotamadya di Aceh saat ini mencapai 23 buah.

Menurut Irwandy, pihaknya sudah melayangkan surat ke DPR RI mengenai usulan itu. Disamping tidak berangkat dari bawah, keinginan pemekaran itu bertentangan dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh."Dalam dua ketentuan itu sudah jelas jarak NAD dimana, dan saya akan tetap mempertahankan Aceh satu," katanya.

Irwandy optimis dengan dukungan DPRD dan masyarakat Aceh yang menolak, usulan itu tak akan menjadi kenyataan. Terlebih lagi, presiden adalah tipe pemimpin yang tidak suka pemekaran. "Kalau kami dan DPRD saja nggak setuju, nggak kan jadi itu barang," ujarnya.

Pertimbangan apapun, menurut Irwandy, tidak bisa menjadi alasan pemekaran. Perekonomian, terutama untuk dua daerah yang diusulkan jadi provinsi Aceh baru pun sudah merata. “Seharusnya sekarang kita berpikir bagaimana membangun Aceh, bukan buat dagelan kayak gini," kata dia.

Justru kalau itu jadi, Irwandy menyebut dua provinsi Aceh baru itu akan menjadi daerah termiskin karena tidak mendapat dana otonomi khusus dan dana bagi hasil minyak dan gas. "Ini hanya permainan segelintir orang yang tidak puas terhadap saya dan ingin kekuasaannya lebih," tandas Irwandy.

Munculnya usulan ini, masih menurut Irwandy, murni datang dari pusat tanpa melalui mekanisme yang seharusnya, yaitu meminta persetujuan dari Gubernur dan DPRD setempat. "Ini lelucon bodoh," katanya.

Anton Aprianto


Sumber :

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/24/brk,20080124-116133,id.html

24 Januari 2008


Sumber Gambar :

http://apris.host22.com/index.php?tab=map&mod=map



Mensejahterakan Rakyat Melalui Pembentukan Propinsi Tapanuli

Oleh Togap Simangunsong

Tapanuli secara given merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara sejak terbentuknya daerah ini. Namun demikian, fakta pembangunan di kawasan ini, baik fisik maupun non fisik jauh tertinggal dibanding wilayah yang berada di pantai timur dari provinsi ini. Jika dilihat dari peranan dan kemampuan orang Batak di luar Tapanuli baik di Medan, Jakarta, Papua, daerah lain dan bahkan di luar negeri, kemajuan di wilayah Tapanuli seharusnya bisa jauh lebih maju dari kondisi saat ini dan bahkan bisa beyond our expectation.

Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan berlanjut dan harus dilakukan terobosan (breakthrough) untuk memperbaikinya. Terobosan yang akan dilakukan harus mampu mempercepat pembangunan kawasan ini yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Hingga saat ini, terobosan yang paling efektif dan paling efisien dilakukan adalah melalui “PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI”.

Diakui, memang masih terdapat pro dan kontra mengenai urgensi dibentuknya Provinsi Tapanuli. Pro-kontra sebagai sebuah hal yang wajar harus disikapi positif dan direspon dengan memberikan penjelasan secara terus menerus dan secara persuasif mengajak para pihak yang masih kontra untuk bersama-sama mendukung pembentukan provinsi ini. Untuk meyakinkan para pihak, khususnya yang masih kontra, yang selama ini berfikir negatif terhadap usul pembentukan Propinsi Tapanuli, penulis mencatat lima hal yang harus dijawab dengan tuntas.

Pertama, harus diyakinkan bahwa pembentukan Propinsi Tapanuli tidak akan merusak kekerabatan lima puak Batak yang terdiri dari Toba, Mandailing, Pakpak, Simalungun dan Karo. Pembentukan Provinsi Tapanuli adalah terkait erat dengan penetapan batas administrasi pemerintahan dan bukan membatasi wilayah adat istiadat. Batas administrasi pemerintahan TIDAK akan mempengaruhi/membentuk garis batas budaya batak. Contoh sederhana adalah kita yang tinggal diluar Tapanuli, yang dibatasi wilayah administratif, dalam menggelar acara adat masih tetap menggunakan adat Batak. Contoh yang lebih ekstrim, dalam setiap perjajian batas negara selalu dipertahankan kebiasaan adat di perbatasan negara di dalam perjanjian internsional, meskipun telah dibatasi oleh batas negara. Hal seperti ini telah dilakukan di perbatasan Papua dengan Papua Nugini, Sarawak dengan Kalbar, Sabah dengan Kaltim dan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste.

Kedua, Keraguan berbagai pihak akan sumber daya alam sebagai sumber pendapat daerah yang liquid sungguh tidak tepat. Memang, Tapanuli saat ini tidak memiliki sumber daya hutan dan tambang yang siknifikan sebagai sumber pendapatan daerah, tetapi wilayah ini memiliki potensi sumber energi yang melimpah. Disamping itu sekarang jaman sudah berubah, dimana terjadi kecenderungan daerah tidak lagi mengharapkan hutan sebagi sumber pendapatan. Bahkan sebaliknya, Tapanuli kedepan akan menyediakan anggaran yang cukup besar untuk mengembalikan fungsi hutan seperti sedia kala.

Sumber pendapatan dari sektor pariwisata yang sangat potensial akan menjadi andalan Tapanuli. Penataan pariwisata alam dapat dikembangkan secara kreatif dengan pariwisata budaya dan agama. Pengembangan dan pembangunan industri pariwisata dapat dilakukan terpadu dan bekerjasama dengan wilayah sekitar seperti Medan-Siantar-Simalungun dan Sumatera Barat serta dikemas dengan khas Tapanuli dan dipasarkan secara mouth to mouth marketing.

Sumber pendapatan lain, Tapanuli dapat dikembangkan melalui penyediaan tenaga-tenaga terampil (skill worker). Tapanuli sangat potensial dijadikan pusat pengembangan tenaga terampil diberbagai bidang yang dapat disalurkan ke luar negeri karena telah dianugerahkanNya alam yang indah dan iklim yang sejuk di wilayah Tapanuli. Fakta sejarah menunjukkan, dimasa penjajahan dulu, Rumah Sakit HKBP Balige mampu melatih tenaga-tenaga kerja terampil dan mengirimkannya ke Jerman untuk dipekerjakan di rumah-rumah sakit. Kini, hal sama telah pula dilakukan Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan dengan melatih tenaga terampil di bidang teknologi informasi melalui DELL di Sitolu Ama, Laguboti, dan Bapak T. B Silalahi juga melatih tenaga teknik terampil di Soposurung, Balige. Kalau tenaga kerja terlatih ini dikelola secara professional akan mendatangkan pendapatan bagi daerah.

Ketiga, Penempatan ibukota harus dipandang dari perspektif pengembangan wilayah. Dibanding daerah lain, penetapan Siborong-borong menjadi ibukota lebih tepat, karena akan memberikan multiplier effect kepada daerah sekitarnya (hinterland) seperti Sibolga, Tapteng, Tarutung, Balige, Laguboti, Dolok Sanggul, Samosir, Posea dll karena letak geografisnya relatif di bagian tengah Prov. Tapanuli. Sebaliknya daerah hinterland ini akan mendukung Ibukota provinsi. Berdasarkan pengalaman di berbagai tempat , jika ibukota digabung dengan pelabuhan pada umumnya menjadi kumuh (crowded), sebagai contoh Tanjung Balai, Semarang, Surabaya, Bagansiapi-api, sebaliknya kalau ibukota dipisah dengan pelabuhan pada umumnya indah dan lebih memberikan efek ganda tehadap daerah di sekitarnya, seperti Ibukota Manado dengan pelabuhan Bitung, Ibukota Canberra dengan pelabuhan Sidney, Ibukota Denhaag dengan pelabuhan Roterdam, Ibukota Washington DC dengan pelabuhan New York dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Keempat, Sebagai wadah mengalokasikan dana yang bersumber dari pemerintah pusat dan non pemerintah. Putra-putri Batak yang bekerja di Pemerintah pusat dapat mengalokasikan anggaran dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan dan dana asing ke Provinsi Tapanuli. Di sektor nonpemerintah, putra-putri Batak yang bekerja di sektor swasta dapat menggalang dana untuk dikirim ke Tapanuli. Kedua sumber dana ini sangat siknifikan untuk percepatan memutar perekonomian dan pembangunan sarana dan prasarana fisik serta non fisik di Provinsi Tapanuli.

Kelima , Ada alasan meminta kepada Pemerintah Pusat untuk peningkatan Bandara Silangit dan peningkatan pelabuhan Sibolga serta permintaan pembangunan sarana dan prasarana fisik lainnya. Dengan adanya Provinsi ini akan berdiri Polda, Pengadilan Tinggi, Kantor BI, Kejaksaan Tinggi, Korem, Perguruan Tinggi Negeri, Kanwil Agama, Kanwil Anggaran, dll.

Keenam, Harus disadari kehadiran Propinsi Tapanuli menguntungkan secara politik yakni akan memperkuat posisi tawar politik orang Batak di tingkat nasional. Dengan terbentuknya provinsi Tapanuli akan menempatkan lebih kurang 10 perwakilan duduk di DPR-RI (jumlah penduduk 1025 orang) dan 4 (empat) anggota DPD. Posisi tawar ini kita butuhkan untuk membela kepentingan warga Tapanuli dari kebijakan nasional yang merugikan, seperti perusakan lingkungan dan pembabatan hutan di wilayah ini.

Ketujuh, Keuntungan lainnya adalah terbukanya kesempatan melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya melalui hak, wewenang dan kewajiban mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sebagaimana diamanatkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (***)

Penulis, Togap Simangunsong, Alumni IPB Bogor, Dipl Eng ITC Belanda, Master of Applied Science UNSW Sydney Australia, short course training mengenai Management and Financial Audit di berbagai negara a.l WB HQ Wahsington DC, Tokyo n Fukuoka Japan, Beijing China, New Delhi India dan Bangkok; On the Job Training mengenai local govt. mngt di Local Government Sydney dan Port Macquary Australia. Ikut Comparative study di berbagai Negara Amerika, India, Malaysia, Phliphine, New Zealand, Australia, Jepang China, Singapura, Thailand, Bekeja di Ditjen Otonomi Daerah Depdagri dan pernah bekerja di Bappeda Sulut, Perbatasan Antar Negara, Otorita dan Pelabuhan dan Inspektorat Jenderal. Member of Delegation of Indonesia di persidangan PBB di UN HQ Vienna, Austria dan di UN HQ New York, USA; Secretary of Delegation of Indonesia dlm perundingan perbatasan antar negara dengan Malaysia, Philiphine, Papua Nugini, Australia, Singapura, Thailand dan Timor Leste. Tinggal di Jakarta.


Sumber :
http://ditjen-otda.depdagri.go.id/otonomi/detail_artikel.php?id=120