Oleh : Dadang Ishak Iskandar (Dosen STIE Ratula Kotabumi)
Indonesia meluncurkan kebijakan desentralisasi yang sangat progresif pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004.
Undang-Undang ini telah membawa dampak secara sistemik pada tata, proses, dan manajemen pemerintahan. Otonomi secara luas diberikan ke kabupaten dan kota, sementara Pemerintah Pusat hanya memiliki kewenangan eksklusif dalam bidang moneter, fiskal, luar negeri,
dan pertahanan.
Indonesia telah memiliki kebijakan penataan daerah. Namun, terdapat sejumlah kelemahan sebagai berikut.
Secara epistomologis, desain kebijakan sangat kental dengan pola pikir yang inward looking, sehingga konsep penataan daerah semata-mata ditekankan pada pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Demikian juga dengan parameter-parameter yang ditetapkan sebagai syarat pembentukan daerah, baik persyaratan administratif, teknis, maupun kewilayahan.
Masih bersifat parsial, di mana kepentingan daerah per daerah menjadi acuan utama. Ini tampak dari diterapkannya pendekatan bottom up planning dalam tata cara pembentukan daerah (Pasal 14 s/d Pasal 21 PP No.78 Tahun 2007).
Untuk mengoreksi berbagai kelemahan itu, sangat diperlukan sebuah desain penataan yang lebih komprehensif, integratif, dan berwawasan global. Sebuah desain yang mempertimbangkan seluruh sektor dalam pembangunan, kepentingan nasional, serta berbagai peluang dan tantangan dalam era globalisasi. Sehingga, hasilnya sebuah daerah bukan hanya berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, melainkan juga mengangkat harkat dan martabat bangsa dan berorientasi internasional.
Pemekaran daerah/wilayah di Provinsi Lampung telah terjadi beberapa kali, khususnya pembentukan DOB kabupaten/kota. Pertama adalah Lampung Barat (1991), Tulangbawang (1997), dan Way Kanan (1999) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Lalu Tanggamus (1997) pemecahan dari Kabupaten Lampung Selatan, Kota Metro dan Lampung Timur (1999) pemekaran dari Lampung Tengah. Bahkan, daerah pemekaran pun telah melahirkan DOB, yaitu Tulangbawang Barat dan Mesuji (2007) pemecahan dari Tulangbawang, Pringsewu (2007) dari Tanggamus, dan Pesawaran (2007) dari Lampung Selatan. Sehingga, di Provinsi Lampung kini terdapat 14 kabupaten/kota.
Dengan telah terbentuknya beberapa DOB, tahun 2006 ketika seminar daerah dalam rangka HUT Lampung Utara ke-60 mencuat tentang pemekaran Provinsi Lampung dengan menyatukan kembali daerah eks Kabupaten Lampung Utara yaitu Lampung Barat, Way Kanan, dan Tulangbawang. Memang sebelum pemekaran Kabupaten Lampung Utara adalah daerah otonom terluas di Provinsi Lampung yaitu sekitar 58% dari seluruh luas Provinsi Lampung.
Saat itu komparasinya adalah terhadap provinsi-provinsi baru seperti Gorontalo, Bangka Belitung (Babel), Banten, Kepri, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara, pendekatan demografi dan geografi.
Provinsi/ Luas (km2)/ Penduduk
Bangka Belitung/ 16.424/ 900.197
Banten/ 9.160/ 8.098.780
Gorontalo/ 12.215/ 835.844
Maluku Utara/ 30.895/ 785.859
Kepulauan Riau/ 8.084/ 1.156.132
Sulawesi Barat/ 16.787/ 1.050.987
Eks Lampung Utara/ 18.918/ 2.040.461
Dilihat dari dua aspek di atas, tampak bahwa baik luas wilayah maupun jumlah penduduk eks Lampung Utara lebih memenuhi syarat dibandingkan enam (enam) provinsi yang telah terbentuk itu. Terlebih dari syarat cakupan wilayah sebagaimana diatur PP No. 78 Tahun 2007 (pengganti PP No. 129 Tahun 2000) khususnya Pasal 8, bahwa pembentukan provinsi paling sedikt 5 kabupaten/kota, kini dalam wilayah eks Lampung Utara sudah ada 6 (enam) daerah otonom—Lampung Utara, Lampung Barat, Way Kanan, Tulangbawang, Mesuji, dan Tulangbawang Barat.
Memang untuk membentuk provinsi baru sekarang ini sangat tidak mudah selain peraturannya sudah berubah—PP No.78 Tahun 2007—terlebih dengan telah adanya konsep Desartada, di mana hanya ada 11 provinsi yang direkomendasikan dapat dimekarkan, sementara Provinsi Lampung tidak masuk dalam rekomendasi itu.
Lalu apakah sudah tertutup kesempatan itu? Secara demografi maupun geografi mungkin bisa memenuhi syarat, dilihat dari indeks kelayakan fiskal (IKF) yang harus mencapai lebih dari 0,5 Provinsi Lampung sepertinya juga bisa mencapainya. Data series 3 tahun terakhir menunjukkan IKF Lampung ada tren penaikkan 0,57 (2009), 0,55 (2010) dan 0,62* (2011 angka sementara).
Tinggal sekarang kemauan politik di tingkat pemerintah provinsi apakah berkehendak Provinsi Lampung ini dimekarkan. Demikian juga dengan kabupaten atau daerah pemekaran eks Lampung Utara apakah juga mau “seiya sekata” dari tingkat desa/kampung hingga kabupaten (bupati dan DPRD) dalam wilayah itu untuk memperjuangkan pembentukan provinsi baru. Sebab, pendekatan ke depan pembentukan DOB terlebih provinsi tidak lagi mengandalkan pada aspek sejarah, namun pada aliansi dan kerja sama strategis antardaerah yang akan bergabung dalam aspek ekonomi, pertumbuhan wilayah lokal, dan regional serta berdaya saing global.
Apakah penggabungan—dalam bentuk provinsi baru—dapat lebih mempercepat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi wilayah, kesejahteraan, dan dapat menghadapi persaingan regional (global) atau tidak?
Jadi jangan sampai rencana pembentukan DOB itu lebih didasari oleh hanya kemauan segelintir elite daerah, terlebih bila merasa “kalah” dalam pilkada—misalnya—kemudian mensponsori pemekaran wilayah seperti banyak terjadi di Tanah Air ini. Sehingga berakibat 80% daerah pemekaran gagal dalam mengemban amanah yang menjadi cita-cita ideal pemekaran wilayah itu sendiri.
Sumber :
http://www.lampungpost.com/opini/20065-prospek-pemekaran-lampung.html
29 Desember 2011
Sumber Gambar:
http://www.pt-gcs.co.id/lampung%20english.htm
No comments:
Post a Comment