Banyak hal menarik di era reformasi dan otonomi yang tidak pernah terbayangkan selama ini. Terjadi sengketa wilayah antar daerah. Kabupaten OKU mulai menyoal tapal batas dengan kabupaten Muara Enim. Belum lagi isu putra daerah yang kian mengental. Soal lain, munculnya wacana pemekaran wilayah yang terkadang menuai masalah. Wacana pemekaran provinsi Sumatera Selatan juga mengemuka. Kita akan membahas berbagai aspek dari wacana pemekaran provinsi yang terkenal dengan tekadnya menjadi lumbung energi nasional ini [...]Ada wacana untuk memekarkan provinsi Sumatera Selatan dengan membentuk provinsi baru.
Memang terdapat beberapa wacana.
Pertama, membentuk Provinsi Sumatera Tengah dengan “anggota” Kabupaten Rejang Lebong, Lahat, Musi Rawas, Empat Lawang, Pagaralam, Lubuk Linggau, Sarolangun.
Kedua, Provinsi Sumatera Tenggara terdiri dari Lahat, Muara Enim, Ogan Ilir, OKU, OKU Selatan, OKU Timur dan Prabumulih.
Ketiga, Provinsi Musi Raya terdiri dari Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas dan Lubuk Linggau.
Ke-empat, Provinsi SUMSEL Barat terdiri dari Musi Rawas, Lubuk Linggau, Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Pagaralam dan Prabumulih.
Memang selama ini ada ketimpangan antara pulau Jawa dengan daerah-daerah diluar pulau Jawa. Tengok saja pulau Jawa memiliki begitu banyak provinsi dan juga kabupaten. Sementara tidak seluruh kabupaten/kota atau provinsi di Jawa memberikan pemasukan yang significant kepada pusat. Sementara beberapa wilayah diluar Jawa justru menyumbang besar untuk pusat, tetapi menerima kembali dana itu dalam jumlah kecil. Sumatera Selatan paling tidak memberikan kontribusi sekitar Rp 40 trilliun kepada pemerintah pusat, namun kurang dari 10% saja dana itu diterima kembali oleh Sumatera Selatan. Salah satu penyebabnya karena kita memiliki jumlah kabupaten/kota atau provinsi yang memang sedikit. Jika semata-mata hal ini yang menjadi alasan, maka wacana pemekaran wilayah itu sangat beralasan. Namun, untuk suksesnya pemekaran suatu wilayah memerlukan pemenuhan syarat sosiologis, yuridis dan politis. Ketiga faktor ini sangat menentukan keberhasilan pemekaran suatu wilayah.
Secara sosiologis bahwa wacana pemekaran wilayah itu merupakan wacana masyarakat, minimal di daerah yang akan dimekarkan itu. Artinya, menjadi sulit apabila wacana pemekaran hanya muncul dari hasrat segelintir orang dengan agenda mereka sendiri. Boleh saja wacana itu muncul dari kalangan terbatas, tetapi ia harus disosialisasikan agar memasyarakat dan dapat diterima secara luas. Dengan cara inilah kemudian wacana pemekaran itu menjadi suatu gerakan massal yang sangat dibutuhkan dalam proses berikutnya. Pemenuhan syarat sosiologis ini juga diartikan ada keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat daerah itu baik yang berdomisili lokal maupun diluar daerah yang berencana memekarkan diri. Keberhasilan pemekaran kabupaten Lintang Empat Lawang juga dikarenakan adanya support yang luas dari tokoh-tokoh masyarakat asal daerah ini dalam berbagai bentuknya.
Secara yuridis (termasuk syarat administrasi) tidak terlalu sulit membentuk kabupaten/kota atau provinsi baru. Memang ada tahapan yuridis dan administratif yang harus dipenuhi. Namunundang-undang menentukan bahwa untuk membentuk kabupaten/kota yang baru hanya membutuhkan paling sedikit lima kecamatan. Sedangkan untuk membentuk provinsi baru memerlukan paling tidak lima kabupaten/kota yang menjadi wilayah pronvinsi baru itu. Tentu saja baik pembentukan kabupaten/kota atau provinsi baru ini memerlukan dukungan baik dari DPRD maupun dari kepala daerah terkait. Persetujuan inilah yang terkadang tidak mudah didapat yang tidak jarang menimbulkan perpecahan.
Syarat ketiga, disamping faktor sosiologis dan yuridis tadi, adalah syarat politis. Terkadang justru syarat politis ini sebagai penentu keberhasilan pemekaran wilayah. Saya mengartikan syarat politis ini adalah adanya persetujuan dari kepala daerah dan dukungan dari DPRD terkait. Umumnya restu dari DPRD tidak sulit. Seringkali, persetujuan kepala daerah justru lebih alot didapat. Persetujuan seorang kepala daerah dalam pemekaran wilayah merupakan syarat mutlak untuk menjalankan proses lanjutannya. Tidak semua kepala daerah setuju dengan pemekaran wilayahnya. Ada beberapa hal yang mungkin menjadi alasan mengapa seorang kepala daerah tidak setuju atas rencana pemekaran wilayahnya.
Persetujuan akan sulit didapat apabila dinilai bahwa pemekaran tersebut sebagai suatu ancaman terhadap kekuasaan sang kepala daerah. Ancaman atas luas wilayahnya, ancaman terhadap porsi kekuasaan. Tambah runyam jika tidak ada komunikasi yang baik antara kelompok pro pemekaran dengan kepala daerah. Ditambah pula ketidak mampuan memberikan alasan yang dapat diterima oleh sang kepala daerah. Sangat mungkin restu akan sulit didapat apabila seorang kepala daerah baru saja menjabat pada periode pertama. Kita boleh mempelajari daerah-daerah yang berhasil mulus memekarkan diri di Sumatera Selatan. Kemudahan pemekaran itu umumnya didapat karena para kepala daerah terkait telah dua periode menjabat atau telah di penghujung jabatan pertama.
Persetujuan dari kepala daerah relatif mudah didapat apabila terpenuhi dua syarat. Pertama, ada komunikasi yang baik antara kelompok pro pemekaran dengan kepala daerah. Komunikasi yang baik itu termasuk kemampuan memposisikan diri sebagai pihak yang memerlukan bantuan kepala daerah. Utus orang-orang senior untuk berhadapan dengan kepala daerah agar muncul perasaan saling menghargai. Para inisiator pemekaran harus mampu meyakinkan kepala daerah bahwa pemekaran akan membawa banyak sisi positif bagi masyarakat. Kenyataannya, tidak setiap pergerakan mampu berkomunikasi secara baik. Terkadang suatu pergerakan dilakukan secara emosional, mengandalkan kekuatan fisik atau massa. Jika gerakan pemekaran wilayah dapat dikomunikasikan dengan baik dengan kepala daerah maka persetujuan itu relatif mudah didapat. Para pengusul pemekaran harus mampu menempatkan diri sebagai orang yang “meminta.” Kita diajarkan bahwa siapapun pada posisi meminta, tangan harus dibawah. Kondisi kedua yang harus dipertimbangkan bahwa persetujuan dari kepala relatif mudah didapat apabila seorang kepala daerah terkait telah menjabat kedua kali atau dipenghujung masa jabatan pertama.
Boleh jadi tidak ada maksud kepada daerah untuk mempolitisir isu pemekaran, namun justru kenyataan ini merupakan realitas politik yang pantas menjadi perhatian pihak yang pro dengan pemekaran. Persetujuan dari kepala daerah penting didapat. Oleh karena itu sungguh positif image yang akan didapat seorang kepala daerah apabila memberikan restu pemekaran wilayahnya. Dalam PILKADA image positif terhadap seorang kandidat merupakan modal awal yang sangat penting.
Realitas politik ini mestinya menjadi perhatian kelompok yang akan memekarkan wilayah. Realitas politik dimasing-masing wilayah harus digunakan untuk mengatur strategi dalam “menghadapi” kepala daerah guna memperoleh persetujuannya. Sangat mungkin perjuangan mendapatkan persetujuan akan sangat alot terhadap kepala daerah yang belum dua periode menjabat. Jika tidak dilakukan secara hati-hati dan cermat, bukan tidak mungkin persetujuan kepala daerah itu baru didapat setelah terjadi pertentangan bahkan konfrontasi terbuka. Saya yakin tidak soal apakah kepala daerah baru satu atau telah dua periode menjabat, apabila pihak pro pemekaran mampu berkomunikasi dengan baik dengan kepala daerah maka restu itu akan secara mudah didapat.
Memang tidak semua pihak pro dengan wacana pemekaran provinsi Sumatera Selatan. Gubernur Syahrial Oesman memberikan sinyal setuju apabila pemekaran Provinsi Sumatera Selatan tidak melibatkan provinsi lain. Salah satu alasan mungkin proses akan lebih rumit apabila menyangkut provinsi diluar provinsi Sumatera Selatan. Padahal, pemekaran tanpa melibatkan wilayah provinsi lain saja bukan perkara gampang, apalagi melibatkan kabupaten/kota yang masuk provinsi lain.
Paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan sebelum memutuskan akan memekarkan provinsi Sumatera Selatan. Pertama, harus ada kajian mendalam dari berbagai aspek pemekaran wilayah. Apa benar pemekaran wilayah akan mampu memenuhi tujuan objektifnya. Bahwa pemekaran wilayah bertujuan: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, peningkatan keamanan dan ketertiban, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pengelolaan potensi daerah, dan percepatan pembangunan ekonomi daerah.
Kedua, para kepala daerah dan DPRD sepantasnya mencari tahu apa alasan sesungguhnya kehendak untuk memekarkan wilayah. Mungkin ide pemekaran semata-mata untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat agar kehidupan mereka lebih baik. Ide ini dicampur dengan perasaan dikesampingkan oleh pemerintah induk. Tengok saja muncul ide pembentukan provinsi Musi Raya dikarenakan “orang-orang Musi” merasa masih sangat tertinggal karena pemerintahan SUMSEL yang didominasi oleh orang-orang “non-Musi.” Bagaimana mungkin orang-orang Musi duduk dipemerintahan kalau kesempatan itu jarang didapat. Apalagi pola rekrutmen pegawai yang sudah sangat lama dipercaya dengan cara tidak objektif.
Ketiga, pemekaran wilayah hanyalah persoalan administrasi yang tidak boleh melahirkan perpecahan. Jikapun ada pemekaran wilayah, itu hanya soal administrasi pengelolaan. Artinya, tidak boleh menimbulkan perpecahan etnis. Jikapun terbentuk Musi Rawas utara, hanya soal administrasi yang memisahkan wilayah itu dengan Musi Rawas. Hal yang sama terjadi antara Empat Lawang dengan Lahat.
Idealnya pemekaran wilayah memang harus lebih longgar di era otonomi daerah, terutama wilayah-wilayah diluar pulau Jawa. Kita melihat banyak manfaat dari adanya pemekaran wilayah. Inderalaya belum akan “seperti sekarang ini” kalau saja tidak eksis kabupaten Ogan Ilir. Saya yakin Tebing Tinggi akan pula berubah setelah adanya Empat Lawang. Tapi memang harus ada komunikasi yang baik antara para inisiator pembentukan dengan pejabat politik wilayah induk. Fahami benar faktor politis dan psikologis dibalik itu. Pembentukan provinsi lebih rumit ketimbang pembentukan kabupaten dikarenakan cakupannya yang luas. Sinyal persetujuan Gubernur Syahrial Oesman yang segera mengakhiri masa jabatannya pada periode pertama ini soal SUMSEL Barat mestinya ditangkap sebagai amunisi yang harus dimanfaatkan.
Sumber :
Amzulian Rifai
http://amzulian.fh.unsri.ac.id/index.php/posting/38
4 Maret 2010
No comments:
Post a Comment