Saturday, February 12, 2011

Provinsi Luwu Raya: Antara Impian dan Kenyataan


Oleh: Iskandar Siregar (Dosen Tamu Universitas Andi Djemma, Palopo)

Ada yang menarik ketika saya mengikuti dialog bertema “Refleksi Nilai Perjuangan Rakyat Luwu Dalam Pembangunan Kekinian” di Makassar pada Senin 31 Januari 2011. Dialog yang diselenggarakan Pengurus Besar Kerukunan Keluarga Luwu Raya (PB-KKL Raya) ini dihadiri tiga bupati (Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur) dan sebagian tokoh Tana Luwu. Mulai dari mantan Duta Besar hingga aktivis LSM. Ada profesor maupun mahasiswa.

Isu pembentukan Provinsi Luwu Raya sempat mencuat. Dari selama dialog maupun sesudahnya, saya menangkap pembentukan Provinsi Luwu Raya itu “harga mati”. Secara geografis, bakal wilayah Provinsi Luwu Raya jelas, yakni meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Kota Palopo, dan Luwu Tengah yang sedang diperjuangkan pembentukannya. Sementara Toraja masih dalam perdebatan apakah masuk atau tidak dalam bagian Provinsi Luwu Raya.

Secara ekonomi, potensi Luwu Raya luar biasa. Ada lahan pertanian, perkebunan, perikanan, tambang, hingga objek pariwisata. Dalam penggalian sejarah, sejatinya Provinsi Luwu Raya itu sudah pernah direncanakan pada awal berdirinya republik ini.

Itu belum cukup. Ada tokoh Tana Luwu yang hadir dalam dialog menilai Provinsi Luwu Raya itu mutlak ada, tidak boleh ditolak, tidak boleh diambangkan tanpa batas, tidak boleh diragukan. Alquran boleh bilang bahwa dirinya la roiba fih, tidak ada keraguan padanya. Mungkin begitu juga untuk Provinsi Luwu Raya. Seharusnya pembentukan Provinsi Luwu Raya tidak perlu dipertanyakan.

Namun kenyataannya, ada berbagai hal yang perlu dicatat mengenai pemekaran wilayah. Polemik pembentukan Provinsi Luwu Raya memperlihatkan masih kaburnya pemahaman mengenai otonomi daerah. Konsep otonomi sebenarnya berangkat dari dimensi pelayanan publik yang semakin terdesentralisasi pada tingkat lokal. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa aparat pemerintah sebagai pelayan publik (public servant) semakin dekat dengan masyarakat yang membutuhkan kesegeraan pelayanan, sekaligus (karena kedekatannya itu) mampu memahami dan selanjutnya menyerap aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal yang menjadi subjek layanan.

Kehendak memberikan pelayanan yang cepat dan tepat ini, pada dasarnya juga berangkat dari kenyataan objektif dari pemerintahan negara yang sentralistik. Pertama, terdapat jarak yang sangat signifikan antara aparat pemerintah pusat dengan masyarakat di daerah sebagai subjek layanan, sehingga oleh karena itu pelayanan tidak efektif dan tidak efisien atau terjadi penelantaran terhadap masyarakat akibat dari rantai birokrasi yang panjang. Kedua, semakin rumitnya urusan pemerintah pusat sehingga memerlukan pelimpahan kekuasaan kepada aparatnya di tingkat lokal. Ketiga, tuntutan demokrasi yang semakin kuat, di mana pada hakikatnya memang nilai-nilai demokrasi lebih diwujudkan pada tingkat lokal.

Untuk dapat memberikan pelayanan publik itu sendiri, maka daerah harus memiliki kemampuan. Pertama, komunitas unsur negara (aparat pemerintah dan legislator lokal) harus memiliki sumber daya manusia yang sesuai. Pada dua komponen unsur negara ini haruslah seimbang sumber dayanya, sehingga bisa mengarah pada interaksi yang kondusif dalam artian melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, dan kontrol terhadap aparat pelaksana. Jika salah satu pihak lebih kuat dari yang lain, kehidupan unsur negara tidak akan sehat, karena saling mensubordinasi.

Kedua, dukungan potensi sumber daya alam yang memungkinkan daerahnya bisa dibangun dengan kekuatan dana sendiri. Tentu saja potensi itu sudah tergali atau terkembangkan, sehingga mampu disedot sebagai sumber pendapatan daerah. Sepanjang sumber-sumber pendapatan daerah belum bisa dipenuhi sendiri, maka otonomi masih akan bersifat seolah-olah, karena daerah masih sangat bergantung bahkan mungkin dikendalikan oleh kekuatan yang ada di luarnya.

Ketiga, dimensi pengelolaan atau manajemen. Dalam hal ini unsur pemimpin yang ada di pemda memegang peranan penting, menyangkut bagaimana mengerahkan sumber daya yang ada, mencari sumber-sumber pendukung, serta mengeksploitasi pontensi-potensi ekonomi yang ada di daerah dengan kalkulasi yang berdimensi berkelanjutan (sustainability). Dalam konteks ini, dimensi sosial, politik, dan lingkungan fisik haruslah menjadi pertimbangan utama dalam mengelola sumber daya yang ada di daerah. Dimensi sosial berupa orientasi pemberuntungan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya yang ada (misalnya dengan menekankan pada prinsip local people oriented development program). Dimensi politik adalah mengelola elemen-elemen sosial politik secara fungsional dalam konteks demokrasi.

Apa yang terjadi di Tana Luwu, menurut hemat saya, adalah pupusnya denotasi. Masyarakat hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang di balik batu” atau apapun namanya –di belakangnya.

Bagi calon Provinsi Luwu Raya yang potensi alamnya kaya, hingga saat ini belum bisa dikatakan “survive”, karena masih sangat tergantung dari kekuatan yang ada di luar diri mereka. Kalau pun ada gairah mau secepatnya melaksanakan pemekaran daerah (Provinsi Luwu Raya), tampaknya lebih karena dorongan segelintir elite (bisa dari birokrat maupun politikus) yang selama ini menjadi bagian elite lokal yang beruntung secara politik dan ekonomi. Soalnya, dengan pemekaran daerah diharapkan bisa secara otonom pula mengelola proyek-proyek pembangunan dan atau dana-dana rutin/operasional, yang tidak lagi dikontrol pusat atau provinsi induknya dulu, sehingga bisa secara leluasa meneruskan perilaku korup seperti halnya era Orde Baru.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah kalau gairah pemekaran ini secara tak disadari tidak bisa dibedakan dengan gairah etnisitas atau berupa kebangkitan politik etnis, yang mengarah pada etnocratic local government (pemerintah lokal yang berwatak etnik). Etnis di tingkat lokal cenderung menyadari keberadaannya sebagai “yang harus berkuasa di daerahnya sendiri” sehingga orang dari etnis lain dianggap sebagai pihak yang harus disubordinasi secara politik dan ekonomi. Di situ ada klaim teritori oleh suatu etnik tertentu, ada perbedaan kelompok beserta budaya dan kesadarannya, yang semuanya merupakan benih kelompok dan disintegrasi sosial.

Kalau kita mengacu pada kondisi objektif seperti tersebut di atas, maka membangun daerah di era otonomi ini lebih bergantung pada kemampuan daerah dalam mengatasi masalah-masalah lokalnya sendiri. Sebelum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu, maka niscaya akan selalu mengalami kesulitan untuk menggerakkan pembangunan daerah dalam arti sesungguhnya. Daerah yang potensial bukanlah suatu jaminan bagi kemajuan suatu masyarakatnya, atau bukan suatu jaminan untuk bisa memajukan daerahnya. Bahkan sebaliknya, daerah-daerah yang potensial boleh jadi hanya lahan “pertempuran” kepentingan yang akan selalu teramat sulit untuk menyelesaikannya. Setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan terhadap daerah yang potensial, karena dianggap merupakan suatu sumber daya langka yang diperebutkan setiap orang.

Karena itu, peranan pemerintah daerah yang dimotori kalangan aparatnya jelas akan sangat menentukan. Di sinilah tantangan utama dari kalangan aparat pemerintah daerah. Mereka harus mampu menciptakan suasana kondusif bagi daerahnya terutama sekali bagi para penanam modal agar nyaman datang di daerahnya. Biasanya para penanam modal di suatu daerah atau negara, bukan saja tergantung dari sumber daya alamnya yang begitu banyak, melainkan juga memerlukan jaminan kenyamanan dan kepastian hukum sehingga modal mereka bisa berkembang secara berkelanjutan.

Secara singkat, aparat Pemda memerlukan kemampuan strategis untuk memacu percepatan pembangunan daerahnya sekaligus juga harus mampu melakukan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada pemberuntungan masyarakat lokal. Sementara ini, Provinsi Luwu Raya masih menjadi impian belum kenyataan, sangat boleh jadi adalah karena kita tidak atau kurang bersungguh-sungguh. (*)


Sumber :

http://www.fajar.co.id/read-20110201233159-provinsi-luwu-raya-antara-impian-dan-kenyataan

2 Februari 2011

No comments:

Post a Comment