Saturday, December 19, 2009
Pasca Otonomi Daerah, Daya Saing RI Justru Melorot
Daya saing Indonesia dengan negara-negara lainnya pasca otonomi daerah (2000) justru melorot karena dipicu tidak berjalannya perbaikan birokrasi, perizinan, infrastruktur, hambatan pungli, dan lain-lain di tingkat daerah.
"Daya saing Indonesia merosot dari tahun ke tahun," kata Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Mudrajad Kuncoro dalam acara seminar nasional ekonomi regional di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (10/12/2009).
Mudrajad mengutip berdasarkan International Institute for management Development , World Competitiveness yearbook 2008.
Disebutkan daya saing Indonesia terus mengalami penurunan misalnya dari tahun 2003 daya saing Indonesia berada di peringkat 49, tahun 2004 peringkat 49, tahun 2005 turun ke peringkat 50, tahun 2006 drastis ke peringkat 52, tahun 2007 turun kembali ke titik 54, dan tahun 2008 ada perbaikan ke angka 51.
Selama ini, kata dia, daya saing Indonesia dikerangkeng oleh banyak faktor yang masih sulit dibenahi, berdasarkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) permasalahan-permasalahan yang menyebabkan daya saing antara lain manajemen infrastruktur yang menempati posisi 35,5%.
Pembangunan sektor swasta 14,8%, aksesbilitas dan kepastian lahan 14%, hubungan pemda dan dunia usaha 10%, biaya transaksi (pajak, retribusi)? 9,9%, prosedur izin usaha 8,8%, keamanan 4%, integritas pemimpin daerah 2%, dan kualitas Perda 1%.
Dari beberapa hal tadi ia mencontohkan untuk urusan membuka usaha di Indonesia, faktor regulasi menjadi hambatan utama. Meski ada beberapa hal seperti pungutan liar yang merupakan masalah klasik dalam masalah logistik dan infrastruktur di Indonesia.
"Masih adanya grease money dalam bentuk pungli, upeti dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh dunia usaha, mulai dari mencari bahan baku, proses hingga ekspor," jelasnya.
Ia menyebutkan setidaknya dalam setiap tahun ada dana sebesar Rp 3 triliun yang harus terbuang cuma-cuma karena adanya pungli, atau kurang lebih US$ 352 juta per tahun. Sehingga dipastikan hal semacam ini akan terus menggerus daya saing Indonesia.
Sedangkan untuk masalah pelayanan perizinan, beberapa daerah sudah berupaya memperbaiki daya saingnya dengan menerapkan pelayanan satu pintu satu atap, namun dalam pelaksanaannya pelayanan satu pintu satu atap itu belum dilengkapi dengan satu meja alias masih berbelit-belit.
Ia menambahkan berdasarkan sumber PPSK BI dan LP3E FE Unpad tahun 2008, menyebutkan pemda-pemda khususnya kabupaten/kota yang menempati daya saing tinggi di Indonesia didominasi oleh kabupaten/kota yang memiliki sumber daya alam dan memiliki aktivitas ekonomi berbasis sektor industri dan sektor jasa. (ras/RAS/dtc)
Sumber :
http://www.vibizdaily.com/detail/Bisnis/2009/12/10/pasca_otonomi_daerah_daya_saing_ri_justru_melorot
10 Desember 2009
Sumber Gambar:
http://www.pasttensebooks.com/images/uploads/Otonomi_Daerah_50_dpi.jpg
Otonomi Daerah dan Politik Biaya Tinggi
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Hari telah senja ketika saya mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Rekan saya Fachry Ali, punya hajatan menyelenggarakan lokakarya penguatan DPRD di kota itu. Walaupun akhir-akhir ini saya sibuk bukan kepalang, namun demi menghormati sahabat lama, saya bersedia juga untuk hadir ke Palembang walau hanya semalam. Besoknya pagi-pagi sekali saya kembali ke Jakarta. Lokakarya itu diikuti oleh para anggota DPRD Kabupaten dan Kota se Sumatera Selatan dan diselenggarakan di Hotel Novotel, Palembang. Sudah hampir setahun belakangan ini, saya tak pernah memberikan ceramah di hadapan para politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Faktor ini, juga menjadi pertimbangan saya untuk hadir. Saya berharap, akan terjadi pertukar-pikiran yang menarik untuk membahas berbagai isyu politik yang berkembang di daerah.
Dalam ceramah yang saya sampaikan, saya mengemukakan berbagai aspek amandemen konsitusi kita, beserta implikasi-implikasinya kedalam kehidupan politik, baik nasional maupun daerah. Konstitusi kita kini memberikan penguatan kepada posisi pemerintahan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif daerah. Kepala Daerah dan Wakilnya, harus dipilih dengan cara-cara yang demokratis. Otonomi daerah mendapat penegasan dalam konstitusi. Tentu semua ini memerlukan pengaturan lebih lanjut pada tingkat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Mengenai otonomi daerah, saya menggambarkan kilas balik perdebatan antara negara kesatuan dengan negara federal di awal reformasi. Waktu itu saya memberikan jalan tengah, yakni Indonesia tetap menjadi negara kesatuan, sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan, namun memberikan penguatan tugas, kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintahan di daerah. Waktu itu, saya juga menggagas tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – suatu lembaga yang pada umumnya hanya ada di negara federal – untuk diterapkan di negara kita yang menganut susunan negara kesatuan. DPD memang terbentuk, walau masih banyak hal yang harus disempurnakan.
Soal otonomi daerah, saya mengatakan bahwa di awal reformasi, saya beda pendapat dengan Prof. Ryas Rasyid yang menekankan otonomi daerah ke tingkat kabupaten dan kota. Konsep Prof. Ryas waktu itu, ialah menciptakan kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang telah ada. Saya berpendapat sebaliknya, otonomi diberikan kepada propinsi, dengan jumlah propinsi yang lebih banyak, yang dalam perhitungan saya, akan ada sekitar 42 provinsi di seluruh tanah air. Dengan otonomi kepada provinsi, maka kompetisi antar daerah akan menjadi lebih nyata. Pemerintah Pusat juga akan lebih mudah mengawasi Gubernur, dibandingkan dengan mengawasi Bupati/Walikota yang waktu itu lebih dari 400 jumlahnya. Pemberian otonomi kepada provinsi memang akan mendorong Indonesia menjadi negara yang mendekati negara federal – atau biasa disebut dengan istilah quasi federal – namun hakikatnya tetap sebuah negara kesatuan.
Kalau otonomi diberikan kepada provinsi, maka gubernur dapat saja dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana halnya pemilihan Presiden. Konstitusi kita tidak mengharuskan adanya pemilihan langsung, namun hanya menyebutkan dipilih secara demokratis. Bupati dan Walikota cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian, tidak terlalu banyak pemilu (termasuk Pilkada) seperti sekarang ini. Banyaknya Pemilu, mulai dari Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden – yang nampaknya akan selalu terjadi dalam dua putaran – dan pemilu kepala daerah untuk gubernur, dan bupati/walikota. Biaya penyelenggaraan Pemilu ini sangat besar. Demokrasi memang mahal. Tidak sedikit uang negara dihabiskan untuk membiayai pemilu ini dalam lima tahun. Belum lagi dampak sosial dan politiknya, terutama di daerah-daerah. Ketegangan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, pasca pemilihan gubernur, membuat saya sangat prihatin.
Para anggota DPRD Kabupatan/Kota di Sumatera Selatan itu, mempunyai keprihatinan yang sama dengan apa yang saya rasakan. Di provinsi ini, tak lama lagi akan ada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur. KPUD Provinsi konon telah mengajukan anggaran Rp 350 milyar untuk hajatan itu. Namun yang disetujui adalah Rp. 150 milyar. Biaya ini belum terhitung biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan calon, baik dalam persiapan, maupun dalam kampanye, pengawasan dan penghitungan suara. Entah berapa biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para simpatisan dan pendukungnya, kita tidak tahu. Ada dugaan, biaya yang dikeluarkan adalah jauh lebih besar dari biaya yang dilaporkan secara resmi. Kalau biaya yang dikelurkan oleh masing-masing pasangan itu cukup besar, bagaimanakah mereka mengembalikannya?
Pertanyaan seperti di atas juga menghantui benak saya. Tidak semua orang benar-benar mempunyai idealisme tingggi, sehingga memandang jabatan adalah tugas dan amanah, tanpa perhitungan materi. Tak semua pula para pendukung bersedia mengeluarkan dana sponsor karena idealisme pula, seperti ingin melihat bangsa dan negara – atau daerah – menjadi maju. Mereka mungkin saja seperti udang dibalik batu. Kompensasi bantuan dana sponsor itu bukan mustahil pula harus “dibayar” dengan “pemberian” proyek-proyek Pemerintah atau kemudahan lain yang bersifat menguntungkan. Bukankah semua ini akan membuka peluang tumbuh-suburnya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme? Hati saya sukar untuk mengatakan tidak atas segala prasangka ini. Namun di sisi lain, saya juga tak dapat menafikan, idealisme tetap tinggi. Ada faktor ideologi, ada faktor subyektif misalnya rasa senang dan suka, yang mungkin saja mendorong seseorang untuk membantu. Mereka ingin melihat bangsa ini menjadi maju dan berkembang, tanpa memikirkan imbalan bagi dirinya sendiri.
Di akhir ceramah malam itu, ada beberapa anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Sumatra Selatan itu, yang bertanya apakah saya serius mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden 2009? Menurut mereka telah tiga kali berita itu menjadi headline Koran Sriwijaya Pos, yang menyebut dirinya sebagai “Korannya Wong Kito” itu. Berbagai tabloid di kota Palembang juga memberitakan hal yang sama. Terhadap pertanyaan itu saya menjawab, ibarat sembahyang, nawaitunya memang sudah dilafadzkan, tetapi takbirnya belum. Takbirnya itu baru dikumandangkan nanti setelah Pemilu DPR selesai, dan kita melihat apakah Partai Bulan Bintang berada dalam posisi yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Kini kami sedang berjuang ke arah itu.
Kalau modal pengalaman, ilmu, kesehatan jasmaniah dan rohaniah dan keanggupan kerja keras, saya katakan, Insya Allah, telah ada. Penyusunan program memang sedang dalam proses penggodokan. Sudah banyak pula kawan-kawan yang menawarkan diri menjadi tim sukses. Namun kalau ditanya persiapan dana, saya katakan, saya mungkin adalah bakal calon yang paling kedodoran. Saya menyadari bahwa biaya kampanye dan sebagainya sangatlah besar. Untuk hal yang satu ini, saya posisi saya seperti orang sudah kalah sebelum bertanding. Saya kembali kepada salah satu pokok persoalan yang dibahas dalam diskusi. Demokrasi sangat mahal. Biaya politik menjadi sangat tinggi. Meskipun begitu, saya tetap memiliki optimisme bahwa idealisme yang tinggi tetap ada. Rakyat juga sudah belajar banyak tentang demokrasi dari berbagai pengalaman yang mereka peroleh selama era Reformasi ini.
Hari sudah larut malam. Acara ceramah dan diskusi yang dimulai pukul delapan itu, berakhir pukul sebelas malam. Tak terasa kami telah melewati waktu selama tiga jam untuk bertukar-pikiran dengan jernih. Pagi-pagi sekali saya meninggalkan hotel menuju bandara untuk kembali ke Jakarta..
Wallahu’alam bissawwab
Sumber :
Oleh Yusril Ihza Mahendra
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/04/18/otonomi-daerah-dan-politik-biaya-tinggi/
18 April 2008
Hari telah senja ketika saya mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Rekan saya Fachry Ali, punya hajatan menyelenggarakan lokakarya penguatan DPRD di kota itu. Walaupun akhir-akhir ini saya sibuk bukan kepalang, namun demi menghormati sahabat lama, saya bersedia juga untuk hadir ke Palembang walau hanya semalam. Besoknya pagi-pagi sekali saya kembali ke Jakarta. Lokakarya itu diikuti oleh para anggota DPRD Kabupaten dan Kota se Sumatera Selatan dan diselenggarakan di Hotel Novotel, Palembang. Sudah hampir setahun belakangan ini, saya tak pernah memberikan ceramah di hadapan para politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Faktor ini, juga menjadi pertimbangan saya untuk hadir. Saya berharap, akan terjadi pertukar-pikiran yang menarik untuk membahas berbagai isyu politik yang berkembang di daerah.
Dalam ceramah yang saya sampaikan, saya mengemukakan berbagai aspek amandemen konsitusi kita, beserta implikasi-implikasinya kedalam kehidupan politik, baik nasional maupun daerah. Konstitusi kita kini memberikan penguatan kepada posisi pemerintahan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif daerah. Kepala Daerah dan Wakilnya, harus dipilih dengan cara-cara yang demokratis. Otonomi daerah mendapat penegasan dalam konstitusi. Tentu semua ini memerlukan pengaturan lebih lanjut pada tingkat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Mengenai otonomi daerah, saya menggambarkan kilas balik perdebatan antara negara kesatuan dengan negara federal di awal reformasi. Waktu itu saya memberikan jalan tengah, yakni Indonesia tetap menjadi negara kesatuan, sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan, namun memberikan penguatan tugas, kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintahan di daerah. Waktu itu, saya juga menggagas tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – suatu lembaga yang pada umumnya hanya ada di negara federal – untuk diterapkan di negara kita yang menganut susunan negara kesatuan. DPD memang terbentuk, walau masih banyak hal yang harus disempurnakan.
Soal otonomi daerah, saya mengatakan bahwa di awal reformasi, saya beda pendapat dengan Prof. Ryas Rasyid yang menekankan otonomi daerah ke tingkat kabupaten dan kota. Konsep Prof. Ryas waktu itu, ialah menciptakan kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang telah ada. Saya berpendapat sebaliknya, otonomi diberikan kepada propinsi, dengan jumlah propinsi yang lebih banyak, yang dalam perhitungan saya, akan ada sekitar 42 provinsi di seluruh tanah air. Dengan otonomi kepada provinsi, maka kompetisi antar daerah akan menjadi lebih nyata. Pemerintah Pusat juga akan lebih mudah mengawasi Gubernur, dibandingkan dengan mengawasi Bupati/Walikota yang waktu itu lebih dari 400 jumlahnya. Pemberian otonomi kepada provinsi memang akan mendorong Indonesia menjadi negara yang mendekati negara federal – atau biasa disebut dengan istilah quasi federal – namun hakikatnya tetap sebuah negara kesatuan.
Kalau otonomi diberikan kepada provinsi, maka gubernur dapat saja dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana halnya pemilihan Presiden. Konstitusi kita tidak mengharuskan adanya pemilihan langsung, namun hanya menyebutkan dipilih secara demokratis. Bupati dan Walikota cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian, tidak terlalu banyak pemilu (termasuk Pilkada) seperti sekarang ini. Banyaknya Pemilu, mulai dari Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden – yang nampaknya akan selalu terjadi dalam dua putaran – dan pemilu kepala daerah untuk gubernur, dan bupati/walikota. Biaya penyelenggaraan Pemilu ini sangat besar. Demokrasi memang mahal. Tidak sedikit uang negara dihabiskan untuk membiayai pemilu ini dalam lima tahun. Belum lagi dampak sosial dan politiknya, terutama di daerah-daerah. Ketegangan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, pasca pemilihan gubernur, membuat saya sangat prihatin.
Para anggota DPRD Kabupatan/Kota di Sumatera Selatan itu, mempunyai keprihatinan yang sama dengan apa yang saya rasakan. Di provinsi ini, tak lama lagi akan ada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur. KPUD Provinsi konon telah mengajukan anggaran Rp 350 milyar untuk hajatan itu. Namun yang disetujui adalah Rp. 150 milyar. Biaya ini belum terhitung biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan calon, baik dalam persiapan, maupun dalam kampanye, pengawasan dan penghitungan suara. Entah berapa biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para simpatisan dan pendukungnya, kita tidak tahu. Ada dugaan, biaya yang dikeluarkan adalah jauh lebih besar dari biaya yang dilaporkan secara resmi. Kalau biaya yang dikelurkan oleh masing-masing pasangan itu cukup besar, bagaimanakah mereka mengembalikannya?
Pertanyaan seperti di atas juga menghantui benak saya. Tidak semua orang benar-benar mempunyai idealisme tingggi, sehingga memandang jabatan adalah tugas dan amanah, tanpa perhitungan materi. Tak semua pula para pendukung bersedia mengeluarkan dana sponsor karena idealisme pula, seperti ingin melihat bangsa dan negara – atau daerah – menjadi maju. Mereka mungkin saja seperti udang dibalik batu. Kompensasi bantuan dana sponsor itu bukan mustahil pula harus “dibayar” dengan “pemberian” proyek-proyek Pemerintah atau kemudahan lain yang bersifat menguntungkan. Bukankah semua ini akan membuka peluang tumbuh-suburnya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme? Hati saya sukar untuk mengatakan tidak atas segala prasangka ini. Namun di sisi lain, saya juga tak dapat menafikan, idealisme tetap tinggi. Ada faktor ideologi, ada faktor subyektif misalnya rasa senang dan suka, yang mungkin saja mendorong seseorang untuk membantu. Mereka ingin melihat bangsa ini menjadi maju dan berkembang, tanpa memikirkan imbalan bagi dirinya sendiri.
Di akhir ceramah malam itu, ada beberapa anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Sumatra Selatan itu, yang bertanya apakah saya serius mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden 2009? Menurut mereka telah tiga kali berita itu menjadi headline Koran Sriwijaya Pos, yang menyebut dirinya sebagai “Korannya Wong Kito” itu. Berbagai tabloid di kota Palembang juga memberitakan hal yang sama. Terhadap pertanyaan itu saya menjawab, ibarat sembahyang, nawaitunya memang sudah dilafadzkan, tetapi takbirnya belum. Takbirnya itu baru dikumandangkan nanti setelah Pemilu DPR selesai, dan kita melihat apakah Partai Bulan Bintang berada dalam posisi yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Kini kami sedang berjuang ke arah itu.
Kalau modal pengalaman, ilmu, kesehatan jasmaniah dan rohaniah dan keanggupan kerja keras, saya katakan, Insya Allah, telah ada. Penyusunan program memang sedang dalam proses penggodokan. Sudah banyak pula kawan-kawan yang menawarkan diri menjadi tim sukses. Namun kalau ditanya persiapan dana, saya katakan, saya mungkin adalah bakal calon yang paling kedodoran. Saya menyadari bahwa biaya kampanye dan sebagainya sangatlah besar. Untuk hal yang satu ini, saya posisi saya seperti orang sudah kalah sebelum bertanding. Saya kembali kepada salah satu pokok persoalan yang dibahas dalam diskusi. Demokrasi sangat mahal. Biaya politik menjadi sangat tinggi. Meskipun begitu, saya tetap memiliki optimisme bahwa idealisme yang tinggi tetap ada. Rakyat juga sudah belajar banyak tentang demokrasi dari berbagai pengalaman yang mereka peroleh selama era Reformasi ini.
Hari sudah larut malam. Acara ceramah dan diskusi yang dimulai pukul delapan itu, berakhir pukul sebelas malam. Tak terasa kami telah melewati waktu selama tiga jam untuk bertukar-pikiran dengan jernih. Pagi-pagi sekali saya meninggalkan hotel menuju bandara untuk kembali ke Jakarta..
Wallahu’alam bissawwab
Sumber :
Oleh Yusril Ihza Mahendra
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/04/18/otonomi-daerah-dan-politik-biaya-tinggi/
18 April 2008
Otonomi Daerah Jangan Lahirkan Negara Baru
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan pelaksanaan otonomi daerah (otda) yang berujung pada lahirnya daerah-daerah otonomi baru, hendaknya tidak ditujukan untuk melahirkan atau membentuk negara baru.
Karena, menurut Mendagri, otda hanya merupakan alat atau sarana untuk meningkatkan kesejahteraan warga di daerah bersangkutan.
"Otonomi daerah bukan untuk melahirkan negara (baru, red) tapi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Mendagri ketika membuka Rapat Koordinasi Keuangan sehari di Jakarta, Selasa (15/12).
Dalam acara ini, Mendagri didampingi Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Timbul Pudjianto. Salah satu materi pertemuan ini adalah membicarakan penyediaan anggaran bagi pilkada.
Gamawan mengatakan, pada 2010 akan diselenggarakan 244 pemilihan kepala daerah atau pilkada mulai dari gubernur, walikota hingga bupati. Sejak reformasi 1998, telah dilahirkan tidak kurang dari 230 daerah otonomi baru, katanya.
"Dengan demikian, setiap tahun rata-rata dibentuk 23 daerah baru sehingga setiap 15 hari rata-rata lahir satu daerah baru," kata mantan gubernur Sumatera Barat, yang juga pernah menjadi bupati selama dua periode tersebut.
Ia menyebutkan pula pelaksanaan pilkada di berbagai daerah itu menjadi perhatian dunia internasional, karena Indonesia telah dianggap sebagai salah satu negara yang paling demokratis di dunia.
"Dunia akan bertanya-tanya apakah pilkada berjalan baik atau tidak," kata Gamawan kepada para bupati, walikota, sekretaris daerah yang menghadiri pertemuan itu.
Ia mengatakan bahwa lahirnya banyak daerah otonomi baru mengakibatkan dibutuhkannya sumber daya manusia(SDM) yang mampu di bidang tugasnya masing-masing seperti di bidang pengelolaan keuangan. "Apakah sudah cukup SDM-nya," katanya.
Jahe dan kunyit
Dalam kesempatan ini, Mendagri Gamawan Fauzi juga menyinggung masalah pertanggungjawaban dana yang dikelola para gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota yang biasanya diberi nama pos anggaran rumah tangga.
Seorang pejabat di daerah seperti walikota dan bupati bisa saja mendapat anggaran Rp10 juta hingga Rp15 juta tiap bulannya untuk sektor kerumahtanggaan misalnya untuk menjamu para tamunya yang datang sejak pagi hari hingga malam hari.
Dana tersebut biasanya dipakai untuk membeli kueh, kopi, teh dan makanan lainnya. "Bagaimana mempertanggungjawabkan pembelian teh, kopi, kunyit dan jahe," tanya Gamawan ketika memberi perumpamaan tentang cara pemanfaaatan dana rumah tangga tersebut.
Ia menambahkan, banyak daerah yang belum memiliki `super market` sehingga pembelian barang itu tidak dilengkapi atau didukung oleh kuitansi atau bon.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu menuntut agar setiap transaksi harus selalu dilengkapi bon atau kuitansi.
"Jika satu bulan saja seorang walikota atau bupati mendapat anggaran rumah tangga Rp10 juta, maka satu tahun terdapat dana Rp120 juta," kata Mendagri ketika memberi contoh tentang masih timbulnya masalah pertanggungjawaban keuangan para kepala daerah.
Karena itu, ia minta para pejabat di daerah untuk bekerja sama dengan BPK dan BPKP untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tentu kita tidak menginginkan ada pejabat-pejabat yang masuk ke penjara lagi," kata Gamawan.(ant/yan)
Sumber :
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/8133-otda-tidak-untuk-lahirkan-negara-baru
15 Desember 2009
Karena, menurut Mendagri, otda hanya merupakan alat atau sarana untuk meningkatkan kesejahteraan warga di daerah bersangkutan.
"Otonomi daerah bukan untuk melahirkan negara (baru, red) tapi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Mendagri ketika membuka Rapat Koordinasi Keuangan sehari di Jakarta, Selasa (15/12).
Dalam acara ini, Mendagri didampingi Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Timbul Pudjianto. Salah satu materi pertemuan ini adalah membicarakan penyediaan anggaran bagi pilkada.
Gamawan mengatakan, pada 2010 akan diselenggarakan 244 pemilihan kepala daerah atau pilkada mulai dari gubernur, walikota hingga bupati. Sejak reformasi 1998, telah dilahirkan tidak kurang dari 230 daerah otonomi baru, katanya.
"Dengan demikian, setiap tahun rata-rata dibentuk 23 daerah baru sehingga setiap 15 hari rata-rata lahir satu daerah baru," kata mantan gubernur Sumatera Barat, yang juga pernah menjadi bupati selama dua periode tersebut.
Ia menyebutkan pula pelaksanaan pilkada di berbagai daerah itu menjadi perhatian dunia internasional, karena Indonesia telah dianggap sebagai salah satu negara yang paling demokratis di dunia.
"Dunia akan bertanya-tanya apakah pilkada berjalan baik atau tidak," kata Gamawan kepada para bupati, walikota, sekretaris daerah yang menghadiri pertemuan itu.
Ia mengatakan bahwa lahirnya banyak daerah otonomi baru mengakibatkan dibutuhkannya sumber daya manusia(SDM) yang mampu di bidang tugasnya masing-masing seperti di bidang pengelolaan keuangan. "Apakah sudah cukup SDM-nya," katanya.
Jahe dan kunyit
Dalam kesempatan ini, Mendagri Gamawan Fauzi juga menyinggung masalah pertanggungjawaban dana yang dikelola para gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota yang biasanya diberi nama pos anggaran rumah tangga.
Seorang pejabat di daerah seperti walikota dan bupati bisa saja mendapat anggaran Rp10 juta hingga Rp15 juta tiap bulannya untuk sektor kerumahtanggaan misalnya untuk menjamu para tamunya yang datang sejak pagi hari hingga malam hari.
Dana tersebut biasanya dipakai untuk membeli kueh, kopi, teh dan makanan lainnya. "Bagaimana mempertanggungjawabkan pembelian teh, kopi, kunyit dan jahe," tanya Gamawan ketika memberi perumpamaan tentang cara pemanfaaatan dana rumah tangga tersebut.
Ia menambahkan, banyak daerah yang belum memiliki `super market` sehingga pembelian barang itu tidak dilengkapi atau didukung oleh kuitansi atau bon.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu menuntut agar setiap transaksi harus selalu dilengkapi bon atau kuitansi.
"Jika satu bulan saja seorang walikota atau bupati mendapat anggaran rumah tangga Rp10 juta, maka satu tahun terdapat dana Rp120 juta," kata Mendagri ketika memberi contoh tentang masih timbulnya masalah pertanggungjawaban keuangan para kepala daerah.
Karena itu, ia minta para pejabat di daerah untuk bekerja sama dengan BPK dan BPKP untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tentu kita tidak menginginkan ada pejabat-pejabat yang masuk ke penjara lagi," kata Gamawan.(ant/yan)
Sumber :
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/8133-otda-tidak-untuk-lahirkan-negara-baru
15 Desember 2009
Kabar Buruk dari Otonomi Daerah
Memasuki tahun kesembilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kabar buruk belum mau menjauh dari proses yang telah membuat Indonesia menjadi sangat berbeda dibanding era sebelum tahun 2000. Kabar buruk tersebut adalah hasil audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah.
Hanya sedikit sekali dari laporan keuangan daerah yang mendapatkan predikat ”wajar tanpa pengecualian”. Kebanyakan mendapat predikat ”wajar dengan pengecualian” dan ada sekelompok daerah yang bahkan berpredikat lebih buruk daripada itu.
Kabar buruk ini sangat mengganggu di tengah krisis keuangan global yang memaksa setiap pihak mengoptimalkan penggunaan anggarannya. Juga di tengah upaya segenap lapisan bangsa menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik di segala bidang. Menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah daerah seolah menomorduakan upaya penegakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak peduli kepentingan masyarakat lokal yang bergantung pada APBD.
Hasil audit itu juga dapat menjadi batu sandungan bagi proses otonomi daerah, yang meskipun hampir tidak mungkin dibatalkan, tetapi selalu dipertanyakan relevansi dan manfaatnya. Masalah pemekaran daerah yang seolah tidak mungkin dihentikan sudah merupakan pertanyaan besar tersendiri bagi proses otonomi daerah. Dan, sampai hari ini kelihatannya belum ada formula yang jitu, paling tidak secara politis, untuk melakukan moratorium pemekaran itu sendiri.
Kombinasi masalah pemekaran daerah dengan buruknya pengelolaan keuangan daerah akan makin memberi angin kepada kelompok yang merasa bahwa otonomi daerah hanyalah suatu hura-hura politik. Lebih jauh lagi mereka menganggap bahwa otonomi daerah adalah suatu kegagalan yang harus dihentikan dan kembali ke sentralisasi.
Pendapat terakhir mungkin tidak akan terjadi, tetapi relevansi otonomi daerah dan desentralisasi dalam pembangunan ekonomi nasional harus terus diperkuat. Dimulai dari pengelolaan APBD yang tepat.
Prinsip dasar pengelolaan APBD yang tepat adalah bahwa APBD merupakan anggaran untuk mendukung perekonomian daerah. Bukan anggaran operasional pemerintah daerah. Sebagian besar daerah masih terjebak, belum mampu melepaskan diri dari paradigma bahwa APBD diprioritaskan untuk operasional pemerintah daerah.
Untuk layanan publik
APBD seharusnya diprioritaskan untuk layanan publik dan stimulus ekonomi lokal dengan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Birokrasi lokal akan dipaksa untuk efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya dan otomatis produktivitas mereka harus ditingkatkan sehingga pengeluaran untuk setiap aparat pemda bermanfaat meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong perekonomian lokal.
Keluhan sebagian besar daerah bahwa APBD mereka habis untuk belanja pegawai. Seharusnya mereka atasi dulu dengan reformasi birokrasi lokal yang bertujuan untuk mengefisienkan mereka sekaligus meningkatkan produktivitasnya. Karena itu, pemekaran daerah seharusnya tidak menambah inefisiensi birokrasi lokal dengan tidak merekrut pegawai baru begitu saja setiap ada daerah yang baru dibentuk. Semangat persatuan Indonesia tetap harus dijaga dalam konteks otonomi daerah sehingga jangan sampai semangat ”putra daerah” mendominasi perekrutan pegawai di tingkat lokal.
Untuk mendukung pengelolaan APBD yang tepat, alokasi belanja menjadi sangat penting. Kreativitas daerah dalam meningkatkan belanja publik dan belanja modal menjadi kunci keberhasilan pembangunan di daerah. Layanan publik jelas tanggung jawab pemda yang tidak mungkin diambil alih swasta sehingga harus dialokasikan dana yang cukup dalam APBD untuk terus meningkatkan kualitas layanan publik.
Apabila mereka terjebak dengan belanja pegawai, kualitas layanan publik akan terus menurun dan akan makin menjauhkan masyarakat lokal dari kesejahteraan yang mereka idamkan. Prioritas dalam belanja publik pemda adalah kunci keberhasilan pemda yang mampu menggerakkan ekonomi lokalnya dan sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan output perekonomian, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan pendapatan masyarakat.
Dari contoh beberapa daerah yang dianggap berhasil mengelola perekonomiannya terlihat bahwa kemampuan menetapkan prioritas belanja sangat menentukan. Dengan sumber daya yang terbatas, APBD tidak akan sanggup menggerakkan semua unsur perekonomian lokal secara optimal sehingga prioritas bukan lagi suatu pilihan, tetapi keharusan bagi setiap pemda.
Optimalisasi pengelolaan APBD juga harus memerhatikan bahwa sejumlah uang yang sudah dianggarkan harus dipakai atau dihabiskan sesuai dengan belanja yang direncanakan. Terjadinya sisa anggaran baru bisa ditolerir apabila memang terjadi penghematan dalam belanja yang tentunya akan membantu anggaran berikutnya.
Yang tidak boleh terjadi adalah membiarkan uang APBD menganggur atau bahkan tidak terserap sama sekali dalam satu tahun anggaran. Uang yang menganggur mencerminkan adanya aktivitas perbaikan layanan publik yang tidak jalan dan tentunya merugikan masyarakat lokal. Percepatan penyerapan anggaran masih merupakan pekerjaan rumah penting bagi pemerintah daerah dan pusat.
Pemerintah pusat masih harus memastikan bahwa pencarian dana bagi hasil dapat mencapai daerah sebelum tutup tahun anggaran sehingga daerah masih bisa memanfaatkannya. Masalah penyerapan anggaran tiap tahun yang selalu muncul di media, tetapi belum banyak kemajuan untuk perbaikan. Dari segi pemanfaatan APBD, jelas hal ini merugikan masyarakat lokal yang berhak menikmati penggunaan APBD tersebut pada waktunya.
Dasar dari segala aspek pengelolaan keuangan daerah tentunya adalah akuntansi keuangan daerah yang rapi dan sesuai kaidah yang ada sehingga APBD sendiri menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil audit BPK yang menunjukkan masih lemahnya pengelolaan keuangan daerah. Kebanyakan daerah belum siap otonom dalam menggali sumber keuangan daerah, misalnya dengan mengeluarkan obligasi daerah. Untuk mengeluarkan obligasi, perlu laporan keuangan yang sudah diaudit dengan opini wajar tanpa pengecualian.
Pengelolaan yang masih buruk juga bisa berindikasi kurang transparannya APBD dan cenderung ada penyalahgunaan oleh sekelompok elite lokal. Agar dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan daerah, selain komitmen politik pimpinan lokal, perlu perbaikan drastis kualitas SDM akuntansi keuangan daerah. Setiap pemerintah daerah harus memenuhi jumlah minimum akuntan di unit kerjanya. Para akuntan pemda sendiri harus diperkuat sisi profesionalnya sehingga tidak menjadi seperti birokrat lain yang mudah dipindahkan ke unit lain yang tidak relevan.
Seperti halnya perusahaan yang menuntut adanya pengelolaan keuangan yang baik karena yang dikelola adalah uang pemegang saham, pemda pun dituntut hal serupa. Karena uang yang dikelola adalah uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak pemerintah pusat. Jadi, harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Sumber :
Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar FEUI
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/18/04040478/kabar.buruk.dari.otonomi.daerah
18 Agustus 2009
Hanya sedikit sekali dari laporan keuangan daerah yang mendapatkan predikat ”wajar tanpa pengecualian”. Kebanyakan mendapat predikat ”wajar dengan pengecualian” dan ada sekelompok daerah yang bahkan berpredikat lebih buruk daripada itu.
Kabar buruk ini sangat mengganggu di tengah krisis keuangan global yang memaksa setiap pihak mengoptimalkan penggunaan anggarannya. Juga di tengah upaya segenap lapisan bangsa menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik di segala bidang. Menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah daerah seolah menomorduakan upaya penegakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak peduli kepentingan masyarakat lokal yang bergantung pada APBD.
Hasil audit itu juga dapat menjadi batu sandungan bagi proses otonomi daerah, yang meskipun hampir tidak mungkin dibatalkan, tetapi selalu dipertanyakan relevansi dan manfaatnya. Masalah pemekaran daerah yang seolah tidak mungkin dihentikan sudah merupakan pertanyaan besar tersendiri bagi proses otonomi daerah. Dan, sampai hari ini kelihatannya belum ada formula yang jitu, paling tidak secara politis, untuk melakukan moratorium pemekaran itu sendiri.
Kombinasi masalah pemekaran daerah dengan buruknya pengelolaan keuangan daerah akan makin memberi angin kepada kelompok yang merasa bahwa otonomi daerah hanyalah suatu hura-hura politik. Lebih jauh lagi mereka menganggap bahwa otonomi daerah adalah suatu kegagalan yang harus dihentikan dan kembali ke sentralisasi.
Pendapat terakhir mungkin tidak akan terjadi, tetapi relevansi otonomi daerah dan desentralisasi dalam pembangunan ekonomi nasional harus terus diperkuat. Dimulai dari pengelolaan APBD yang tepat.
Prinsip dasar pengelolaan APBD yang tepat adalah bahwa APBD merupakan anggaran untuk mendukung perekonomian daerah. Bukan anggaran operasional pemerintah daerah. Sebagian besar daerah masih terjebak, belum mampu melepaskan diri dari paradigma bahwa APBD diprioritaskan untuk operasional pemerintah daerah.
Untuk layanan publik
APBD seharusnya diprioritaskan untuk layanan publik dan stimulus ekonomi lokal dengan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Birokrasi lokal akan dipaksa untuk efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya dan otomatis produktivitas mereka harus ditingkatkan sehingga pengeluaran untuk setiap aparat pemda bermanfaat meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong perekonomian lokal.
Keluhan sebagian besar daerah bahwa APBD mereka habis untuk belanja pegawai. Seharusnya mereka atasi dulu dengan reformasi birokrasi lokal yang bertujuan untuk mengefisienkan mereka sekaligus meningkatkan produktivitasnya. Karena itu, pemekaran daerah seharusnya tidak menambah inefisiensi birokrasi lokal dengan tidak merekrut pegawai baru begitu saja setiap ada daerah yang baru dibentuk. Semangat persatuan Indonesia tetap harus dijaga dalam konteks otonomi daerah sehingga jangan sampai semangat ”putra daerah” mendominasi perekrutan pegawai di tingkat lokal.
Untuk mendukung pengelolaan APBD yang tepat, alokasi belanja menjadi sangat penting. Kreativitas daerah dalam meningkatkan belanja publik dan belanja modal menjadi kunci keberhasilan pembangunan di daerah. Layanan publik jelas tanggung jawab pemda yang tidak mungkin diambil alih swasta sehingga harus dialokasikan dana yang cukup dalam APBD untuk terus meningkatkan kualitas layanan publik.
Apabila mereka terjebak dengan belanja pegawai, kualitas layanan publik akan terus menurun dan akan makin menjauhkan masyarakat lokal dari kesejahteraan yang mereka idamkan. Prioritas dalam belanja publik pemda adalah kunci keberhasilan pemda yang mampu menggerakkan ekonomi lokalnya dan sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan output perekonomian, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan pendapatan masyarakat.
Dari contoh beberapa daerah yang dianggap berhasil mengelola perekonomiannya terlihat bahwa kemampuan menetapkan prioritas belanja sangat menentukan. Dengan sumber daya yang terbatas, APBD tidak akan sanggup menggerakkan semua unsur perekonomian lokal secara optimal sehingga prioritas bukan lagi suatu pilihan, tetapi keharusan bagi setiap pemda.
Optimalisasi pengelolaan APBD juga harus memerhatikan bahwa sejumlah uang yang sudah dianggarkan harus dipakai atau dihabiskan sesuai dengan belanja yang direncanakan. Terjadinya sisa anggaran baru bisa ditolerir apabila memang terjadi penghematan dalam belanja yang tentunya akan membantu anggaran berikutnya.
Yang tidak boleh terjadi adalah membiarkan uang APBD menganggur atau bahkan tidak terserap sama sekali dalam satu tahun anggaran. Uang yang menganggur mencerminkan adanya aktivitas perbaikan layanan publik yang tidak jalan dan tentunya merugikan masyarakat lokal. Percepatan penyerapan anggaran masih merupakan pekerjaan rumah penting bagi pemerintah daerah dan pusat.
Pemerintah pusat masih harus memastikan bahwa pencarian dana bagi hasil dapat mencapai daerah sebelum tutup tahun anggaran sehingga daerah masih bisa memanfaatkannya. Masalah penyerapan anggaran tiap tahun yang selalu muncul di media, tetapi belum banyak kemajuan untuk perbaikan. Dari segi pemanfaatan APBD, jelas hal ini merugikan masyarakat lokal yang berhak menikmati penggunaan APBD tersebut pada waktunya.
Dasar dari segala aspek pengelolaan keuangan daerah tentunya adalah akuntansi keuangan daerah yang rapi dan sesuai kaidah yang ada sehingga APBD sendiri menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil audit BPK yang menunjukkan masih lemahnya pengelolaan keuangan daerah. Kebanyakan daerah belum siap otonom dalam menggali sumber keuangan daerah, misalnya dengan mengeluarkan obligasi daerah. Untuk mengeluarkan obligasi, perlu laporan keuangan yang sudah diaudit dengan opini wajar tanpa pengecualian.
Pengelolaan yang masih buruk juga bisa berindikasi kurang transparannya APBD dan cenderung ada penyalahgunaan oleh sekelompok elite lokal. Agar dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan daerah, selain komitmen politik pimpinan lokal, perlu perbaikan drastis kualitas SDM akuntansi keuangan daerah. Setiap pemerintah daerah harus memenuhi jumlah minimum akuntan di unit kerjanya. Para akuntan pemda sendiri harus diperkuat sisi profesionalnya sehingga tidak menjadi seperti birokrat lain yang mudah dipindahkan ke unit lain yang tidak relevan.
Seperti halnya perusahaan yang menuntut adanya pengelolaan keuangan yang baik karena yang dikelola adalah uang pemegang saham, pemda pun dituntut hal serupa. Karena uang yang dikelola adalah uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak pemerintah pusat. Jadi, harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Sumber :
Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar FEUI
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/18/04040478/kabar.buruk.dari.otonomi.daerah
18 Agustus 2009
Pemerintah akan Upayakan Pembenahan Otonomi Daerah
Pemberian otonomi luas kepada daerah ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dengan otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, ke khususan serta potensi keanekaragaman daerah.
Sebagai negara besar yang sangat pluralistik tidak mungkin dapat dikelola dengan cara sentralistik. Idealnya dibutuhkan pembelahan wilayah. Menyadari hal tersebut, penerapan Kebijakan Desentralisasi melalui pembentukkan Otonomi Daerah merupakan pilihan tepat, demikian dikatakan Gubernur Lemhannas RI, Prof. DR. Muladi, S.H. pada saat membuka Seminar Nasional yang mengambil tema "Urgensi Pemekaran Daerah untuk Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat". Selasa (29/9).
Acara yang diselenggarakan di Gedung Dwiwarna Purwa Lemhannas RI tersebut hadir mewakili DESDM, Sekretaris Jenderal DESDM, Waryono Karno. Beliau mengatakan terdapat dua pendapat mensikapi Kebijakan Otonomi Daerah pertama mendukung dan kedua tidak mendukung. Pendapat yang mendukung mengatakan bahwa dengan adanya pemekaran wilayah maka pembangunan daerah, perbaikan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik lebih dapat ditingkatkan.
Pendapat yang tidak mendukung lanjut Sekjen, mengatakan bahwa pemekaran wilayah merupakan ajang kepentingan politik dan keuangan dan cenderung menimbulkan ketegangan lokal berupa batas wilayah, kewenangan, pergeseran budaya dan agama serta adat yang bernuansa lokal. Selain itu, pemekaran menyebabkan ketergantungan pada Pemerintaah Pusat sangat tinggi.
Sepuluh tahun terakhir (1999-2009) telah terbentuk 205 daerah otonom baru, yaitu 7 Provinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota. Dengan demikian jumlah daerah otonom yang ada hingga saat ini adalah 524 daerah, yang terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 Kota. Otonomi Daerah telah memberikan keleluasaan Pemerintah Daerah untuk menjalankan Konstitusi sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi daerah untuk kepentigan rakyat.
Sekjen DESDM menambahkan, dalam sambutanya Gubernur Lemhanas RI mengatakan, pemerintah akan mengupayakan pembenahan Kebijakan Otonomi dengan melakukan evaluasi dan menyusun Grand Design dan Grand Strategy
Hadir sebagai narasumber dalam acara seminar yang dipandu Mayjen (Purn) S.H.M. Lerrik tersebut lima pembicara, yaitu, Wan Tim Pres/Taprof Lemhannas RI Letjen (Purn) Dr. TB. Silalahi, S.H., pakar Otda DPR RI, Prof. Dr. Riyas Rasyid, Dirjen Otda Depdagri Dr. Sodjuanon Situmorang, M.Si, DPD-RI Drs. Harun Al Rassyid, M.Si. dan Dirjen Perimbangan Keuangan Depku RI Prof. Dr. Mardiasmo.
Sedang sebagai penanggap hadir, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, Pengamat Politik The Habibie Centre Dr. Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI Tri Ratnawati, Phd, Staf Khusus Menko Perekonomian Urusan Ekonomi Daerah dan Desntralisasi B. Raksa Kamahi, Phd., Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan Dr. H. Zairullah Azhar, M.Sc. serta Walikota Pangkal Pinang Drs. H. Zulkarnain Karim, M.M. tentang jumlah ideal daerah otonomi Provinsi maupun Kabupaten dan Kota atas dasar parameter yang terukur serta mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang insentif bagi daerah yang melakukan penggabungan (merger).
Sumber:
http://www.esdm.go.id/berita/umum/37-umum/2922-pemerintah-akan-upayakan-pembenahan-otonomi-daerah.html
19 Oktober 2009
Sebagai negara besar yang sangat pluralistik tidak mungkin dapat dikelola dengan cara sentralistik. Idealnya dibutuhkan pembelahan wilayah. Menyadari hal tersebut, penerapan Kebijakan Desentralisasi melalui pembentukkan Otonomi Daerah merupakan pilihan tepat, demikian dikatakan Gubernur Lemhannas RI, Prof. DR. Muladi, S.H. pada saat membuka Seminar Nasional yang mengambil tema "Urgensi Pemekaran Daerah untuk Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat". Selasa (29/9).
Acara yang diselenggarakan di Gedung Dwiwarna Purwa Lemhannas RI tersebut hadir mewakili DESDM, Sekretaris Jenderal DESDM, Waryono Karno. Beliau mengatakan terdapat dua pendapat mensikapi Kebijakan Otonomi Daerah pertama mendukung dan kedua tidak mendukung. Pendapat yang mendukung mengatakan bahwa dengan adanya pemekaran wilayah maka pembangunan daerah, perbaikan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik lebih dapat ditingkatkan.
Pendapat yang tidak mendukung lanjut Sekjen, mengatakan bahwa pemekaran wilayah merupakan ajang kepentingan politik dan keuangan dan cenderung menimbulkan ketegangan lokal berupa batas wilayah, kewenangan, pergeseran budaya dan agama serta adat yang bernuansa lokal. Selain itu, pemekaran menyebabkan ketergantungan pada Pemerintaah Pusat sangat tinggi.
Sepuluh tahun terakhir (1999-2009) telah terbentuk 205 daerah otonom baru, yaitu 7 Provinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota. Dengan demikian jumlah daerah otonom yang ada hingga saat ini adalah 524 daerah, yang terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 Kota. Otonomi Daerah telah memberikan keleluasaan Pemerintah Daerah untuk menjalankan Konstitusi sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi daerah untuk kepentigan rakyat.
Sekjen DESDM menambahkan, dalam sambutanya Gubernur Lemhanas RI mengatakan, pemerintah akan mengupayakan pembenahan Kebijakan Otonomi dengan melakukan evaluasi dan menyusun Grand Design dan Grand Strategy
Hadir sebagai narasumber dalam acara seminar yang dipandu Mayjen (Purn) S.H.M. Lerrik tersebut lima pembicara, yaitu, Wan Tim Pres/Taprof Lemhannas RI Letjen (Purn) Dr. TB. Silalahi, S.H., pakar Otda DPR RI, Prof. Dr. Riyas Rasyid, Dirjen Otda Depdagri Dr. Sodjuanon Situmorang, M.Si, DPD-RI Drs. Harun Al Rassyid, M.Si. dan Dirjen Perimbangan Keuangan Depku RI Prof. Dr. Mardiasmo.
Sedang sebagai penanggap hadir, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, Pengamat Politik The Habibie Centre Dr. Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI Tri Ratnawati, Phd, Staf Khusus Menko Perekonomian Urusan Ekonomi Daerah dan Desntralisasi B. Raksa Kamahi, Phd., Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan Dr. H. Zairullah Azhar, M.Sc. serta Walikota Pangkal Pinang Drs. H. Zulkarnain Karim, M.M. tentang jumlah ideal daerah otonomi Provinsi maupun Kabupaten dan Kota atas dasar parameter yang terukur serta mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang insentif bagi daerah yang melakukan penggabungan (merger).
Sumber:
http://www.esdm.go.id/berita/umum/37-umum/2922-pemerintah-akan-upayakan-pembenahan-otonomi-daerah.html
19 Oktober 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)