Saturday, December 19, 2009

Kabar Buruk dari Otonomi Daerah

Memasuki tahun kesembilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kabar buruk belum mau menjauh dari proses yang telah membuat Indonesia menjadi sangat berbeda dibanding era sebelum tahun 2000. Kabar buruk tersebut adalah hasil audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah.

Hanya sedikit sekali dari laporan keuangan daerah yang mendapatkan predikat ”wajar tanpa pengecualian”. Kebanyakan mendapat predikat ”wajar dengan pengecualian” dan ada sekelompok daerah yang bahkan berpredikat lebih buruk daripada itu.

Kabar buruk ini sangat mengganggu di tengah krisis keuangan global yang memaksa setiap pihak mengoptimalkan penggunaan anggarannya. Juga di tengah upaya segenap lapisan bangsa menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik di segala bidang. Menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah daerah seolah menomorduakan upaya penegakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak peduli kepentingan masyarakat lokal yang bergantung pada APBD.

Hasil audit itu juga dapat menjadi batu sandungan bagi proses otonomi daerah, yang meskipun hampir tidak mungkin dibatalkan, tetapi selalu dipertanyakan relevansi dan manfaatnya. Masalah pemekaran daerah yang seolah tidak mungkin dihentikan sudah merupakan pertanyaan besar tersendiri bagi proses otonomi daerah. Dan, sampai hari ini kelihatannya belum ada formula yang jitu, paling tidak secara politis, untuk melakukan moratorium pemekaran itu sendiri.

Kombinasi masalah pemekaran daerah dengan buruknya pengelolaan keuangan daerah akan makin memberi angin kepada kelompok yang merasa bahwa otonomi daerah hanyalah suatu hura-hura politik. Lebih jauh lagi mereka menganggap bahwa otonomi daerah adalah suatu kegagalan yang harus dihentikan dan kembali ke sentralisasi.

Pendapat terakhir mungkin tidak akan terjadi, tetapi relevansi otonomi daerah dan desentralisasi dalam pembangunan ekonomi nasional harus terus diperkuat. Dimulai dari pengelolaan APBD yang tepat.

Prinsip dasar pengelolaan APBD yang tepat adalah bahwa APBD merupakan anggaran untuk mendukung perekonomian daerah. Bukan anggaran operasional pemerintah daerah. Sebagian besar daerah masih terjebak, belum mampu melepaskan diri dari paradigma bahwa APBD diprioritaskan untuk operasional pemerintah daerah.

Untuk layanan publik

APBD seharusnya diprioritaskan untuk layanan publik dan stimulus ekonomi lokal dengan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Birokrasi lokal akan dipaksa untuk efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya dan otomatis produktivitas mereka harus ditingkatkan sehingga pengeluaran untuk setiap aparat pemda bermanfaat meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong perekonomian lokal.

Keluhan sebagian besar daerah bahwa APBD mereka habis untuk belanja pegawai. Seharusnya mereka atasi dulu dengan reformasi birokrasi lokal yang bertujuan untuk mengefisienkan mereka sekaligus meningkatkan produktivitasnya. Karena itu, pemekaran daerah seharusnya tidak menambah inefisiensi birokrasi lokal dengan tidak merekrut pegawai baru begitu saja setiap ada daerah yang baru dibentuk. Semangat persatuan Indonesia tetap harus dijaga dalam konteks otonomi daerah sehingga jangan sampai semangat ”putra daerah” mendominasi perekrutan pegawai di tingkat lokal.

Untuk mendukung pengelolaan APBD yang tepat, alokasi belanja menjadi sangat penting. Kreativitas daerah dalam meningkatkan belanja publik dan belanja modal menjadi kunci keberhasilan pembangunan di daerah. Layanan publik jelas tanggung jawab pemda yang tidak mungkin diambil alih swasta sehingga harus dialokasikan dana yang cukup dalam APBD untuk terus meningkatkan kualitas layanan publik.

Apabila mereka terjebak dengan belanja pegawai, kualitas layanan publik akan terus menurun dan akan makin menjauhkan masyarakat lokal dari kesejahteraan yang mereka idamkan. Prioritas dalam belanja publik pemda adalah kunci keberhasilan pemda yang mampu menggerakkan ekonomi lokalnya dan sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan output perekonomian, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan pendapatan masyarakat.

Dari contoh beberapa daerah yang dianggap berhasil mengelola perekonomiannya terlihat bahwa kemampuan menetapkan prioritas belanja sangat menentukan. Dengan sumber daya yang terbatas, APBD tidak akan sanggup menggerakkan semua unsur perekonomian lokal secara optimal sehingga prioritas bukan lagi suatu pilihan, tetapi keharusan bagi setiap pemda.

Optimalisasi pengelolaan APBD juga harus memerhatikan bahwa sejumlah uang yang sudah dianggarkan harus dipakai atau dihabiskan sesuai dengan belanja yang direncanakan. Terjadinya sisa anggaran baru bisa ditolerir apabila memang terjadi penghematan dalam belanja yang tentunya akan membantu anggaran berikutnya.

Yang tidak boleh terjadi adalah membiarkan uang APBD menganggur atau bahkan tidak terserap sama sekali dalam satu tahun anggaran. Uang yang menganggur mencerminkan adanya aktivitas perbaikan layanan publik yang tidak jalan dan tentunya merugikan masyarakat lokal. Percepatan penyerapan anggaran masih merupakan pekerjaan rumah penting bagi pemerintah daerah dan pusat.

Pemerintah pusat masih harus memastikan bahwa pencarian dana bagi hasil dapat mencapai daerah sebelum tutup tahun anggaran sehingga daerah masih bisa memanfaatkannya. Masalah penyerapan anggaran tiap tahun yang selalu muncul di media, tetapi belum banyak kemajuan untuk perbaikan. Dari segi pemanfaatan APBD, jelas hal ini merugikan masyarakat lokal yang berhak menikmati penggunaan APBD tersebut pada waktunya.

Dasar dari segala aspek pengelolaan keuangan daerah tentunya adalah akuntansi keuangan daerah yang rapi dan sesuai kaidah yang ada sehingga APBD sendiri menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hasil audit BPK yang menunjukkan masih lemahnya pengelolaan keuangan daerah. Kebanyakan daerah belum siap otonom dalam menggali sumber keuangan daerah, misalnya dengan mengeluarkan obligasi daerah. Untuk mengeluarkan obligasi, perlu laporan keuangan yang sudah diaudit dengan opini wajar tanpa pengecualian.

Pengelolaan yang masih buruk juga bisa berindikasi kurang transparannya APBD dan cenderung ada penyalahgunaan oleh sekelompok elite lokal. Agar dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan daerah, selain komitmen politik pimpinan lokal, perlu perbaikan drastis kualitas SDM akuntansi keuangan daerah. Setiap pemerintah daerah harus memenuhi jumlah minimum akuntan di unit kerjanya. Para akuntan pemda sendiri harus diperkuat sisi profesionalnya sehingga tidak menjadi seperti birokrat lain yang mudah dipindahkan ke unit lain yang tidak relevan.

Seperti halnya perusahaan yang menuntut adanya pengelolaan keuangan yang baik karena yang dikelola adalah uang pemegang saham, pemda pun dituntut hal serupa. Karena uang yang dikelola adalah uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak pemerintah pusat. Jadi, harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Sumber :
Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar FEUI
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/18/04040478/kabar.buruk.dari.otonomi.daerah
18 Agustus 2009

No comments:

Post a Comment