Saturday, December 19, 2009

Otonomi Daerah Jangan Lahirkan Negara Baru

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan pelaksanaan otonomi daerah (otda) yang berujung pada lahirnya daerah-daerah otonomi baru, hendaknya tidak ditujukan untuk melahirkan atau membentuk negara baru.

Karena, menurut Mendagri, otda hanya merupakan alat atau sarana untuk meningkatkan kesejahteraan warga di daerah bersangkutan.

"Otonomi daerah bukan untuk melahirkan negara (baru, red) tapi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Mendagri ketika membuka Rapat Koordinasi Keuangan sehari di Jakarta, Selasa (15/12).

Dalam acara ini, Mendagri didampingi Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Timbul Pudjianto. Salah satu materi pertemuan ini adalah membicarakan penyediaan anggaran bagi pilkada.

Gamawan mengatakan, pada 2010 akan diselenggarakan 244 pemilihan kepala daerah atau pilkada mulai dari gubernur, walikota hingga bupati. Sejak reformasi 1998, telah dilahirkan tidak kurang dari 230 daerah otonomi baru, katanya.

"Dengan demikian, setiap tahun rata-rata dibentuk 23 daerah baru sehingga setiap 15 hari rata-rata lahir satu daerah baru," kata mantan gubernur Sumatera Barat, yang juga pernah menjadi bupati selama dua periode tersebut.

Ia menyebutkan pula pelaksanaan pilkada di berbagai daerah itu menjadi perhatian dunia internasional, karena Indonesia telah dianggap sebagai salah satu negara yang paling demokratis di dunia.

"Dunia akan bertanya-tanya apakah pilkada berjalan baik atau tidak," kata Gamawan kepada para bupati, walikota, sekretaris daerah yang menghadiri pertemuan itu.

Ia mengatakan bahwa lahirnya banyak daerah otonomi baru mengakibatkan dibutuhkannya sumber daya manusia(SDM) yang mampu di bidang tugasnya masing-masing seperti di bidang pengelolaan keuangan. "Apakah sudah cukup SDM-nya," katanya.

Jahe dan kunyit

Dalam kesempatan ini, Mendagri Gamawan Fauzi juga menyinggung masalah pertanggungjawaban dana yang dikelola para gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota yang biasanya diberi nama pos anggaran rumah tangga.

Seorang pejabat di daerah seperti walikota dan bupati bisa saja mendapat anggaran Rp10 juta hingga Rp15 juta tiap bulannya untuk sektor kerumahtanggaan misalnya untuk menjamu para tamunya yang datang sejak pagi hari hingga malam hari.

Dana tersebut biasanya dipakai untuk membeli kueh, kopi, teh dan makanan lainnya. "Bagaimana mempertanggungjawabkan pembelian teh, kopi, kunyit dan jahe," tanya Gamawan ketika memberi perumpamaan tentang cara pemanfaaatan dana rumah tangga tersebut.

Ia menambahkan, banyak daerah yang belum memiliki `super market` sehingga pembelian barang itu tidak dilengkapi atau didukung oleh kuitansi atau bon.

Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu menuntut agar setiap transaksi harus selalu dilengkapi bon atau kuitansi.

"Jika satu bulan saja seorang walikota atau bupati mendapat anggaran rumah tangga Rp10 juta, maka satu tahun terdapat dana Rp120 juta," kata Mendagri ketika memberi contoh tentang masih timbulnya masalah pertanggungjawaban keuangan para kepala daerah.

Karena itu, ia minta para pejabat di daerah untuk bekerja sama dengan BPK dan BPKP untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Tentu kita tidak menginginkan ada pejabat-pejabat yang masuk ke penjara lagi," kata Gamawan.(ant/yan)

Sumber :
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/8133-otda-tidak-untuk-lahirkan-negara-baru
15 Desember 2009

No comments:

Post a Comment