Monday, August 19, 2013

Esensi Pemekaran Daerah

Oleh : Anang Anas Azhar MA

ISTILAH Otonomi Daerah (Otda) sebenarnya sudah akrab di hati masyarakat Indonesia sejak pemerintahan orde baru. Otonomi daerah secara sempit diartikan sebagai pemekaran daerah.
Wujud Otda adalah pemekaran wilayah, akhirnya ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) yang kemudian disebut dengan UU Otonomi Daerah. Konsep dari UU inilah, sejak reformasi sampai saat ini menjadi rebutan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk berlomba-lomba memekarkan daerahnya.


Sejak bergulirnya UU Otda pasca reformasi, sudah puluhan kabupaten/kota yang sudah dimekarkan, begitu juga pemekaran propinsi. Inilah bentuk nyata dari UU Otda tersebut, bahkan banyak daerah yang ingin memekarkan wilayahnya, namun terganjal beberapa faktor. Misalnya, persoalan geografis kependudukan atau persoalan politik pemerintahan yang masih mendera beberapa daerah. Setelah dimekarkan, masih banyak daerah hanya “merengek” kepada pemerintah pusat dengan alasan tidak mampu membelanjai daerahnya. Bahkan, pendapatan asli daerah (PAD)-nya juga tidak mampu membelajai pegawainya, apalagi membangun daerahnya sebagai daerah otonom baru.

Fakta yang kita lihat sejak dimekarkannya puluhan kabupaten/kota maupun propinsi selama 14 tahun terakhir, daerah otonomi baru masih terancam kemandiriannya karena tidak mampu berdiri sendiri setelah dimekarkan dari kabupaten induk. Kendala-kendala seperti inilah kemudian, yang menghambat proses pemekaran di sejumlah daerah untuk memekarkan daerahnya.

Akhirnya, meski celah pemekaran daerah masih terbuka, namun Kemendagri RI dalam beberapa tahun terakhir menutup kran pemekaran daerah. Beberapa daerah yang sudah mengajukan usulan pemekaran daerahnya, akhirnya kandas sementara waktu melihat fakta-fakta yang ditemukan tersebut.
Kendati pemekaran daerah sangat sulit dilakukan saat ini, namun celah yang diambil dari DPR RI sebagai lembaga yang memberikan rekomendasi penetapan adalah hak inisiatif DPR. Lembaga ini memiliki kewenangan penuh untuk mengusulkan pemekaran daerah, jika seluruh syarat dan berkasnya sudah terpenuhi.

Fakta yang kita lihat dua bulan lalu, meski Kemendagri mempersulit usulan pemekaran daerah, namun Propinsi Kalimantan Utara akhirnya terbentuk. Propinsi ini lepas dari Propinsi Kalimantan Timur.
Menurut hemat penulis, bagaimanapun sulitnya usulan pemekaran, namun akhirnya DPR RI meloloskan usulan daerah otomi baru yang ada di Pulau Kalimantan itu.

Lantas bagaimana dengan Propinsi Sumatera Utara? Hampir dua tahun sudah usulan pemekaran propinsi Sumatera Utara telah diajukan ke pemerintah pusat melalui DPR RI. Namun hasilnya sampai sekarang belum terlihat apa-apa. Padahal, terkait administrasi rekomendasi sudah dilakukan, begitu juga paripurna di tingkat DPRD Sumut juga sudah dilakukan.

Apa yang terjadi dengan usulan pemekaran propinsi di Sumut? Pertama, tertutupnya kran usulan daerah yang dilakukan kemendagri RI. Masalahnya sekarang, propinsi yang masuk dalam usulan dari Sumut tersebut dianggap masih belum memenuhi syarat administrasi.

Kedua, belum kuatnya political will pada senator kita di DPR RI, khsususnya meraka yang berasal dari daerah pemilihan Sumatera Utara. Dua dugaan inilah, yang menghambat proses usulan pemekaran propinsi di Sumatera Utara.

Andai pemekaran Sumatera Utara berhasil, maka apa yang diusulkan sebelumnya Sumut menjadi empat propinsi. Tiga di antaranya, merupakan daerah otonomi baru, yakni Propinsi Tapanuli, Propinsi Kepulauan Nias dan Propinsi Sumatera Tenggara.

Tiga daerah otonom baru yang diusulkan DPRD Sumut dan Pemprop Sumut ini, merupakan daerah yang potensi jika dilihat dari kekayaan alam, maupun jumlah penduduknya. Rakyat kita di Sumut tinggal menunggu kebijakan senator kita di Senayan dan bagaimana keputusan Kemendagri soal usulan otonomi daerah baru ini.

Tak Ada Yang Salah

Kalau dilihat dari aspek sejarah, pemekaran Sumut tidak ada yang harus dipermasalahan. Pemekaran Sumut harus lanjut dan didorong oleh para stakeholder kita yang memiliki kompetensi untuk mem-pressure pemerintah pusat. Karena dengan pemekaranlah, daerah dapat berkembang dan maju berdasarkan potensi daerahnya.

Dalam lintasan sejarah kita pun, pemekaran provinsi di Indonesia sudah dilakukan sejak era demokrasi terpimpin dan orde Lama, 1959 hingga 1966. Seperti dikutip Wikipedia, Pada 17 Agustus 1950, setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, ada beberapa pemekaran wilayah yang terjadi pada kurun waktu 1950 hingga 1966.

Pada 1950, Provinsi Sumatera dipecah menjadi Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh), Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara, Yogyakarta mendapat status provinsi “Daerah Istimewa”.

Lalu pada 1956, Provinsi Kalimantan juga dipecah menjadi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Setahun kemudian, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Sementara saat itu Jakarta mendapat status provinsi “Daerah Khusus Ibukota”.

Pada tahun yang sama pula, Aceh kembali dibentuk menjadi provinsi, terpisah dari Provinsi Sumatera Utara Setelah itu pada 1959, Provinsi Aceh mendapat status “Daerah Istimewa”. Pada 1959, Provinsi Sunda Kecil juga dipecah menjadi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Masih pada tahun yang sama, dibentuk pula provinsi Kalimantan Tengah, pecah dari Kalimantan Selatan.

Tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Setelah itu pada 1963, PBB menyerahkan Irian Barat ke Indonesia.

Pada 1964, dibentuk Provinsi Lampung sebagai pemekaran dari Sumatera Selatan. Pada tahun yang sama, dibentuk pula Provinsi Sulawesi Tenga, pemekaran dari Sulawesi Utara, dan Provinsi Sulawesi Tenggara, pemekaran dari Sulawesi Selatan.

Memasuki era Orde Baru mulai 1966 hingga 1998, juga terjadi pemekaran provinsi. Mulai sejak 1967, Provinsi Bengkulu dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian, Irian Barat secara resmi menjadi provinsi ke-26 Indonesia. Pada 1976, Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia dan sebagai provinsi ke-27.

Bercermin dari fakta pemekaran di atas, maka sudah sewajarnya Sumatera Utara mekar berdasarkan usulan yang disampaikan DPRD Sumut dan Pempropsu. Tidak ada alasan daerah ini tidak dimekarkan, apalagi daerah ini merupakan daerah terpadat penduduknya yang pertama di luar Pulau Jawa. Semua pihak di Sumut berharap, jangan ada lagi permainan elite di pusat dan daerah. Pemekaran daerah harus benar-benar mempercepat kesejahteraan rakyat. Pemerintah, DPR, dan DPD semestinya harus tegas memperjuangkan pemekaran daerah secara komprehensif.

Bahkan, Pemerintah seharusnya sudah memiliki design besar mengenai daerah otonom di Indonesia. Desain itu sebenarnya sudah ada dibahas sejak tahun 2006, tapi sampai sekarang belum ada juga, apalagi realisasi design tersebut.

Akhirnya dalam tulisan ini, penulis berharap terhadap semua stakeholder sama-sama membantu proses percepatan pemekaran daerah khususnya di Sumatera Utara. Sebab, andai propinsi ini dimekarkan setidaknya rakyat kecil yang berada di pelosok daerah dapat terlayani.

Lambannya pembangunan daerah yang terjadi selama ini, karena kurangnya koordinasi antara pemerintah di ibukota propinsi dengan pemerintahan yang ada di daerah. Inilah yang saya maksudkan sebagai esensi pemekaran daerah. Seluruh elemen rakyat kita termasuk di pelosok daerah dapat terlayani.

** Penulis Adalah Dosen Fisipol UMSU, dan Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah **

No comments:

Post a Comment