Saturday, April 11, 2015

Provinsi Surabaya Raya dan Pemekaran Jawa Timur

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH

WACANA untuk menjadi Kota Metropilitan Surabaya menjadi sebuah provinsi Surabaya Raya, bukanlah hal yang baru dan mustahil. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku sekarang ini, yakni UU No.32 tahun 2004, membuka peluang untuk itu.

Bahkan di tahun 1979 lalu atau 35 tahun yang silam, sebagian warga kota dan pejabat di Kota  Surabaya, "pernah bermimpi" ingin menjadikan Kota Surabaya sama dengan Jakarta. Kota Surabaya dan sekitarnya akan menjadi sebuah provinsi yang dikapelai oleh seorang gubernur. Kalau Jakarta dikenal dengan sebutan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya, maka Surabaya yang juga sebagai kota besar kedua setelah Jakarta akan menggunakan nama Provinsi "Surabaya Raya".

            Mimpi itu memang belum pernah menjadi kenyataan. Bahkan, perwujudan Surabaya menjadi satu kesatuan dengan wilayah sekitar yang dikenal dengan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) juga belum jelas. Koordinasi antarpemerintahan Gerbang Kertosusila yang awal tahun 1980-an begitu gencar menghadapi era millenium tahun 2000, sekarang terlihat sirna.

Posisi Surabaya di wilayah Indonesia Timur dalam masa pembangunan 1980-an itu cukup menentukan. Surabaya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menjadi Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan V Indonesia – waktu itu dalam tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Indonesia dibagi menjadi 10 wilayah pengembangan pembangunan.

Era Reformasi
Pada awal era reformai, gairah membangun dan koordinasi antarwilayah bertetangga, kelihatannya tenggelam oleh apa yang disebut otonomi daerah. Masing-masing kota dan kabupaten berjalan sendiri-sendiri tanpa menganggap perlu 'kulonuwun'kepada pemerintahan provinsi. Sebab, memang begitu aturannya.

Pemerintahan provinsi yang dipimpin gubernur sejak ditetapkannya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (otda) bukan lagi atasan para bupati dan walikota.

            Ternyata  UU No.22 tahun 1999 tidak berumur panjang. UU ini diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pertimbangan UU No.32 tahun 2004 itu dinyatakan bahwa UU No.22 tahun 1999 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Kalau masing-masing kepala pemerintahan kota dan kabupaten, seperti juga kota Surabaya, tidak peduli lagi dengan wilayah tetangga, apakah 'mimpi' menjadikan Surabaya sebagai Provinsi Surabaya Raya dapat diwujudkan? Dan apakah masih perlu 'mimpi' 27 tahun yang silam itu bakal menjadi kenyataan?

            Memang, dampak pelaksanaan UU No.22/1999 tentang otda itu di berbagai daerah cukup beragam. Terjadi pemekaran wilayah. Kalau sebelumnya provinsi di Indonesia ini ada 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang setelah Timor Timur terlepas dari pemerintahan Republik Indonesia, provinsinya justru bertambah menjadi 33 provinsi. Kabupaten dan kota juga bertambah, begitu juga pemekaran kecamatan.

            Umumnya pembentukan provinsi baru merupakan pemekaran dari pemisahan bekas keresidenen. Di samping itu, juga ada yang berasal dari kabupaten yang wilayahnya luas atau gabungan beberapa kabupaten kota bertetangga.

Zaman Moehadji Widjaja
Peningkatan status Surabaya menjadi sebuah provinsi yang terpisah dari Provinsi Jawa Timur, bukan hal yang baru. Bukan pula sekedar cetusan yang tanpa makna. Perlu perenungan dan pemikiran yang jernih untuk kepentingan daerah dan nasional di masa yang akan datang. Jika ditapaktilasi perjalanan sejarah berdirinya pemerintahan Kota Surabaya, memang sudah selayaknya Surabaya Raya menjadi sebuah provinsi.

            Berbagai pertimbangan juga pernah dijadikan landasan berpijak untuk mewujudkan pemerintahan provinsi bagi Surabaya Raya.

            Waktu itu, sudah ada gambaran pemekaran Surabaya menjadi sebuah Kota Raya sebagai persiapan untuk menjadi sebuah provinsi. Bahkan dalam sebuah seminar yang berkaitan dengan julukan Surabaya sebagai "Kota Pahlawan", di awal tahun 1980-an ada yang mengusulkan agar Surabaya menjadi "Daerah Istimewa". Sebab, keistimewaan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, tidak ada bedanya dengan kota-kota lain di Indonesia.

            Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja pernah mengusulkan secara resmi kepada Gubernur Jawa Timur H.Soenandar Prijosoedarmo dengan suratnya tanggal 23 Oktober 1979 agar Surabaya dibagi menjadi tiga "kota administratif" (Kotif). Pembagian Surabaya menjadi tiga wilayah itu, mendapat sambutan positif dari gubernur Jatim. Setelah membicarakannya dengan DPRD Jatim, Gubernur Soenandar meneruskan usulan Surabaya menjadi tiga "kota administratif" tanggal 29 November 1979 kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta.

            Moehadji Widjaja waktu itu bercita-cita, apabila pembentukan Kotif-Kotif itu disetujui, maka langkah selanjutnya menjadikan Kota Surabaya seperti Jakarta, yaitu berbentuk Daerah Khusus atau Daerah Istimewa yang setingkat dengan provinsi. Bisa juga Surabaya yang sudah ditunjang oleh Kotif-Kotif itu berbagung dengan kabupaten di sekitar Surabaya, mendirikan Provinsi Surabaya Raya.
            Kabupaten-kabupaten itu adalah eks Keresidenen Surabaya yang terkoordinasi secara terpadu dalam kegiatan pembangunan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan – seharusnya Jombang – Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan).

Pembagian wilayah Surabaya kemudian benar-benar terwujud menjadi lima wilayah. Tetapi waktu itu statusnya disebut sebagai wilayah Pembantu Walikota yan masing-masing wilayah dikelapai oleh Pembantu Walikota.

Surabaya waktu itu juga juga ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menjadi Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan V Indonesia – waktu itu dalam tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Indonesia dibagi menjadi 10 wilayah pengembangan pembangunan.

            Perubahan status wilayah kerja Pembantu Walikota menjadi kota-kota administratif benar-benar menjadi impian pejabat Pemkot Surabaya, karena jabatan walikota administratif adalah jabatan karir tertinggi di bawah Sekwilda (Sekretaris Wilayah Daerah) – sebutan waktu itu sebelum diganti menjadi Sekretaris Kota (Sekkota) sekarang ini.

            Ternyata impian para "walikota-walikota kecil" – istilah untuk para pembantu walikota atau kepala wilayah – di Surabaya itu benar-benar pupus. Apalagi, dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Otonimi Daerah, sebutan kota administratif dihapus. Kini Kota Surabaya, tanpa pembagian wilayah, strukturnya dari walikota langsung kepada 31 camat dan masing-masing camat membawahkan lurah yang tersebar di 163 kelurahan.

Wacana untuk menjadikan Surabaya sebagai provinsi akhirnya hilang ditelan zaman. Rencana Surabaya bergabung dengan wilayah sekitarnya menjadi satu provinsi yang terpisah dari Jawa Timur, tenggelam oleh era reformasi.

Kini, setelah 27 tahun berselang, tentunya kelayakan itu sudah dapat untuk diwujudkan. Apalagi peluang itu semakin terkuak oleh Undang-undang No.22 tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

            Inilah perubahan zaman yang diikuti perubahan politik saat ini. Kalau pada masa-masa pembangunan dulu, pemerintah bersama anggota DPRD-nya seiring dan seia-sekata dalam menata pemerintahan, sekarang justru antara eksekutif dengan legislatif terbelit dengan persoalan yang saling menyudutkan.

            Gagasan ini memang baru dari kacamata dan pengamatan permukaan seorang wartawan, mungkin lain lagi dengan pengamatan para cendekia penyandang disiplin ilmu yang lain. Tetapi penulis sangat yakin, melihat perkembangan Indonesia ke depan dengan lahirnyra provinsi-provinsi baru, diserta faktor pendukung lainnya, niscaya pembentukan Provinsi Surabaya Raya atau Provinsi Gerbang Kertosusila sudah layak untuk diwujudkan.

Provinsi Baru di Indonesia
            Berkaca kepada wilayah lain di Indonesia, ternyata rakyat dan pemerintahan daerahnya sangat cepat mengantisipasi kenyataan. Salah satu di antaranya, adalah pemekaran wilayah dengan pembentukan provinsi baru. Kalau sebelum tahun 2000, wilayah Indonesia masih terdiri 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang ini tanpa Timor Timur justru Indonesia memiliki 33 provinsi.

Di Sumatera, lahir dua provinsi baru, yakni Provinsi Babel (Bangka-Belitung) dan Provinsi Kepri (Kepulauan Riau). Babel memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Provinsi Kepri dulunya sebuah Kabupaten di Provinsi Riau.

 Jawa Barat juga melepas eks Keresidenan Banten menjadi Provinsi Banten, begitu pula dengan Sulawesi Utara, melepas wilayah Gorontalo menjadi provinsi sendiri. Provinsi Maluku dibagi dua: Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal yang sama terjadi pula di Irian Jaya. Dari rencana membentuk tiga provinsi, di sana sudah lahir Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Bukan hanya itu, Sulawesi Selatan memisahkan sebagian wilayahnya menjadi Provinsi Sulawesi Barat.

Saat ini usul-usul pembentukan provinsi baru terus bergulir. Di wilayah Jawa Barat, ada lagi persiapan pembentukan provinsi baru. Namanya: Provinsi Bodebek, yakni gabungan Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi. Rencana Provinsi Bodebek ini, untuk mengimbangi pembangunan yang demikian pesat dari tetangga wilayahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya.

Satu lagi yang tidak kalah menyuarakan pembentukan provinsi adalah sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur yang berada di bagian utara. Wilayah kaya minyak bumi dan bahan tambang itu berhasrat memisahkan diri dari Kaltim dan membentuk provinsi sendiri. Nama wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, yakni negara bagian Serawak, Malaysia Timur itu adalah provinsi Kalimantan Utara. DPR RI menyetujui dan mengesahkan pembentukan  Provinsi Kalimantan Utara dengan ibukota Tanjung Selor, sebagai provinsi ke 34 di Indonesia, tahun 2012.

Jatim menjadi Enam Provinsi
            Wacana mendirikan provinsi baru juga merebak di Jawa Timur. Kalau diperhatikan wacana pemekaran wilayah atau pembentukan provinsi itu, bisa-bisa Jawa Timur akan terbelah menjadi enam provinsi. Provinsi itu adalah:

  1. Provinsi Madura.
  2. Provinsi Surabaya Raya.
  3. Provinsi Jawa Selatan.
  4. Provinsi Jawa Utara atau Jipang Panolan.
  5. Provinsi Jawa Timur (provinsi asal).
  6. Ada wacana lagi, Provinsi Blambangan.
Provinsi Madura
Sebagian warga Madura sudah lama ingin memisahkan diri, menjadikan Pulau Madura sebagai provinsi. Keinginan tokoh asal Madura di awal reformasi cukup keras untuk membentuk provinsi. Ada yang mengatakan, "jangankan provinsi, di zaman Pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Madura sudah menjadi negara sendiri, yaitu Negara Madura dengan ibukota Pamekasan." Artinya, menjadi provinsi bagi Madura bukan barang baru. Apalagi sebelumnya, Madura merupakan pemerintahan Keresidenan dan juga pernah menjadi wilayah Pembantu Gubernur di Madura. Kemudian manjadi bagian dari wilayah Bakorwil (Badan Kordinasi Wilayah) IV berpusat di Pamekasan.

Saat ini di Pulau Madura ada empat kabupaten, yakni: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Untuk memenuhi persyaratan menjadi provinsi, ada wacana, selain kabupaten, juga ada Pemerintahan Kota Pamekasan. Begitu juga dengan Kabupaten Sumenep, akan dimekarkan menjadi Kabupaten Sumenep  dan Kota Sumenep, atau membentuk pemerintahan sendiri untuk Kabupaten Kepulauan Sumenep.

Tekad sebagian warga Madura sudah bulat. Sebuah tim yang dinamakan Tim-9 (Tim Sembilan) sudah mulai bekerja.

Jawa Selatan
 Juga ada gagasan mendirikan Provinsi Jawa Selatan di wilayah Mataraman. Provinsi ini akan menggabungkan kabupaten dan kota di eks keresidenan Madiun di Jatim dengan kabupaten dan kota eks keresidenen Surakarta di Jawa Tengah.

Wilayah itu terdiri dari Kabupaten dan Kota eks Keresidenan Madiun (Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Ngawi). Bergabung dengan sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang bertetangga dengan Jawa Timur. Kabupaten dan kota itu adalah: Kabupaten Wonogiri, Kota Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kota Karanganyar, Kabupaten Surakarta, Kota Surakarta, Kabupaten Sragen dan Kota Sragen.

Jawa Utara atau Jipang Panolan
Ada lagi yang bakal bernama Provinsi Jawa Utara atau Jipang Panolan yang meliputi gabungan kabupaten di eks keresidenan Bojonegoro di Jatim dengan kabupaten di eks keresidenen Jepara di Jawa Tengah.

Provinsi Jipang Panolan, terdiri dari eks Keresidenan Bojonegoro, yakni Bojonegoro, Tuban dan Lamongan. Bergabung dengan kabupaten di eks Keresidenan Rembang (Rembang, Pati, Jepara, Lasem dan Kudus).

Tentang ibukota Provinsi Jawa Utara itu, ada usulah Kota Cepu, Jawa Tengah sekarang. Walaupun Cepu hanya kota kecamatan, segala fasilitas dan infrastruktur Kota "Minyak" Cepu ini sudahlebih siap, di samping Kota Rembang di Jawa Tengah atau Tuban di Jawa Timur.

Surabaya Raya
            Berpijak dan berpandangan kepada kepentingan masa depan yang lebih jauh, maka impian atau gagasan pembentukan Provinsi Surabaya Raya juga dipandang sangat layak.

            Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) adalah kabupaten dan kota yang pernah terintegrasi dalam upaya pembangunan berencana. Selain membendung urbanisasi ke Kota Surabaya, wilayah di sekitarnya menjadi kawasan penyangga untuk berbagai bidang, di antaranya kegiatan industeri. Setelah Madura berwacana menjadi provinsi sendiri, kata "bang" pada Gerbang Kertosusila untuk Bangkalan, dialihkan menjadi Jombang.

Provinsi Surabaya Raya yang merupakan penjelmaan dari Gerbang Kerto Susila dan eks Keresidenan Surabaya, yakni: Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang dan ditambah Kabupaten Lamongan. 

            .Khusus Lamongan, dari angket yang disebarkan secara acak, masyarakatnya banyak yang memilih bergabung dengan Surabaya Raya daripada bergabung dengan eks Keresidenan Bojonegoro.

Makin Terbuka
            Kelihatannya, bagi Surabaya mewujudkan diri menjadi provinsi Surabaya Raya juga semakin terbuka. Sebab, dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Jawa Timur, ada rencana untuk memindahkan ibukota Jawa Timur ke wilayah Pasuruan. Hal ini diungkapkan oleh Ir.Edy Wahyudi, ketua Pansus RTRW DPRD Provinsi Jawa Timur.

            Luasnya wilayah Jawa Timur, membuat kordinasi di provinsi yang terdiri 38 kabupaten-kota ini terlalu panjang. Untuk itu, dibentuklah apa yang disebut Badan Kordinasi Wilayah (Bakorwil). Saat ini ada empat Bakorwil dari sebelumnya lima Bakorwil. Kordinasi sebelum adanya Bakorwil menyesuaikan dengan bentuk pemerintahan di zaman Belanda, yakni Keresidenan.  Jawa Timur dulu terbagi tujuh keresidenan, yaitu:

  1. Keresidenan Madiun.
  2. Keresidenan Kediri.
  3. Keresidenan Bojonegoro.
  4. Keresidenen Besuki.
  5. Keresidenan Malang.
  6. Keresidenan Surabaya.
  7. Keresidenan Madura.
Istilah Keresidenan diubah menjadi wilayah Pembantu Gubenur di eks keresidenan.  Setelah sekarang disebut menjadi Bakorwil, timbul masalah baru. Ternyata Pemerintah Pusat "tidak mengakui" Bakorwil sebagai struktur pemerintahan di bawah gubernur.

Bahkan Enam Provinsi
Isu dan wacana pemekaran wilayah Jawa Timur menjadi lima provinsi kembali mencuat. Yang lebih ekstrim lagi, ada wacana lain dari Bupati Jember MZA Djalal, ingin memisahkan diri dari Jawa Timur. Ia menyatakan justru eks Keresidenan Besuki (Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi) bisa menjadi provinsi sendiri bernama Provinsi Blambangan. Kabarnya, ada kasak-kusuk pula mengikutsertakan Kabupaten Lumajang sebagai salah satu kabupaten di luar Besuki yang digabungkan. Katanya, wilayah paling timur Pulau Jawa ini mempunyai potensi alam dan kepariwisataan yang bisa bersaing dan saling menunjang dengan Bali. Namun bagamanapun juga semua ini adalah wacana.

Seandainya nanti benar-benar terwujud Provinsi Surabaya Raya, Provinsi Madura, Provinsi Jawa Selatan, Provinsi Jipang Panolan (Jawa Utara) dan Blambangan, maka wilayah Jawa Timur yang ada sekarang ini akan menjadi lima atau enam provinsi. Sedangkan Provinsi Jawa Timur sendiri, tidak lagi terdiri dari 38 kabupaten dan kota. ***

Sumber :

No comments:

Post a Comment