Saturday, December 19, 2009
Pasca Otonomi Daerah, Daya Saing RI Justru Melorot
Daya saing Indonesia dengan negara-negara lainnya pasca otonomi daerah (2000) justru melorot karena dipicu tidak berjalannya perbaikan birokrasi, perizinan, infrastruktur, hambatan pungli, dan lain-lain di tingkat daerah.
"Daya saing Indonesia merosot dari tahun ke tahun," kata Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Mudrajad Kuncoro dalam acara seminar nasional ekonomi regional di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (10/12/2009).
Mudrajad mengutip berdasarkan International Institute for management Development , World Competitiveness yearbook 2008.
Disebutkan daya saing Indonesia terus mengalami penurunan misalnya dari tahun 2003 daya saing Indonesia berada di peringkat 49, tahun 2004 peringkat 49, tahun 2005 turun ke peringkat 50, tahun 2006 drastis ke peringkat 52, tahun 2007 turun kembali ke titik 54, dan tahun 2008 ada perbaikan ke angka 51.
Selama ini, kata dia, daya saing Indonesia dikerangkeng oleh banyak faktor yang masih sulit dibenahi, berdasarkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) permasalahan-permasalahan yang menyebabkan daya saing antara lain manajemen infrastruktur yang menempati posisi 35,5%.
Pembangunan sektor swasta 14,8%, aksesbilitas dan kepastian lahan 14%, hubungan pemda dan dunia usaha 10%, biaya transaksi (pajak, retribusi)? 9,9%, prosedur izin usaha 8,8%, keamanan 4%, integritas pemimpin daerah 2%, dan kualitas Perda 1%.
Dari beberapa hal tadi ia mencontohkan untuk urusan membuka usaha di Indonesia, faktor regulasi menjadi hambatan utama. Meski ada beberapa hal seperti pungutan liar yang merupakan masalah klasik dalam masalah logistik dan infrastruktur di Indonesia.
"Masih adanya grease money dalam bentuk pungli, upeti dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh dunia usaha, mulai dari mencari bahan baku, proses hingga ekspor," jelasnya.
Ia menyebutkan setidaknya dalam setiap tahun ada dana sebesar Rp 3 triliun yang harus terbuang cuma-cuma karena adanya pungli, atau kurang lebih US$ 352 juta per tahun. Sehingga dipastikan hal semacam ini akan terus menggerus daya saing Indonesia.
Sedangkan untuk masalah pelayanan perizinan, beberapa daerah sudah berupaya memperbaiki daya saingnya dengan menerapkan pelayanan satu pintu satu atap, namun dalam pelaksanaannya pelayanan satu pintu satu atap itu belum dilengkapi dengan satu meja alias masih berbelit-belit.
Ia menambahkan berdasarkan sumber PPSK BI dan LP3E FE Unpad tahun 2008, menyebutkan pemda-pemda khususnya kabupaten/kota yang menempati daya saing tinggi di Indonesia didominasi oleh kabupaten/kota yang memiliki sumber daya alam dan memiliki aktivitas ekonomi berbasis sektor industri dan sektor jasa. (ras/RAS/dtc)
Sumber :
http://www.vibizdaily.com/detail/Bisnis/2009/12/10/pasca_otonomi_daerah_daya_saing_ri_justru_melorot
10 Desember 2009
Sumber Gambar:
http://www.pasttensebooks.com/images/uploads/Otonomi_Daerah_50_dpi.jpg
Otonomi Daerah dan Politik Biaya Tinggi
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Hari telah senja ketika saya mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Rekan saya Fachry Ali, punya hajatan menyelenggarakan lokakarya penguatan DPRD di kota itu. Walaupun akhir-akhir ini saya sibuk bukan kepalang, namun demi menghormati sahabat lama, saya bersedia juga untuk hadir ke Palembang walau hanya semalam. Besoknya pagi-pagi sekali saya kembali ke Jakarta. Lokakarya itu diikuti oleh para anggota DPRD Kabupaten dan Kota se Sumatera Selatan dan diselenggarakan di Hotel Novotel, Palembang. Sudah hampir setahun belakangan ini, saya tak pernah memberikan ceramah di hadapan para politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Faktor ini, juga menjadi pertimbangan saya untuk hadir. Saya berharap, akan terjadi pertukar-pikiran yang menarik untuk membahas berbagai isyu politik yang berkembang di daerah.
Dalam ceramah yang saya sampaikan, saya mengemukakan berbagai aspek amandemen konsitusi kita, beserta implikasi-implikasinya kedalam kehidupan politik, baik nasional maupun daerah. Konstitusi kita kini memberikan penguatan kepada posisi pemerintahan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif daerah. Kepala Daerah dan Wakilnya, harus dipilih dengan cara-cara yang demokratis. Otonomi daerah mendapat penegasan dalam konstitusi. Tentu semua ini memerlukan pengaturan lebih lanjut pada tingkat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Mengenai otonomi daerah, saya menggambarkan kilas balik perdebatan antara negara kesatuan dengan negara federal di awal reformasi. Waktu itu saya memberikan jalan tengah, yakni Indonesia tetap menjadi negara kesatuan, sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan, namun memberikan penguatan tugas, kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintahan di daerah. Waktu itu, saya juga menggagas tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – suatu lembaga yang pada umumnya hanya ada di negara federal – untuk diterapkan di negara kita yang menganut susunan negara kesatuan. DPD memang terbentuk, walau masih banyak hal yang harus disempurnakan.
Soal otonomi daerah, saya mengatakan bahwa di awal reformasi, saya beda pendapat dengan Prof. Ryas Rasyid yang menekankan otonomi daerah ke tingkat kabupaten dan kota. Konsep Prof. Ryas waktu itu, ialah menciptakan kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang telah ada. Saya berpendapat sebaliknya, otonomi diberikan kepada propinsi, dengan jumlah propinsi yang lebih banyak, yang dalam perhitungan saya, akan ada sekitar 42 provinsi di seluruh tanah air. Dengan otonomi kepada provinsi, maka kompetisi antar daerah akan menjadi lebih nyata. Pemerintah Pusat juga akan lebih mudah mengawasi Gubernur, dibandingkan dengan mengawasi Bupati/Walikota yang waktu itu lebih dari 400 jumlahnya. Pemberian otonomi kepada provinsi memang akan mendorong Indonesia menjadi negara yang mendekati negara federal – atau biasa disebut dengan istilah quasi federal – namun hakikatnya tetap sebuah negara kesatuan.
Kalau otonomi diberikan kepada provinsi, maka gubernur dapat saja dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana halnya pemilihan Presiden. Konstitusi kita tidak mengharuskan adanya pemilihan langsung, namun hanya menyebutkan dipilih secara demokratis. Bupati dan Walikota cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian, tidak terlalu banyak pemilu (termasuk Pilkada) seperti sekarang ini. Banyaknya Pemilu, mulai dari Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden – yang nampaknya akan selalu terjadi dalam dua putaran – dan pemilu kepala daerah untuk gubernur, dan bupati/walikota. Biaya penyelenggaraan Pemilu ini sangat besar. Demokrasi memang mahal. Tidak sedikit uang negara dihabiskan untuk membiayai pemilu ini dalam lima tahun. Belum lagi dampak sosial dan politiknya, terutama di daerah-daerah. Ketegangan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, pasca pemilihan gubernur, membuat saya sangat prihatin.
Para anggota DPRD Kabupatan/Kota di Sumatera Selatan itu, mempunyai keprihatinan yang sama dengan apa yang saya rasakan. Di provinsi ini, tak lama lagi akan ada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur. KPUD Provinsi konon telah mengajukan anggaran Rp 350 milyar untuk hajatan itu. Namun yang disetujui adalah Rp. 150 milyar. Biaya ini belum terhitung biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan calon, baik dalam persiapan, maupun dalam kampanye, pengawasan dan penghitungan suara. Entah berapa biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para simpatisan dan pendukungnya, kita tidak tahu. Ada dugaan, biaya yang dikeluarkan adalah jauh lebih besar dari biaya yang dilaporkan secara resmi. Kalau biaya yang dikelurkan oleh masing-masing pasangan itu cukup besar, bagaimanakah mereka mengembalikannya?
Pertanyaan seperti di atas juga menghantui benak saya. Tidak semua orang benar-benar mempunyai idealisme tingggi, sehingga memandang jabatan adalah tugas dan amanah, tanpa perhitungan materi. Tak semua pula para pendukung bersedia mengeluarkan dana sponsor karena idealisme pula, seperti ingin melihat bangsa dan negara – atau daerah – menjadi maju. Mereka mungkin saja seperti udang dibalik batu. Kompensasi bantuan dana sponsor itu bukan mustahil pula harus “dibayar” dengan “pemberian” proyek-proyek Pemerintah atau kemudahan lain yang bersifat menguntungkan. Bukankah semua ini akan membuka peluang tumbuh-suburnya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme? Hati saya sukar untuk mengatakan tidak atas segala prasangka ini. Namun di sisi lain, saya juga tak dapat menafikan, idealisme tetap tinggi. Ada faktor ideologi, ada faktor subyektif misalnya rasa senang dan suka, yang mungkin saja mendorong seseorang untuk membantu. Mereka ingin melihat bangsa ini menjadi maju dan berkembang, tanpa memikirkan imbalan bagi dirinya sendiri.
Di akhir ceramah malam itu, ada beberapa anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Sumatra Selatan itu, yang bertanya apakah saya serius mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden 2009? Menurut mereka telah tiga kali berita itu menjadi headline Koran Sriwijaya Pos, yang menyebut dirinya sebagai “Korannya Wong Kito” itu. Berbagai tabloid di kota Palembang juga memberitakan hal yang sama. Terhadap pertanyaan itu saya menjawab, ibarat sembahyang, nawaitunya memang sudah dilafadzkan, tetapi takbirnya belum. Takbirnya itu baru dikumandangkan nanti setelah Pemilu DPR selesai, dan kita melihat apakah Partai Bulan Bintang berada dalam posisi yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Kini kami sedang berjuang ke arah itu.
Kalau modal pengalaman, ilmu, kesehatan jasmaniah dan rohaniah dan keanggupan kerja keras, saya katakan, Insya Allah, telah ada. Penyusunan program memang sedang dalam proses penggodokan. Sudah banyak pula kawan-kawan yang menawarkan diri menjadi tim sukses. Namun kalau ditanya persiapan dana, saya katakan, saya mungkin adalah bakal calon yang paling kedodoran. Saya menyadari bahwa biaya kampanye dan sebagainya sangatlah besar. Untuk hal yang satu ini, saya posisi saya seperti orang sudah kalah sebelum bertanding. Saya kembali kepada salah satu pokok persoalan yang dibahas dalam diskusi. Demokrasi sangat mahal. Biaya politik menjadi sangat tinggi. Meskipun begitu, saya tetap memiliki optimisme bahwa idealisme yang tinggi tetap ada. Rakyat juga sudah belajar banyak tentang demokrasi dari berbagai pengalaman yang mereka peroleh selama era Reformasi ini.
Hari sudah larut malam. Acara ceramah dan diskusi yang dimulai pukul delapan itu, berakhir pukul sebelas malam. Tak terasa kami telah melewati waktu selama tiga jam untuk bertukar-pikiran dengan jernih. Pagi-pagi sekali saya meninggalkan hotel menuju bandara untuk kembali ke Jakarta..
Wallahu’alam bissawwab
Sumber :
Oleh Yusril Ihza Mahendra
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/04/18/otonomi-daerah-dan-politik-biaya-tinggi/
18 April 2008
Hari telah senja ketika saya mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Rekan saya Fachry Ali, punya hajatan menyelenggarakan lokakarya penguatan DPRD di kota itu. Walaupun akhir-akhir ini saya sibuk bukan kepalang, namun demi menghormati sahabat lama, saya bersedia juga untuk hadir ke Palembang walau hanya semalam. Besoknya pagi-pagi sekali saya kembali ke Jakarta. Lokakarya itu diikuti oleh para anggota DPRD Kabupaten dan Kota se Sumatera Selatan dan diselenggarakan di Hotel Novotel, Palembang. Sudah hampir setahun belakangan ini, saya tak pernah memberikan ceramah di hadapan para politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Faktor ini, juga menjadi pertimbangan saya untuk hadir. Saya berharap, akan terjadi pertukar-pikiran yang menarik untuk membahas berbagai isyu politik yang berkembang di daerah.
Dalam ceramah yang saya sampaikan, saya mengemukakan berbagai aspek amandemen konsitusi kita, beserta implikasi-implikasinya kedalam kehidupan politik, baik nasional maupun daerah. Konstitusi kita kini memberikan penguatan kepada posisi pemerintahan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif daerah. Kepala Daerah dan Wakilnya, harus dipilih dengan cara-cara yang demokratis. Otonomi daerah mendapat penegasan dalam konstitusi. Tentu semua ini memerlukan pengaturan lebih lanjut pada tingkat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Mengenai otonomi daerah, saya menggambarkan kilas balik perdebatan antara negara kesatuan dengan negara federal di awal reformasi. Waktu itu saya memberikan jalan tengah, yakni Indonesia tetap menjadi negara kesatuan, sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan, namun memberikan penguatan tugas, kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintahan di daerah. Waktu itu, saya juga menggagas tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – suatu lembaga yang pada umumnya hanya ada di negara federal – untuk diterapkan di negara kita yang menganut susunan negara kesatuan. DPD memang terbentuk, walau masih banyak hal yang harus disempurnakan.
Soal otonomi daerah, saya mengatakan bahwa di awal reformasi, saya beda pendapat dengan Prof. Ryas Rasyid yang menekankan otonomi daerah ke tingkat kabupaten dan kota. Konsep Prof. Ryas waktu itu, ialah menciptakan kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang telah ada. Saya berpendapat sebaliknya, otonomi diberikan kepada propinsi, dengan jumlah propinsi yang lebih banyak, yang dalam perhitungan saya, akan ada sekitar 42 provinsi di seluruh tanah air. Dengan otonomi kepada provinsi, maka kompetisi antar daerah akan menjadi lebih nyata. Pemerintah Pusat juga akan lebih mudah mengawasi Gubernur, dibandingkan dengan mengawasi Bupati/Walikota yang waktu itu lebih dari 400 jumlahnya. Pemberian otonomi kepada provinsi memang akan mendorong Indonesia menjadi negara yang mendekati negara federal – atau biasa disebut dengan istilah quasi federal – namun hakikatnya tetap sebuah negara kesatuan.
Kalau otonomi diberikan kepada provinsi, maka gubernur dapat saja dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana halnya pemilihan Presiden. Konstitusi kita tidak mengharuskan adanya pemilihan langsung, namun hanya menyebutkan dipilih secara demokratis. Bupati dan Walikota cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian, tidak terlalu banyak pemilu (termasuk Pilkada) seperti sekarang ini. Banyaknya Pemilu, mulai dari Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden – yang nampaknya akan selalu terjadi dalam dua putaran – dan pemilu kepala daerah untuk gubernur, dan bupati/walikota. Biaya penyelenggaraan Pemilu ini sangat besar. Demokrasi memang mahal. Tidak sedikit uang negara dihabiskan untuk membiayai pemilu ini dalam lima tahun. Belum lagi dampak sosial dan politiknya, terutama di daerah-daerah. Ketegangan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Maluku Utara, pasca pemilihan gubernur, membuat saya sangat prihatin.
Para anggota DPRD Kabupatan/Kota di Sumatera Selatan itu, mempunyai keprihatinan yang sama dengan apa yang saya rasakan. Di provinsi ini, tak lama lagi akan ada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur. KPUD Provinsi konon telah mengajukan anggaran Rp 350 milyar untuk hajatan itu. Namun yang disetujui adalah Rp. 150 milyar. Biaya ini belum terhitung biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan calon, baik dalam persiapan, maupun dalam kampanye, pengawasan dan penghitungan suara. Entah berapa biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para simpatisan dan pendukungnya, kita tidak tahu. Ada dugaan, biaya yang dikeluarkan adalah jauh lebih besar dari biaya yang dilaporkan secara resmi. Kalau biaya yang dikelurkan oleh masing-masing pasangan itu cukup besar, bagaimanakah mereka mengembalikannya?
Pertanyaan seperti di atas juga menghantui benak saya. Tidak semua orang benar-benar mempunyai idealisme tingggi, sehingga memandang jabatan adalah tugas dan amanah, tanpa perhitungan materi. Tak semua pula para pendukung bersedia mengeluarkan dana sponsor karena idealisme pula, seperti ingin melihat bangsa dan negara – atau daerah – menjadi maju. Mereka mungkin saja seperti udang dibalik batu. Kompensasi bantuan dana sponsor itu bukan mustahil pula harus “dibayar” dengan “pemberian” proyek-proyek Pemerintah atau kemudahan lain yang bersifat menguntungkan. Bukankah semua ini akan membuka peluang tumbuh-suburnya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme? Hati saya sukar untuk mengatakan tidak atas segala prasangka ini. Namun di sisi lain, saya juga tak dapat menafikan, idealisme tetap tinggi. Ada faktor ideologi, ada faktor subyektif misalnya rasa senang dan suka, yang mungkin saja mendorong seseorang untuk membantu. Mereka ingin melihat bangsa ini menjadi maju dan berkembang, tanpa memikirkan imbalan bagi dirinya sendiri.
Di akhir ceramah malam itu, ada beberapa anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Sumatra Selatan itu, yang bertanya apakah saya serius mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden 2009? Menurut mereka telah tiga kali berita itu menjadi headline Koran Sriwijaya Pos, yang menyebut dirinya sebagai “Korannya Wong Kito” itu. Berbagai tabloid di kota Palembang juga memberitakan hal yang sama. Terhadap pertanyaan itu saya menjawab, ibarat sembahyang, nawaitunya memang sudah dilafadzkan, tetapi takbirnya belum. Takbirnya itu baru dikumandangkan nanti setelah Pemilu DPR selesai, dan kita melihat apakah Partai Bulan Bintang berada dalam posisi yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Kini kami sedang berjuang ke arah itu.
Kalau modal pengalaman, ilmu, kesehatan jasmaniah dan rohaniah dan keanggupan kerja keras, saya katakan, Insya Allah, telah ada. Penyusunan program memang sedang dalam proses penggodokan. Sudah banyak pula kawan-kawan yang menawarkan diri menjadi tim sukses. Namun kalau ditanya persiapan dana, saya katakan, saya mungkin adalah bakal calon yang paling kedodoran. Saya menyadari bahwa biaya kampanye dan sebagainya sangatlah besar. Untuk hal yang satu ini, saya posisi saya seperti orang sudah kalah sebelum bertanding. Saya kembali kepada salah satu pokok persoalan yang dibahas dalam diskusi. Demokrasi sangat mahal. Biaya politik menjadi sangat tinggi. Meskipun begitu, saya tetap memiliki optimisme bahwa idealisme yang tinggi tetap ada. Rakyat juga sudah belajar banyak tentang demokrasi dari berbagai pengalaman yang mereka peroleh selama era Reformasi ini.
Hari sudah larut malam. Acara ceramah dan diskusi yang dimulai pukul delapan itu, berakhir pukul sebelas malam. Tak terasa kami telah melewati waktu selama tiga jam untuk bertukar-pikiran dengan jernih. Pagi-pagi sekali saya meninggalkan hotel menuju bandara untuk kembali ke Jakarta..
Wallahu’alam bissawwab
Sumber :
Oleh Yusril Ihza Mahendra
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/04/18/otonomi-daerah-dan-politik-biaya-tinggi/
18 April 2008
Otonomi Daerah Jangan Lahirkan Negara Baru
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan pelaksanaan otonomi daerah (otda) yang berujung pada lahirnya daerah-daerah otonomi baru, hendaknya tidak ditujukan untuk melahirkan atau membentuk negara baru.
Karena, menurut Mendagri, otda hanya merupakan alat atau sarana untuk meningkatkan kesejahteraan warga di daerah bersangkutan.
"Otonomi daerah bukan untuk melahirkan negara (baru, red) tapi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Mendagri ketika membuka Rapat Koordinasi Keuangan sehari di Jakarta, Selasa (15/12).
Dalam acara ini, Mendagri didampingi Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Timbul Pudjianto. Salah satu materi pertemuan ini adalah membicarakan penyediaan anggaran bagi pilkada.
Gamawan mengatakan, pada 2010 akan diselenggarakan 244 pemilihan kepala daerah atau pilkada mulai dari gubernur, walikota hingga bupati. Sejak reformasi 1998, telah dilahirkan tidak kurang dari 230 daerah otonomi baru, katanya.
"Dengan demikian, setiap tahun rata-rata dibentuk 23 daerah baru sehingga setiap 15 hari rata-rata lahir satu daerah baru," kata mantan gubernur Sumatera Barat, yang juga pernah menjadi bupati selama dua periode tersebut.
Ia menyebutkan pula pelaksanaan pilkada di berbagai daerah itu menjadi perhatian dunia internasional, karena Indonesia telah dianggap sebagai salah satu negara yang paling demokratis di dunia.
"Dunia akan bertanya-tanya apakah pilkada berjalan baik atau tidak," kata Gamawan kepada para bupati, walikota, sekretaris daerah yang menghadiri pertemuan itu.
Ia mengatakan bahwa lahirnya banyak daerah otonomi baru mengakibatkan dibutuhkannya sumber daya manusia(SDM) yang mampu di bidang tugasnya masing-masing seperti di bidang pengelolaan keuangan. "Apakah sudah cukup SDM-nya," katanya.
Jahe dan kunyit
Dalam kesempatan ini, Mendagri Gamawan Fauzi juga menyinggung masalah pertanggungjawaban dana yang dikelola para gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota yang biasanya diberi nama pos anggaran rumah tangga.
Seorang pejabat di daerah seperti walikota dan bupati bisa saja mendapat anggaran Rp10 juta hingga Rp15 juta tiap bulannya untuk sektor kerumahtanggaan misalnya untuk menjamu para tamunya yang datang sejak pagi hari hingga malam hari.
Dana tersebut biasanya dipakai untuk membeli kueh, kopi, teh dan makanan lainnya. "Bagaimana mempertanggungjawabkan pembelian teh, kopi, kunyit dan jahe," tanya Gamawan ketika memberi perumpamaan tentang cara pemanfaaatan dana rumah tangga tersebut.
Ia menambahkan, banyak daerah yang belum memiliki `super market` sehingga pembelian barang itu tidak dilengkapi atau didukung oleh kuitansi atau bon.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu menuntut agar setiap transaksi harus selalu dilengkapi bon atau kuitansi.
"Jika satu bulan saja seorang walikota atau bupati mendapat anggaran rumah tangga Rp10 juta, maka satu tahun terdapat dana Rp120 juta," kata Mendagri ketika memberi contoh tentang masih timbulnya masalah pertanggungjawaban keuangan para kepala daerah.
Karena itu, ia minta para pejabat di daerah untuk bekerja sama dengan BPK dan BPKP untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tentu kita tidak menginginkan ada pejabat-pejabat yang masuk ke penjara lagi," kata Gamawan.(ant/yan)
Sumber :
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/8133-otda-tidak-untuk-lahirkan-negara-baru
15 Desember 2009
Karena, menurut Mendagri, otda hanya merupakan alat atau sarana untuk meningkatkan kesejahteraan warga di daerah bersangkutan.
"Otonomi daerah bukan untuk melahirkan negara (baru, red) tapi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Mendagri ketika membuka Rapat Koordinasi Keuangan sehari di Jakarta, Selasa (15/12).
Dalam acara ini, Mendagri didampingi Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Timbul Pudjianto. Salah satu materi pertemuan ini adalah membicarakan penyediaan anggaran bagi pilkada.
Gamawan mengatakan, pada 2010 akan diselenggarakan 244 pemilihan kepala daerah atau pilkada mulai dari gubernur, walikota hingga bupati. Sejak reformasi 1998, telah dilahirkan tidak kurang dari 230 daerah otonomi baru, katanya.
"Dengan demikian, setiap tahun rata-rata dibentuk 23 daerah baru sehingga setiap 15 hari rata-rata lahir satu daerah baru," kata mantan gubernur Sumatera Barat, yang juga pernah menjadi bupati selama dua periode tersebut.
Ia menyebutkan pula pelaksanaan pilkada di berbagai daerah itu menjadi perhatian dunia internasional, karena Indonesia telah dianggap sebagai salah satu negara yang paling demokratis di dunia.
"Dunia akan bertanya-tanya apakah pilkada berjalan baik atau tidak," kata Gamawan kepada para bupati, walikota, sekretaris daerah yang menghadiri pertemuan itu.
Ia mengatakan bahwa lahirnya banyak daerah otonomi baru mengakibatkan dibutuhkannya sumber daya manusia(SDM) yang mampu di bidang tugasnya masing-masing seperti di bidang pengelolaan keuangan. "Apakah sudah cukup SDM-nya," katanya.
Jahe dan kunyit
Dalam kesempatan ini, Mendagri Gamawan Fauzi juga menyinggung masalah pertanggungjawaban dana yang dikelola para gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota yang biasanya diberi nama pos anggaran rumah tangga.
Seorang pejabat di daerah seperti walikota dan bupati bisa saja mendapat anggaran Rp10 juta hingga Rp15 juta tiap bulannya untuk sektor kerumahtanggaan misalnya untuk menjamu para tamunya yang datang sejak pagi hari hingga malam hari.
Dana tersebut biasanya dipakai untuk membeli kueh, kopi, teh dan makanan lainnya. "Bagaimana mempertanggungjawabkan pembelian teh, kopi, kunyit dan jahe," tanya Gamawan ketika memberi perumpamaan tentang cara pemanfaaatan dana rumah tangga tersebut.
Ia menambahkan, banyak daerah yang belum memiliki `super market` sehingga pembelian barang itu tidak dilengkapi atau didukung oleh kuitansi atau bon.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu menuntut agar setiap transaksi harus selalu dilengkapi bon atau kuitansi.
"Jika satu bulan saja seorang walikota atau bupati mendapat anggaran rumah tangga Rp10 juta, maka satu tahun terdapat dana Rp120 juta," kata Mendagri ketika memberi contoh tentang masih timbulnya masalah pertanggungjawaban keuangan para kepala daerah.
Karena itu, ia minta para pejabat di daerah untuk bekerja sama dengan BPK dan BPKP untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tentu kita tidak menginginkan ada pejabat-pejabat yang masuk ke penjara lagi," kata Gamawan.(ant/yan)
Sumber :
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/8133-otda-tidak-untuk-lahirkan-negara-baru
15 Desember 2009
Kabar Buruk dari Otonomi Daerah
Memasuki tahun kesembilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, kabar buruk belum mau menjauh dari proses yang telah membuat Indonesia menjadi sangat berbeda dibanding era sebelum tahun 2000. Kabar buruk tersebut adalah hasil audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah.
Hanya sedikit sekali dari laporan keuangan daerah yang mendapatkan predikat ”wajar tanpa pengecualian”. Kebanyakan mendapat predikat ”wajar dengan pengecualian” dan ada sekelompok daerah yang bahkan berpredikat lebih buruk daripada itu.
Kabar buruk ini sangat mengganggu di tengah krisis keuangan global yang memaksa setiap pihak mengoptimalkan penggunaan anggarannya. Juga di tengah upaya segenap lapisan bangsa menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik di segala bidang. Menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah daerah seolah menomorduakan upaya penegakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak peduli kepentingan masyarakat lokal yang bergantung pada APBD.
Hasil audit itu juga dapat menjadi batu sandungan bagi proses otonomi daerah, yang meskipun hampir tidak mungkin dibatalkan, tetapi selalu dipertanyakan relevansi dan manfaatnya. Masalah pemekaran daerah yang seolah tidak mungkin dihentikan sudah merupakan pertanyaan besar tersendiri bagi proses otonomi daerah. Dan, sampai hari ini kelihatannya belum ada formula yang jitu, paling tidak secara politis, untuk melakukan moratorium pemekaran itu sendiri.
Kombinasi masalah pemekaran daerah dengan buruknya pengelolaan keuangan daerah akan makin memberi angin kepada kelompok yang merasa bahwa otonomi daerah hanyalah suatu hura-hura politik. Lebih jauh lagi mereka menganggap bahwa otonomi daerah adalah suatu kegagalan yang harus dihentikan dan kembali ke sentralisasi.
Pendapat terakhir mungkin tidak akan terjadi, tetapi relevansi otonomi daerah dan desentralisasi dalam pembangunan ekonomi nasional harus terus diperkuat. Dimulai dari pengelolaan APBD yang tepat.
Prinsip dasar pengelolaan APBD yang tepat adalah bahwa APBD merupakan anggaran untuk mendukung perekonomian daerah. Bukan anggaran operasional pemerintah daerah. Sebagian besar daerah masih terjebak, belum mampu melepaskan diri dari paradigma bahwa APBD diprioritaskan untuk operasional pemerintah daerah.
Untuk layanan publik
APBD seharusnya diprioritaskan untuk layanan publik dan stimulus ekonomi lokal dengan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Birokrasi lokal akan dipaksa untuk efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya dan otomatis produktivitas mereka harus ditingkatkan sehingga pengeluaran untuk setiap aparat pemda bermanfaat meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong perekonomian lokal.
Keluhan sebagian besar daerah bahwa APBD mereka habis untuk belanja pegawai. Seharusnya mereka atasi dulu dengan reformasi birokrasi lokal yang bertujuan untuk mengefisienkan mereka sekaligus meningkatkan produktivitasnya. Karena itu, pemekaran daerah seharusnya tidak menambah inefisiensi birokrasi lokal dengan tidak merekrut pegawai baru begitu saja setiap ada daerah yang baru dibentuk. Semangat persatuan Indonesia tetap harus dijaga dalam konteks otonomi daerah sehingga jangan sampai semangat ”putra daerah” mendominasi perekrutan pegawai di tingkat lokal.
Untuk mendukung pengelolaan APBD yang tepat, alokasi belanja menjadi sangat penting. Kreativitas daerah dalam meningkatkan belanja publik dan belanja modal menjadi kunci keberhasilan pembangunan di daerah. Layanan publik jelas tanggung jawab pemda yang tidak mungkin diambil alih swasta sehingga harus dialokasikan dana yang cukup dalam APBD untuk terus meningkatkan kualitas layanan publik.
Apabila mereka terjebak dengan belanja pegawai, kualitas layanan publik akan terus menurun dan akan makin menjauhkan masyarakat lokal dari kesejahteraan yang mereka idamkan. Prioritas dalam belanja publik pemda adalah kunci keberhasilan pemda yang mampu menggerakkan ekonomi lokalnya dan sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan output perekonomian, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan pendapatan masyarakat.
Dari contoh beberapa daerah yang dianggap berhasil mengelola perekonomiannya terlihat bahwa kemampuan menetapkan prioritas belanja sangat menentukan. Dengan sumber daya yang terbatas, APBD tidak akan sanggup menggerakkan semua unsur perekonomian lokal secara optimal sehingga prioritas bukan lagi suatu pilihan, tetapi keharusan bagi setiap pemda.
Optimalisasi pengelolaan APBD juga harus memerhatikan bahwa sejumlah uang yang sudah dianggarkan harus dipakai atau dihabiskan sesuai dengan belanja yang direncanakan. Terjadinya sisa anggaran baru bisa ditolerir apabila memang terjadi penghematan dalam belanja yang tentunya akan membantu anggaran berikutnya.
Yang tidak boleh terjadi adalah membiarkan uang APBD menganggur atau bahkan tidak terserap sama sekali dalam satu tahun anggaran. Uang yang menganggur mencerminkan adanya aktivitas perbaikan layanan publik yang tidak jalan dan tentunya merugikan masyarakat lokal. Percepatan penyerapan anggaran masih merupakan pekerjaan rumah penting bagi pemerintah daerah dan pusat.
Pemerintah pusat masih harus memastikan bahwa pencarian dana bagi hasil dapat mencapai daerah sebelum tutup tahun anggaran sehingga daerah masih bisa memanfaatkannya. Masalah penyerapan anggaran tiap tahun yang selalu muncul di media, tetapi belum banyak kemajuan untuk perbaikan. Dari segi pemanfaatan APBD, jelas hal ini merugikan masyarakat lokal yang berhak menikmati penggunaan APBD tersebut pada waktunya.
Dasar dari segala aspek pengelolaan keuangan daerah tentunya adalah akuntansi keuangan daerah yang rapi dan sesuai kaidah yang ada sehingga APBD sendiri menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil audit BPK yang menunjukkan masih lemahnya pengelolaan keuangan daerah. Kebanyakan daerah belum siap otonom dalam menggali sumber keuangan daerah, misalnya dengan mengeluarkan obligasi daerah. Untuk mengeluarkan obligasi, perlu laporan keuangan yang sudah diaudit dengan opini wajar tanpa pengecualian.
Pengelolaan yang masih buruk juga bisa berindikasi kurang transparannya APBD dan cenderung ada penyalahgunaan oleh sekelompok elite lokal. Agar dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan daerah, selain komitmen politik pimpinan lokal, perlu perbaikan drastis kualitas SDM akuntansi keuangan daerah. Setiap pemerintah daerah harus memenuhi jumlah minimum akuntan di unit kerjanya. Para akuntan pemda sendiri harus diperkuat sisi profesionalnya sehingga tidak menjadi seperti birokrat lain yang mudah dipindahkan ke unit lain yang tidak relevan.
Seperti halnya perusahaan yang menuntut adanya pengelolaan keuangan yang baik karena yang dikelola adalah uang pemegang saham, pemda pun dituntut hal serupa. Karena uang yang dikelola adalah uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak pemerintah pusat. Jadi, harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Sumber :
Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar FEUI
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/18/04040478/kabar.buruk.dari.otonomi.daerah
18 Agustus 2009
Hanya sedikit sekali dari laporan keuangan daerah yang mendapatkan predikat ”wajar tanpa pengecualian”. Kebanyakan mendapat predikat ”wajar dengan pengecualian” dan ada sekelompok daerah yang bahkan berpredikat lebih buruk daripada itu.
Kabar buruk ini sangat mengganggu di tengah krisis keuangan global yang memaksa setiap pihak mengoptimalkan penggunaan anggarannya. Juga di tengah upaya segenap lapisan bangsa menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik di segala bidang. Menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah daerah seolah menomorduakan upaya penegakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak peduli kepentingan masyarakat lokal yang bergantung pada APBD.
Hasil audit itu juga dapat menjadi batu sandungan bagi proses otonomi daerah, yang meskipun hampir tidak mungkin dibatalkan, tetapi selalu dipertanyakan relevansi dan manfaatnya. Masalah pemekaran daerah yang seolah tidak mungkin dihentikan sudah merupakan pertanyaan besar tersendiri bagi proses otonomi daerah. Dan, sampai hari ini kelihatannya belum ada formula yang jitu, paling tidak secara politis, untuk melakukan moratorium pemekaran itu sendiri.
Kombinasi masalah pemekaran daerah dengan buruknya pengelolaan keuangan daerah akan makin memberi angin kepada kelompok yang merasa bahwa otonomi daerah hanyalah suatu hura-hura politik. Lebih jauh lagi mereka menganggap bahwa otonomi daerah adalah suatu kegagalan yang harus dihentikan dan kembali ke sentralisasi.
Pendapat terakhir mungkin tidak akan terjadi, tetapi relevansi otonomi daerah dan desentralisasi dalam pembangunan ekonomi nasional harus terus diperkuat. Dimulai dari pengelolaan APBD yang tepat.
Prinsip dasar pengelolaan APBD yang tepat adalah bahwa APBD merupakan anggaran untuk mendukung perekonomian daerah. Bukan anggaran operasional pemerintah daerah. Sebagian besar daerah masih terjebak, belum mampu melepaskan diri dari paradigma bahwa APBD diprioritaskan untuk operasional pemerintah daerah.
Untuk layanan publik
APBD seharusnya diprioritaskan untuk layanan publik dan stimulus ekonomi lokal dengan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Birokrasi lokal akan dipaksa untuk efisien dan efektif dalam menjalankan tugasnya dan otomatis produktivitas mereka harus ditingkatkan sehingga pengeluaran untuk setiap aparat pemda bermanfaat meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong perekonomian lokal.
Keluhan sebagian besar daerah bahwa APBD mereka habis untuk belanja pegawai. Seharusnya mereka atasi dulu dengan reformasi birokrasi lokal yang bertujuan untuk mengefisienkan mereka sekaligus meningkatkan produktivitasnya. Karena itu, pemekaran daerah seharusnya tidak menambah inefisiensi birokrasi lokal dengan tidak merekrut pegawai baru begitu saja setiap ada daerah yang baru dibentuk. Semangat persatuan Indonesia tetap harus dijaga dalam konteks otonomi daerah sehingga jangan sampai semangat ”putra daerah” mendominasi perekrutan pegawai di tingkat lokal.
Untuk mendukung pengelolaan APBD yang tepat, alokasi belanja menjadi sangat penting. Kreativitas daerah dalam meningkatkan belanja publik dan belanja modal menjadi kunci keberhasilan pembangunan di daerah. Layanan publik jelas tanggung jawab pemda yang tidak mungkin diambil alih swasta sehingga harus dialokasikan dana yang cukup dalam APBD untuk terus meningkatkan kualitas layanan publik.
Apabila mereka terjebak dengan belanja pegawai, kualitas layanan publik akan terus menurun dan akan makin menjauhkan masyarakat lokal dari kesejahteraan yang mereka idamkan. Prioritas dalam belanja publik pemda adalah kunci keberhasilan pemda yang mampu menggerakkan ekonomi lokalnya dan sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan output perekonomian, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan pendapatan masyarakat.
Dari contoh beberapa daerah yang dianggap berhasil mengelola perekonomiannya terlihat bahwa kemampuan menetapkan prioritas belanja sangat menentukan. Dengan sumber daya yang terbatas, APBD tidak akan sanggup menggerakkan semua unsur perekonomian lokal secara optimal sehingga prioritas bukan lagi suatu pilihan, tetapi keharusan bagi setiap pemda.
Optimalisasi pengelolaan APBD juga harus memerhatikan bahwa sejumlah uang yang sudah dianggarkan harus dipakai atau dihabiskan sesuai dengan belanja yang direncanakan. Terjadinya sisa anggaran baru bisa ditolerir apabila memang terjadi penghematan dalam belanja yang tentunya akan membantu anggaran berikutnya.
Yang tidak boleh terjadi adalah membiarkan uang APBD menganggur atau bahkan tidak terserap sama sekali dalam satu tahun anggaran. Uang yang menganggur mencerminkan adanya aktivitas perbaikan layanan publik yang tidak jalan dan tentunya merugikan masyarakat lokal. Percepatan penyerapan anggaran masih merupakan pekerjaan rumah penting bagi pemerintah daerah dan pusat.
Pemerintah pusat masih harus memastikan bahwa pencarian dana bagi hasil dapat mencapai daerah sebelum tutup tahun anggaran sehingga daerah masih bisa memanfaatkannya. Masalah penyerapan anggaran tiap tahun yang selalu muncul di media, tetapi belum banyak kemajuan untuk perbaikan. Dari segi pemanfaatan APBD, jelas hal ini merugikan masyarakat lokal yang berhak menikmati penggunaan APBD tersebut pada waktunya.
Dasar dari segala aspek pengelolaan keuangan daerah tentunya adalah akuntansi keuangan daerah yang rapi dan sesuai kaidah yang ada sehingga APBD sendiri menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil audit BPK yang menunjukkan masih lemahnya pengelolaan keuangan daerah. Kebanyakan daerah belum siap otonom dalam menggali sumber keuangan daerah, misalnya dengan mengeluarkan obligasi daerah. Untuk mengeluarkan obligasi, perlu laporan keuangan yang sudah diaudit dengan opini wajar tanpa pengecualian.
Pengelolaan yang masih buruk juga bisa berindikasi kurang transparannya APBD dan cenderung ada penyalahgunaan oleh sekelompok elite lokal. Agar dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan daerah, selain komitmen politik pimpinan lokal, perlu perbaikan drastis kualitas SDM akuntansi keuangan daerah. Setiap pemerintah daerah harus memenuhi jumlah minimum akuntan di unit kerjanya. Para akuntan pemda sendiri harus diperkuat sisi profesionalnya sehingga tidak menjadi seperti birokrat lain yang mudah dipindahkan ke unit lain yang tidak relevan.
Seperti halnya perusahaan yang menuntut adanya pengelolaan keuangan yang baik karena yang dikelola adalah uang pemegang saham, pemda pun dituntut hal serupa. Karena uang yang dikelola adalah uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak pemerintah pusat. Jadi, harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Sumber :
Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar FEUI
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/18/04040478/kabar.buruk.dari.otonomi.daerah
18 Agustus 2009
Pemerintah akan Upayakan Pembenahan Otonomi Daerah
Pemberian otonomi luas kepada daerah ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dengan otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, ke khususan serta potensi keanekaragaman daerah.
Sebagai negara besar yang sangat pluralistik tidak mungkin dapat dikelola dengan cara sentralistik. Idealnya dibutuhkan pembelahan wilayah. Menyadari hal tersebut, penerapan Kebijakan Desentralisasi melalui pembentukkan Otonomi Daerah merupakan pilihan tepat, demikian dikatakan Gubernur Lemhannas RI, Prof. DR. Muladi, S.H. pada saat membuka Seminar Nasional yang mengambil tema "Urgensi Pemekaran Daerah untuk Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat". Selasa (29/9).
Acara yang diselenggarakan di Gedung Dwiwarna Purwa Lemhannas RI tersebut hadir mewakili DESDM, Sekretaris Jenderal DESDM, Waryono Karno. Beliau mengatakan terdapat dua pendapat mensikapi Kebijakan Otonomi Daerah pertama mendukung dan kedua tidak mendukung. Pendapat yang mendukung mengatakan bahwa dengan adanya pemekaran wilayah maka pembangunan daerah, perbaikan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik lebih dapat ditingkatkan.
Pendapat yang tidak mendukung lanjut Sekjen, mengatakan bahwa pemekaran wilayah merupakan ajang kepentingan politik dan keuangan dan cenderung menimbulkan ketegangan lokal berupa batas wilayah, kewenangan, pergeseran budaya dan agama serta adat yang bernuansa lokal. Selain itu, pemekaran menyebabkan ketergantungan pada Pemerintaah Pusat sangat tinggi.
Sepuluh tahun terakhir (1999-2009) telah terbentuk 205 daerah otonom baru, yaitu 7 Provinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota. Dengan demikian jumlah daerah otonom yang ada hingga saat ini adalah 524 daerah, yang terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 Kota. Otonomi Daerah telah memberikan keleluasaan Pemerintah Daerah untuk menjalankan Konstitusi sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi daerah untuk kepentigan rakyat.
Sekjen DESDM menambahkan, dalam sambutanya Gubernur Lemhanas RI mengatakan, pemerintah akan mengupayakan pembenahan Kebijakan Otonomi dengan melakukan evaluasi dan menyusun Grand Design dan Grand Strategy
Hadir sebagai narasumber dalam acara seminar yang dipandu Mayjen (Purn) S.H.M. Lerrik tersebut lima pembicara, yaitu, Wan Tim Pres/Taprof Lemhannas RI Letjen (Purn) Dr. TB. Silalahi, S.H., pakar Otda DPR RI, Prof. Dr. Riyas Rasyid, Dirjen Otda Depdagri Dr. Sodjuanon Situmorang, M.Si, DPD-RI Drs. Harun Al Rassyid, M.Si. dan Dirjen Perimbangan Keuangan Depku RI Prof. Dr. Mardiasmo.
Sedang sebagai penanggap hadir, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, Pengamat Politik The Habibie Centre Dr. Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI Tri Ratnawati, Phd, Staf Khusus Menko Perekonomian Urusan Ekonomi Daerah dan Desntralisasi B. Raksa Kamahi, Phd., Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan Dr. H. Zairullah Azhar, M.Sc. serta Walikota Pangkal Pinang Drs. H. Zulkarnain Karim, M.M. tentang jumlah ideal daerah otonomi Provinsi maupun Kabupaten dan Kota atas dasar parameter yang terukur serta mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang insentif bagi daerah yang melakukan penggabungan (merger).
Sumber:
http://www.esdm.go.id/berita/umum/37-umum/2922-pemerintah-akan-upayakan-pembenahan-otonomi-daerah.html
19 Oktober 2009
Sebagai negara besar yang sangat pluralistik tidak mungkin dapat dikelola dengan cara sentralistik. Idealnya dibutuhkan pembelahan wilayah. Menyadari hal tersebut, penerapan Kebijakan Desentralisasi melalui pembentukkan Otonomi Daerah merupakan pilihan tepat, demikian dikatakan Gubernur Lemhannas RI, Prof. DR. Muladi, S.H. pada saat membuka Seminar Nasional yang mengambil tema "Urgensi Pemekaran Daerah untuk Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat". Selasa (29/9).
Acara yang diselenggarakan di Gedung Dwiwarna Purwa Lemhannas RI tersebut hadir mewakili DESDM, Sekretaris Jenderal DESDM, Waryono Karno. Beliau mengatakan terdapat dua pendapat mensikapi Kebijakan Otonomi Daerah pertama mendukung dan kedua tidak mendukung. Pendapat yang mendukung mengatakan bahwa dengan adanya pemekaran wilayah maka pembangunan daerah, perbaikan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik lebih dapat ditingkatkan.
Pendapat yang tidak mendukung lanjut Sekjen, mengatakan bahwa pemekaran wilayah merupakan ajang kepentingan politik dan keuangan dan cenderung menimbulkan ketegangan lokal berupa batas wilayah, kewenangan, pergeseran budaya dan agama serta adat yang bernuansa lokal. Selain itu, pemekaran menyebabkan ketergantungan pada Pemerintaah Pusat sangat tinggi.
Sepuluh tahun terakhir (1999-2009) telah terbentuk 205 daerah otonom baru, yaitu 7 Provinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota. Dengan demikian jumlah daerah otonom yang ada hingga saat ini adalah 524 daerah, yang terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 Kota. Otonomi Daerah telah memberikan keleluasaan Pemerintah Daerah untuk menjalankan Konstitusi sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi daerah untuk kepentigan rakyat.
Sekjen DESDM menambahkan, dalam sambutanya Gubernur Lemhanas RI mengatakan, pemerintah akan mengupayakan pembenahan Kebijakan Otonomi dengan melakukan evaluasi dan menyusun Grand Design dan Grand Strategy
Hadir sebagai narasumber dalam acara seminar yang dipandu Mayjen (Purn) S.H.M. Lerrik tersebut lima pembicara, yaitu, Wan Tim Pres/Taprof Lemhannas RI Letjen (Purn) Dr. TB. Silalahi, S.H., pakar Otda DPR RI, Prof. Dr. Riyas Rasyid, Dirjen Otda Depdagri Dr. Sodjuanon Situmorang, M.Si, DPD-RI Drs. Harun Al Rassyid, M.Si. dan Dirjen Perimbangan Keuangan Depku RI Prof. Dr. Mardiasmo.
Sedang sebagai penanggap hadir, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, Pengamat Politik The Habibie Centre Dr. Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI Tri Ratnawati, Phd, Staf Khusus Menko Perekonomian Urusan Ekonomi Daerah dan Desntralisasi B. Raksa Kamahi, Phd., Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan Dr. H. Zairullah Azhar, M.Sc. serta Walikota Pangkal Pinang Drs. H. Zulkarnain Karim, M.M. tentang jumlah ideal daerah otonomi Provinsi maupun Kabupaten dan Kota atas dasar parameter yang terukur serta mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang insentif bagi daerah yang melakukan penggabungan (merger).
Sumber:
http://www.esdm.go.id/berita/umum/37-umum/2922-pemerintah-akan-upayakan-pembenahan-otonomi-daerah.html
19 Oktober 2009
Monday, April 20, 2009
Pemekaran kabupaten Sukabumi
Sukabumi Selatan Ancam Berintegrasi ke Australia
Masyarakat yang bermukim di wilayah Kabupaten Sukabumi bagian selatan, mengancam akan menggabungkan diri (berintegrasi) dengan pemerintahan negara Australia. Ultimatum tersebut mencuat menyusul adanya wacana yang menyebutkan wilayah Kabupaten Sukabumi Selatan tidak termasuk sebagai daerah yang dimekarkan.
"Kami akan meminta kerjasamanya kepada pemerintah Australia agar bisa memisahkan diri dari Kabupaten Sukabumi jika pemerintah daerah tidak menjadikan Kabupaten Sukabumi Selatan sebagai daerah otonom baru," ujar Koordinator Badan Percepatan Pemekaran Kabupaten Sukabumi ( BP2KS), Deddy A Sastrawidhaya kepada wartawan, Minggu (25/1/2009).
Disebutkan Deddy, masyarakat Sukabumi Selatan telah berjuang selama 20 tahun untuk pemekaran wilayah kabupaten menjadi tiga daerah otonom baru, antara lain :
1. Kabupaten Sukabumi Utara
2. Kabupaten Palabuhan Ratu (induk)
3. Kabupaten Sukabumi Selatan.
Namun kenyataannya, pemerintah daerah kini lebih terkesan hanya memprioritaskan pemekaran Kabupaten Sukabumi menjadi dua daerah otonom, yakni Kabupaten Pelabuhan Ratu dan Kabupaten Sukabumi Utara.
"Dengan adanya wacana pemekaran wilayah hanya menjadi dua, mayarakat Kabupaten Sukabumi Selatan merasa didzalimi atau dikhianati. Ini membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak aspiratif terhadap perjuangan masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, maka kami menyatakan menolak pemekaran daerah," tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pemekaran DPRD Kabupaten Sukabumi, Ahmad Dani, menjelaskan upaya pemekaran wilayah kabupaten telah memasuki tahap pengesahan ibu kota bagi masing-masing daerah otonom baru.
Penetapan ini dilakukan menyusul setelah adanya pemenuhan persyaratan administrasi berupa pernyataan dukungan dari seluruh masyarakat melalui badan perwakilan desa (BPD) sesuai peraturan pemerintah (PP) No 78 tahun 2007. Sampai sejauh ini pemerintah daerah masih tetap mengajuklan pemekaran kabupaten menjadi tiga daerah otonom baru.(Toni Kamajaya/Sindo/hri)
Sumber :
http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/01/25/1/186244/sukabumi-selatan-ancam-berintegrasi-ke-australiaSenin 26 Januari 2009
------------------------------------------------------------------------
Kabupaten Sukabumi Disetujui Dimekarkan jadi Tiga Wilayah
Meski sempat alot, Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Sukabumi, akhirnya menyetujui pemekaran daerah itu menjadi tiga wilayah, Rabu (20/6). Juga sudah disepakati tiga calon ibu kota masing-masing daerah itu kelak.
Sidang paripurna yang membahas pemekaran tersebut sempat dihujani interupsi. Karena masalah penentuan salah satu ibu kota hasil pemekaran yaitu Kabupaten Sukabumi Selatan.
Semua fraksi menyutujui keputusan untuk pemekaran wilayah Kabupaten Sukabumi menjadi tiga. Yaitu :
1. Kabupaten Sukabumi (kabupaten induk)
2. Kabupaten Sukabumi Selatan
3. Kabupaten Sukabumi Utara
Namun dalam penentuan calon ibu kota terjadi perbedaan, sehingga harus dilakukan pemungutan suara dalam penentuan calon ibu kota Sukabumi Selatan.
Pasalnya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) menginginkan ada kajian lagi. Fraksi lainnya, yaitu Golkar, PDIP dan Fraksi Kebangkitan Amanat Demokrasi meminta langsung diputuskan ibu kotanya, Jampang Kulon.
Dalam voting akhirnya dihasilkan calon ibu kota itu, Jampang Kulon tanpa harus melalui kajian lagi. Dalam pemungutan suara diikuti 38 anggota dewan yang hadir, 26 suara sepakat, dan 11 suara meminta dilakukan kajian ulang serta 1 suara tidak sah.
Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi Sopandi Harjasasmita mengatakan hasil persetujuan DPRD tentang pemekaran ini segera ditindaklajuti dengan menyampaikan ke tingkat lebih tinggi.
"Untuk pemekaran Kabupaten Sukabumi ini, kami punya target sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yaitu 2010," kata Sopandi.
Sementara itu, Bupati Sukabumi, Sukmawijaya mengatakan setelah adanya persetujuan segera dikaji lokasi pemerintahan yang tepat di tiga calon ibu kota yang telah ditetapkan DPRD. Menurut dia, surat persetujaun dewan dan hasil kajian akademis pemekaran dalam seminggu ini segera disampaikan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (FZ/OL-02).
Reporter : faizal bagindo
SUKABUMI--MIOL, 20 Juni 2007
Sumber :
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=136036
Sumber Gambar:
http://media.photobucket.com/image/peta%20sukabumi/loveamih/peta-kab-sukabumi1.png
http://lifeincontrast.com/wp-content/uploads/2007/11/dsc00027.JPG
http://farm4.static.flickr.com/3014/2504838035_838fcc9b20.jpg
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/image/gede02.jpg
Kota Tangerang Selatan Terbentuk
Kota Tangerang Selatan terbentuk setelah DPR bersama pemerintah menyetujuinya dalam rapat paripurna DPR, Rabu (29/10). Tangerang Selatan disetujui bersamaan dengan persetujuan pembentukan 11 daerah otonom baru lainnya.
Terbentuknya kota baru itu disambut gembira warga yang tinggal di wilayah Tangerang bagian selatan. "Kami akan mengadakan syukuran besok (Kamis, 30 Oktober) di Ciputat," kata pemrakarsa berdirinya Kota Tangerang Selatan, Basuki Rahardjo Notodisurja, Rabu (29/10) malam.
Warga Tangerang Selatan memperjuangkan berdirinya kota baru tersebut sejak tahun 2000. Berbagai cara mereka tempuh agar pemerintah mengabulkan keinginan mereka memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang, sampai kemarin DPR menyetujui undang-undang tentang pembentukan 12 daerah otonomi baru termasuk Kota Tangerang Selatan.
Wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan yang dahulu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang yaitu kecamatan:
1. Serpong
2. Serpong Utara
3. Pondok Aren
4. Ciputat
5. Ciputat Timur
6. Pamulang
6. Setu.
Luas wilayah baru itu 147,19 kilometer persegi dengan penduduk (2007) mencapai 918 ribu jiwa.
Sumber :
http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/30/00232963/kota.tangerang.selatan.terbentuk
30 Oktober 2008
Sumber Gambar :
http://images.cahpamulang.multiply.com/image/1/photos/27/500x500/25/TANGSEL.JPG?et=24n,JGb8vZzD%2B2wGafAGFg&nmid=106
http://img391.imageshack.us/img391/6038/cipaserawebhj7ny2.jpg
Pemerintah Resmikan Kabupaten Pulau Morotai
Menindaklanjuti amanah Undang-Undang (UU) Nomor 53 Tahun 2008, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto meresmikan pembentukan Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara, Jumat (20/3/2009) di Morotai. Mendagri juga melantik Asisten Tata Praja Pemerintah Provinsi Maluku Utara H Mochtar Daeng Barang menjadi penjabat Bupati Morotai sesuai SK Mendagri Nomor 131 Tahun 2009. Kabupaten Morotai sebagai daerah otonom baru merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara.
"Pemerintahan yang baru muncul harus kita back up, kita support karena itu juga merupakan suatu proyeksi keinginan masyarakat Morotai," kata Mardiyanto kepada wartawan seusai meresmikan dan melantik Penjabat Bupati Morotai di Morotai, kemarin (22/3/2009).
Mardiyanto mengatakan tugas mendesak yang harus segera dilakukan Penjabat Bupati yang baru dilantik adalah mengangkat Sekretaris Daerah (Sekda). Setelah itu Penjabat Bupati bersama Sekda dapat merumuskan program-program pemerintahan yang cermat demi tercapainya misi daerah otonom baru. Terlebih, masa jabatan Penjabat Bupati dibatasi paling lama satu tahun sejak dilantik harus sudah ada pasangan kepala daerah baru yang dipilih melalui Pemilu Kepala Daerah.
"Saya sampaikan kepada Penjabat Bupati untuk selalu menjalin komunikasi dengan kabupaten induk, gubernur, juga muspida, sebagai daerah yang baru mekar tentu akan menghadapi banyak persoalan," kata Mardiyanto.
Kabupaten Pulau Morotai merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara. Kabupaten ini memiliki luas wilayah sekitar 2.476 kilometer dengan jumlah penduduk sekitar 51 ribu jiwa. Kabupaten ini terdiri dari lima kecamatan dan 64 desa dengan ibu kota ditetapkan di Kecamatan Morotai Selatan.
Untuk pelaksanaan kegiatan pemerintahan pertama kali kabupaten ini mendapatkan anggaran bantuan dari pemerintah kabupaten induk sebesar Rp3,8 miliar selama dua tahun berturut-turut dan Rp1 miliar untuk bantuan anggaran Pemilu Kepala Daerah. Sementara, Pemerintah Provinsi (pemrov) Maluku Utara memberikan bantuan anggaran sebesar Rp5 miliar selama dua tahun berturut-turut dan bantuan anggaran Pemilu Kepala Daerah sebesar Rp2,5 miliar.
"Kabupaten Pulau Morotai ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara untuk meningkatkan pembangunan, pelayanan publik, dan potensi daerah berdasarkan aspirasi masyarakat yang berkembang," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri Sodjuangon Situmorang.
Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn mengatakan bangga atas terbentuknya kabupaten baru di wilayah pemerintahannya tersebut. Peresmian ini merupakan puncak perjuangan masyarakat Morotai yang kini menjadi kenyataan.
"Tentunya kepercayaan pemerintah pusat ini harus dijaga dengan baik untuk terus jalin komunikasi, tegakkan hukum, dan tingkatkan pelayanan kepada masyarakat," katanya. (*)
Sumber : www.jurnalnasional.com, dalam :
http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=506
Sumber Gambar :
en.wikipedia.org
Pembentukan Kabupaten Garut Selatan
Pemekaran Kabupaten Garut Disetujui
GARUT,SINDO--DPRD Kab Garut akhirnya menyetujui tuntutan warga terkait pemekaran wilayah Garut bagian selatan, kemarin.
Selanjutnya, para anggota Dewan membentuk pansus (panitia khusus) pembentukan Kab Garut Selatan yang meliputi 16 kecamatan. Pansus dipersiapkan untuk segera membuat studi kelayakan.Selanjutnya hasil studi menjadi rekomendasi untuk pihak Pemkab Garut dan Pemprov Jawa Barat. Persetujuan itu terungkap dalam audiensi antara Paguyuban Masyarakat Garut Selatan (PMGS) dengan unsur pimpinan DPRD Garut yang terdiri atas Ketua DPRD Dedi Suryadi, Wakil Ketua DPRD Dikdik Darmika, serta beberapa anggota DPRD yang lain. Pertemuan itu juga dihadiri oleh pihak Pemkab, antara lain Asisten Daerah (Asda) I Kuswanda dan Kepala Bagian Hukum Setda Garut Asep Sulaeman.
”Kami menerima aspirasi para tokoh warga Garut bagian selatan untuk melakukan pemekaran wilayah. Insya Allah kami akan segera membentuk pansus yang akan bekerja melakukan kajian dan melakukan langkah- langkah koordinasi dalam pemekaran wilayah ini,” ungkap Ketua DPRD Garut Dedi Suryadi,kemarin. Untuk mendukung pemekaran wilayah tersebut, Dedi menyatakan butuh anggaran APBN maupun dari APBD yang akan dialokasikan pada ABT 2007 sesuai kebutuhan.”Target pemekaran ini mudah-mudahan saja bisa terealisasi selambat- lambatnya 2009 mendatang.
Langkah-langkah yang akan kami lakukan cukup banyak dan yang pasti akan diarahkan sesuai aspirasi dan keinginan warga wilayah yang akan dimekarkan,” tandasnya. Sebelumnya, Ketua PMGS Gunawan Undang menyatakan desakan pemekaran wilayah ini merupakan aspirasi dari semua warga Garut Selatan yang terdiri atas 16 kecamatan.Bahkan,kini telah terbentuk Komite Persiapan Pembentukan Kab Garut Selatan (KP2-KGS) yang merupakan kepanjangan tangan seluruh warga.
”Pembentukan daerah otonom baru ini sudah dirasakan sebagai kebutuhan untuk mewujudkan upaya dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan masyarakat untuk lebih mempercepat terwujudnya pemerataan kesejahteraan masyarakat,” papar Undang. Rencana strategis yang telah digulirkan PMGS, kata Undang, mencakup rencana pembentukan daerah otonom baru yang merupakan langkah antisipasi dan strategi untuk mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional di tingkat daerah.
Ketua KP2-KGS Dedi Kurniawan menambahkan, pemekaran wilayah juga dimaksudkan sebagai upaya mempersingkat span of control (rentang kendali) sehingga tercapainya pemerintahan pada tingkat kecamatan dan desa yang mudah memberikan akses pelayanan pada masyarakat.” Bahkan,bisa jadi akan terjadi efektivitas penggalian dan pendayagunaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang terkandung di daerah untuk kesejahteraan masyarakat setempat,”jelasnya. Dia juga yakin, pemekaran wilayah itu akan mempercepat penyebaran dan pemerataan hasil-hasil pembangunan sehingga mudah menjadi perangsang peningkatan partisipasi masyarakat dan produktivitas untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang merata.
Alasan lainnya berupa disparitas pembangunan dan isu kemiskinan di daerah Garut bagian selatan dengan daerah lain di Kab Garut. Sebagai langkah menuju pemekaran wilayah, sejumlah pihak terkait tengah intensif melakukan upaya konsolidasi di tingkat lokal hingga tingkat pusat. Tak hanya itu, kondisi geografis dan luasnya wilayah Kab Garut secara keseluruhan, kata dia, menjadi faktor kuat juga. Sebagai contoh, jarak dari pusat kota menuju salah satu kecamatan di wilayah selatan Garut rata-rata mencapai 120 kilometer. Padahal,jarak rata-rata idealnya adalah 35–50 km. ”Di kabupaten dan kota lain, terutama di wilayah Jawa Tengah,umumnya seperti ini.”
Sumber:
Sindo dalam :
www.adkasi.org/id.php/main/massmedia/133 - 43k -
20 April 2009
-----------------------------------------------------------------------------------
Pemekaran Dan korupsi
Setelah pada bulan desember Penulis mengeluarkan pernyataan sikap menolak pemekaran Garut Selatan ( Garsela) dan hal itu mendapat ekspos di media. pihak yang pro garsela melakukan langkah-langkah yang refprsefif . Namun penulis tetap menganalisa jika Pemekaran itu bukan tujuan, pasalnyaTujuan di lahirkannya Undang-Undang Otonomi Daerah ( UU Otda ) no 32 tahun 2004, salah satunya untuk meminimalisir disparitas pembangunan suatu daerah. Dimana pada masa orde baru, pembangunan di nilai terpusat di Jakarta ( Jawa ) sedangkan daerah-daerah yang banyak menyumbang pendapatan negara disinyalir tidak mendapatkan manisnya pembangunan.Atas dasar disparitas itulah potensi dis-integrasi bangsa menguat pada masa itu. UU otda No 32 tahun 2004, menjadi salah satu solusi meredam gejolak tersebut, yang didalamnya secara tidak langsung memberikan sedikit ke leluasaan kepada daerah untuk mengatur keuangan dan melakukan kebijakan pembangunan secara otonom sesuai dengan kemampuan keuangan suatu daerah itu sendiri.
Namun sejak bergulirnya Otda, kesejahteraan seolah-olah jauh panggang dari api, kemiskinan tetap bertambah, fasilitas pendidikan masih terbengkalai dan pendapatan masyarakat perkapita belum beranjak akibat bertambahnya jumlah pengangguran. Sebaliknya, jumlah kasus korupsi di berbagai tingkatan daerah yang dilakukan eksekutif dan legislatif semakin marak, contohnya yang di lakukan Bupati kabupaten Garut Jawa Barat dan di kabupaten Kutai Kartanegara, dan tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lainnya berpotensi melakukan perbuatan tercela itu, disinyalir perbuatan korupsi di suatu daerah cenderung di lakukan secara berjamaah bahkan, UU Otda sering dijadikan tameng untuk melegalisasi perbuatan korupsi mereka. Bila hal itu kelak semakin terbukti, kita mesti mewaspadai, bila UU Otda selama ini telah melahirkan raja-raja lokal yang lebih dekat jarak penindasannya kepada masyarakat.
Akhir-akhir ini, UU otda pun di tuding nemjadi biang stagnasinya pembangunan di daerah hasil pemekaran. Para elite politik yang sudah tidak bertaji di level nasional, banyak menyiasati UU Otda yang mengatur tentang penghapusan dan penggabungan suatu daerah dengan cara membelah wilayah dengan alasan disparitas pembangunan dan hal itu dijadikan alat propaganda kepada masyarakat untuk medorong pemekaran wilayah. Padahal, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia ( LIPPI ) di dukung Mendagri, stagnasi pembangunan justru terjadi di daerah hasil pemekaran.Dikatakan Mendagri, motivasi pemekaran cenderung di tunggangi kepentingan politik sejumlah elit dan pengusaha, selain itu pemerintah daerah otonom baru masih mengandalkan dana DAU dan DAK yang secara tidak langsung menambah beban baru pemerintah pusat.
Lahan Korupsi Baru
Pemekaran Wilayah selain menambah beban baru pemerintah pusat, dikahwatirkan menjadi ladang korupsi baru bagi pemerintahan baru. Ketidak jelasan konsep pembanguan di warnai dengan bagi-bagi kue kekuasaan dan kue pembanguan yang jauh dari harapan masyarakat saat ini banyak terjadi di daerah -daerah hasil pemekaran. Tak heran, jika Wapres Yusuf Kalla mengehndaki pemekaran wilayah untuk sementara ini di moratorium ( di hentikan ). Ironisnya, belum lama ini tersiar kabar di media massa, DPRD Kabupaten Garut Jawa Barat telah membentuk pansus pemekaran Garut Selatan, meskipun sebagian warga Garut Selatan itu sendiri yaitu Kecamatan Cisewu, Caringin dan Talegong secara tegas menolak pemekaran Garsela bahkan, bila dipaksa melakukan pilihan mereka cenderung ingin bergabung dengan Kabupaten Bandung.
Penolakan masyarakat di ujung Garut Selatan itu cukup berdasar, pasalnya secara kasat mata luas wilayah Garut Selatan yang selama ini menjadi salah satu alasan untuk mekar kenyataannya masih di kuasai oleh pihak perhutani dan perkebunan ditambah dengan luasnya jumlah hutan konservasi yang harus di jaga kelestariannya. Masyarakat memnadang dan merasakan langsung, mereka hingga kini sulit mendapatkan akses tanah garapan. Pertambangan yang akan di andalkan untuk menjadi PAD Garut Selatan apabila mekar, hingga saat ini belum terbukti sebaliknya tambang bijih besi yang baru di eksplorasi mendapat penolakan dari warga Garut Selatan itu sendiri.Intinya, trujuan pemekaran wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi hal yang utopis dan tidak populis di mata masyarakat.
Hingga kini, pihak yang pro dan kontra pemekaran masih tetap dalam pendiriannya. Pihak pro pemekaran sangat yakin, jika kabupaten Garut Selatan berdiri maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Sebaliknya, pihak yang kontra menilai, pemekaran wilayah tidak ilmiah dan emosional karena hingga kini pihal pro pemekaran belum bisa menjelaskan konsep pembangunan secara komfherensif.
Menyikapi hal itu, bila semua pihak memilki tujuan bersama yaitu untuk memajukan kesejahteraan masyarakat mengapa para elite politik tidak menangani masalah pokok yang menghambat laju kesejahteraan. Berdasarkan analisa Garut Governance Watch, salah satu lembaga yang memilki jaringan kuat dengan ICW menyatakan, kemiskinan tidak tertanggulagi dan kesejahteraan sulit di capai akibat ketidak tepatan program pembangunan dan para pelaksana pembangunan itu sendiri cenderung melakukan korupsi.Menurutnya, pemekaran hanyalah salah satu solusi untuk meminimalisir disparitas pembangunan suatu daerah, namun pemekaran juga bukan harga mati untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Yang perlu menjadi prioritas, harusnya berbagai pihak mencari cara agar korupsi dapat di berantas dan APBD berpihak kepada rakyat. Bila korupsi dapat di berantas dan program pemerintah tepat sasaran, semua pihak sangat yakin bila kesejahteraan itu dapat tercapai tanpa harus melakukan pemekaran.
Sumber :
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10123.html
1 Februari 2008
Sumber Gambar :
http://www.garutkab.go.id/pariwisata/wisata/files/Pantai%20Karang%20Paranje_3
Pembentukan Kota Cipanas
DPRD Cianjur Bentuk Pansus Pemekaran Kota Cipanas
TEMPO Interaktif, Cianjur:Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cianjur mulai membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemekaran Kota Cipanas dari Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pansus yang beranggotakan 12 orang legislator dari berbagai fraksi itu sudah mulai bekerja dengan membahas beberapa rancangan yang ada dalam draf pemekaran itu. Kendati demikian, belum diputuskan siapa yang menjadi Ketua Pansus tersebut.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Bulan Bintang, Moch. Toha, mengatakan Pansus tersebut bertugas mengkaji aspirasi masyarakat di lima kecamatan, yakni :
1. Cipanas
2. Pacet
3. Cugenang
4. Sukaresmi
5. Cikalongkulon
yang mengajukan pemekaran wilayah.
"Salah satu tugas pansus antara lain mengkaji aspek normatif, mengecek sejauh mana keinginan menjadikan Cipanas sebagai kota itu memang aspirasi murni masyarakat atau hanya sekedar keinginan segelintir orang," ujar Moch. Toha, Kamis (13/3).
Selain itu, Pansus juga akan mempelajari atau melakukan studi banding ke daerah lain yang telah melakukan pemekaran. Tidak hanya itu, kata Toha, Pansus pun akan melakukan pengecekan ke pemerintah pusat. "Dari hasil semua itu, nanti akan muncul rekomendasi apakah Cipanas layak dimekarkan atau tidak," paparnya.
Ketua DPRD Kabupaten Cianjur, Ade Barkah Surahman, yang tercatat sebagai warga Cipanas secara terpisah mengatakan hasil rekomendasi Pansus akan disampaikan kepada Bupati Cianjur. "Apakah rekomendasi hasil kajian Pansus tersebut disetujui atau tidak oleh Bupati, itu kewenangannya. Pansus tidak bisa ikut campur lagi jika telah mengeluarkan rekomendasi dari hasil kajian yang telah dilakukan," kata Ade Barkah.
Dedih Satria Priatna, salah seorang tokoh masyarakat Cipanas, mengatakan apa yang diputuskan DPRD Kabupaten Cianjur dengan membentuk Pansus Pemekaran Cipanas merupakan hal yang positif serta sebuah kemajuan dalam menampung aspirasi masyarakat. Namun, menurut Dedih, pihaknya juga mengingatkan Dewan jangan sampai langsung merespon dengan mengatasnamakan masyarakat semata.
"Kalau Pansus itu dibentuk dengan alasan aspirasi masyarakat, harus dilihat masyarakat mana dulu. Jangan sampai menjadi bumerang bagi Dewan. Sebab, tidak menutup kemungkinan yang mengatasnamakan masyarakat itu ternyata hanya segelintir orang yang mempunyai agenda kepentingan lain," kata Dedih, saat dihubungi terpisah melalui telepon. (DEDEN ABDUL AZIZ)
Sumber :
http://www.majalah.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/03/13/brk,20080313-119170,id.html.
13 Maret 2008
-----------------------------------------------------------------------------------
Cianjur Akan Dimekarkan
INILAH.COM, Cianjur - DPRD Kabupaten Cianjur, Rabu (5/3), mulai membahas usulan pemekaran Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menjadi tiga wilayah. Yakni, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cianjur Selatan, dan Kota Cipanas.
"Ya karena begitu kuatnya desakan dan keinginan masyarakat terhadap dibentuknya Kota Cipanas dan kabupaten Cianjur Selatan untuk memisahkan diri dari Kabupaten Cianjur," kata Khumaedi Dimyati, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cianjur, Rabu (5/3).
Karena itu, DPRD Kabupaten Cianjur tealah membentuk Panitia Musyawarah (Panmus). Panmus akan mengkaji lebih dalam tentang aspirasi yang disampaikan masyarakat terkait pemekaran wilayah selama ini.
Pernyataan senada dikemukakan Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cianjur, Rudy Syachdiar Hidayath. Menurutnya, aspirasi warga masyarakat terkait pemekaran wilayah Kabupaten Cianjur patut mendapat respons DPRD.
" Soalnya bila dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi DPRD di mata masyarakat, " kata Rudy kepada wartawan.
Hasil pembicaraan Panmus, menurut Rudy, akan diserahkan kepada kepala daerah untuk direkomendasikan kepada Mendagri Mardiyanto di Jakarta.
"Nanti tergantung kepada bupati, mau atau tidak, merekomendasikannya ke Mendagri, " tegasnya.
Menurut Rudy, DPRD pun akan selalu mendorong dan proaktif mengenai desakan keinginan masyarakat untuk pamekaran Kabupaten Cianjur dengan dibentuknya Kota Cipanas. Setelah hasil Panmus diserahkan kepada kepala daerah, DPRD bisa membuat perda (peraturan daerah) tentang pemekaran Kabupaten Cianjur.
"Nantinya kepala daerah harus juga mendorong membantu pengadaan fasilitas perkantoran dan anggaran. Jangan sampai seperti Kabupaten Bandung Barat, harus menyewa kantor. Jadi Cianjur harus siap, dan kami pun di DPRD akan membahas anggaran yang dibutuhkan untuk pemerintahan hasil pemekaran," jelasnya.
Selain pembentukan Kota Cipanas, menurut Rudy, jauh sebelumnya sudah ada keinginan, bahkan sudah direkomendasikan kepada Mendagri mengenai pembentukan Kabupaten Sukangara, Cianjur Selatan.
"Setelah dikaji dibandingkan dengan Kabupaten Sukangara, lebih memungkinkan pemekaran Kabupaten Cianjur dengan pembentukan Kota Cipanas. Terutama menyangkut beberapa persyaratan yang telah dimiliki oleh Cipanas, " ungkap Rudy.
Dicontohkan beberapa persyaratan yang telah dimiliki oleh Cipanas. Selain jumlah penduduk dari lima wilayah kecamatan, seperti Kecamatan Cipanas, Pacet, Cugenang, Sukaresmi dan Cikalongkulon, juga telah memiliki rumah sakit tetap, pasar tetap.
Di samping pamekaran kabupaten, beberapa kecamatan di Kabupaten Cianjur yang dilihat dari segi jumlah penduduk banyak yang harus segera dimekarkan. Di antaranya, Kecamatan Karangtengah dan Kecamatan Cibeber. Sementara yang dimekarkan tahun ini adalah Kecamatan Bojongpicung dan Kecamatan Ciranjang.
"Pemekaran kabupaten dan pemekaran kecamatan itu harus dilihat sebagai upaya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat proses pembangunan dalam berbagai sektor Sehingga nantinya dapat terwujudnya cita-cita pembangunan untuk kesejahteraan rakyat," katanya. [*/R2]
Sumber :
http://www.inilah.com/berita/politik/2008/03/05/15657/cianjur-akan-dimekarkan/
05 Maret 2008
Sumber Gambar:
http://www.flickr.com/photos/achique/2783900422/
Sunday, April 19, 2009
Moratorium Pemekaran Wilayah
DAERAH otonomi baru hasil pemekaran tumbuh bak cendawan di musim hujan. Pemekaran wilayah dilakukan sesuka hati pemerintah dan DPR yang memegang hak legislasi tanpa ada grand design.
Hasrat memekarkan wilayah seperti air bah yang tak bisa dibendung itu terjadi setelah lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada 1999, ketika BJ Habibie menjabat presiden, tumbuh 45 daerah otonomi baru. Pada 2000 hingga 2004, yakni pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan Presiden Megawati Soekarnoputri, mekarlah 103 daerah otonomi baru.
Keinginan memekarkan wilayah itu dilanggengkan lagi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2005 hingga 2008, terdapat 57 daerah otonomi baru.
Padahal, ketika itu telah lahir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang antara lain bertujuan menahan hasrat pemekaran wilayah. Demikianlah fakta berbicara bahwa pemekaran wilayah yang tanpa grand desing itu terjadi di masa siapa pun yang menjadi presiden semenjak Pak Harto jatuh.
Adalah benar bahwa Presiden Yudhoyono kemudian mengumandangkan tawaran moratorium pemekaran. Itu terjadi pada pertengahan 2005. Tawaran itu kembali bergema ketika Presiden menyampaikan pidato kenegaraan di DPR setiap Agustus yang dilanjutkan pidato kenegaraan di DPD. Namun, tawaran moratorium atau penghentian sementara pemekaran wilayah dari Presiden itu bertepuk sebelah tangan.
Presiden memang tak bisa sendirian menghentikan pemekaran. Sebab, sesuai konstitusi, ada tiga pintu masuk pembahasan pemekaran wilayah, yaitu presiden, DPR, dan DPD. Ketika presiden menutup pintu pemekaran, justru DPR membuka pintu lebar-lebar. Presiden pun tak kuasa membendung air bah pemekaran wilayah lewat pintu DPR itu.
Itu bukan satu-satunya faktor yang bersumber dari konstitusi. Masih ada faktor lain yang menyebabkan presiden tidak berdaya menghadapi DPR. Meski Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, dalam hal legislasi Indonesia menganut sistem parlementer. Posisi presiden lemah. Apalagi konstitusi tidak memberi presiden hak veto atas undang-undang yang dihasilkan DPR. Konstitusi yang dihasilkan MPR yang mayoritas anggotanya adalah anggota DPR justru memberlakukan secara otomatis sebuah undang-undang yang tidak ditandatangani presiden dalam tempo 30 hari.
Oleh karena itu, seruan untuk menghentikan pemekaran wilayah haruslah juga menjadi komitmen DPR. Presiden dan DPR harus bersama-sama mengambil langkah radikal untuk melakukan moratorium.
Hasil evaluasi Departemen Keuangan harus dijadikan pedoman. Mayoritas (86%) sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi berasal dari dana perimbangan yang dialokasikan pemerintah pusat. Itu berarti, daerah otonomi baru hanya menggantungkan hidup kepada APBN. Daerah hasil pemekaran gagal secara substansial menjadi otonom. Ironis, sebaliknya berhasil menjadi pengemis abadi dana APBN.
Mestinya, jika semua pihak jujur pada diri sendiri, yang dilakukan pemerintah dan DPR saat ini adalah menggabungkan kembali daerah pemekaran yang gagal tersebut. Presiden dan DPR harus secara terbuka mengakui kesalahan dalam melakukan pemekaran wilayah selama ini. Pemekaran wilayah hanya menghasilkan peminta-minta anggaran kepada pusat dan membuat rakyat bertambah melarat.
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NjAwMjA=, 10 Februari 2009
Hasrat memekarkan wilayah seperti air bah yang tak bisa dibendung itu terjadi setelah lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada 1999, ketika BJ Habibie menjabat presiden, tumbuh 45 daerah otonomi baru. Pada 2000 hingga 2004, yakni pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan Presiden Megawati Soekarnoputri, mekarlah 103 daerah otonomi baru.
Keinginan memekarkan wilayah itu dilanggengkan lagi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2005 hingga 2008, terdapat 57 daerah otonomi baru.
Padahal, ketika itu telah lahir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang antara lain bertujuan menahan hasrat pemekaran wilayah. Demikianlah fakta berbicara bahwa pemekaran wilayah yang tanpa grand desing itu terjadi di masa siapa pun yang menjadi presiden semenjak Pak Harto jatuh.
Adalah benar bahwa Presiden Yudhoyono kemudian mengumandangkan tawaran moratorium pemekaran. Itu terjadi pada pertengahan 2005. Tawaran itu kembali bergema ketika Presiden menyampaikan pidato kenegaraan di DPR setiap Agustus yang dilanjutkan pidato kenegaraan di DPD. Namun, tawaran moratorium atau penghentian sementara pemekaran wilayah dari Presiden itu bertepuk sebelah tangan.
Presiden memang tak bisa sendirian menghentikan pemekaran. Sebab, sesuai konstitusi, ada tiga pintu masuk pembahasan pemekaran wilayah, yaitu presiden, DPR, dan DPD. Ketika presiden menutup pintu pemekaran, justru DPR membuka pintu lebar-lebar. Presiden pun tak kuasa membendung air bah pemekaran wilayah lewat pintu DPR itu.
Itu bukan satu-satunya faktor yang bersumber dari konstitusi. Masih ada faktor lain yang menyebabkan presiden tidak berdaya menghadapi DPR. Meski Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, dalam hal legislasi Indonesia menganut sistem parlementer. Posisi presiden lemah. Apalagi konstitusi tidak memberi presiden hak veto atas undang-undang yang dihasilkan DPR. Konstitusi yang dihasilkan MPR yang mayoritas anggotanya adalah anggota DPR justru memberlakukan secara otomatis sebuah undang-undang yang tidak ditandatangani presiden dalam tempo 30 hari.
Oleh karena itu, seruan untuk menghentikan pemekaran wilayah haruslah juga menjadi komitmen DPR. Presiden dan DPR harus bersama-sama mengambil langkah radikal untuk melakukan moratorium.
Hasil evaluasi Departemen Keuangan harus dijadikan pedoman. Mayoritas (86%) sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi berasal dari dana perimbangan yang dialokasikan pemerintah pusat. Itu berarti, daerah otonomi baru hanya menggantungkan hidup kepada APBN. Daerah hasil pemekaran gagal secara substansial menjadi otonom. Ironis, sebaliknya berhasil menjadi pengemis abadi dana APBN.
Mestinya, jika semua pihak jujur pada diri sendiri, yang dilakukan pemerintah dan DPR saat ini adalah menggabungkan kembali daerah pemekaran yang gagal tersebut. Presiden dan DPR harus secara terbuka mengakui kesalahan dalam melakukan pemekaran wilayah selama ini. Pemekaran wilayah hanya menghasilkan peminta-minta anggaran kepada pusat dan membuat rakyat bertambah melarat.
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NjAwMjA=, 10 Februari 2009
Indonesia Bakal Memiliki 59 Provinsi
Daftar Propinsi Propinsi Indonesia Dalam Konteks 59 Propinsi
Kawasan Sumatera
Nanggroe Aceh Darussalam
Leuser Raya
Singkil Raya
Sumatera Timur
Tapanuli Niha
Barumun Raya / Mandailing Barumun
Sumatera Barat
Rokan
Riau
Inderagiri
Kepulauan Riau
Jambi
Bengkulu
Sumatera Selatan
Musi Raya
Lahat
Kepulauan Bangka Belitung
Lampung
Kawasan Jawa
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Cirebon
Banyumas
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
DI Surakarta
Jawa Timur
Banyuwangi
Madura
Kawasan Nusa Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Tengah
Nusa Tenggara Timur
Kawasan Kalimantan
Kalimantan Barat
Kapuas Raya
Ketapang
Kotawaringin Raya
Kalimantan Tengah
Barito Raya
Kalimantan Utara
Kutai Raya
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kawasan Sulawesi
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Timur
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Luwu Raya
Sulawesi Tenggara
Kawasan Maluku
Maluku Utara
Maluku Tengah
Maluku Selatan
Kawasan Papua
Papua Barat
Papua Barat Daya
Papua Tengah
Papua Utara
Papua Selatan
Sumber :
http://zulfadli.files.wordpress.com/2008/01/indonesia-50-provinsi-gif.gif
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1186175
Ide Pembentukan Madura Jadi Propinsi
Oleh Masuki M Astro
29 Mei 2006
Setelah lama tenggelam dari pembicaraan, wacana menjadikan Pulau Madura, Jawa Timur sebagai provinsi kini muncul kembali yang dimotori oleh anggota DPRD Jatim dari daerah pemilihan X (Madura). Tokoh-tokoh itu adalah Kholilurrahman, Drs H Dja`far Shodiq, MSc (PKB), Hj RA Siti Fatimah Hafid, SH (PDIP), KH Abdus Salam Syah (PBB), Ir Mohammad Farid Al Fauzi, MM (PPP), Drs Achmad Rubaie (PAN) dan Drs KH RP Ahmad Mujahid Ansori (PPP).
Mereka juga menggalang dukungan ke sejumlah pimpinan daerah di Madura yang kemudian memunculkan "Deklarasi Sampang" beberapa waktu lalu. Dari empat kabupaten di Madura:
1. Bangkalan
2. Sampang
3. Pamekasan
4. Sumenep
Hanya Bupati Sumenep, KH Ramdlan Siraj yang tidak hadir pada penandatanganan deklarasi itu dan akhirnya diketahui dia malah menolak gagasan para tokoh itu.
Menurut KH Kholilurrahman, ide pembentukan Provinsi Madura sebetulnya telah muncul sejak 1963 bahkan untuk itu sudah dibentuk tim. Namun, gagasan itu tenggelam dan pernah muncul lagi tahun 1993 saat ada pertemuan tokoh Madura di Pesantren Al Amin, Prenduan, Sumenep.
Kini gagasan itu muncul kembali dan pada saat masa reses DPRD Jatim beberapa waktu, wakil rakyat dari Madura itu banyak menyosialisasikan ide tersebut. "Pencetus `Deklarasi Sampang` itu adalah ulama dan tokoh-tokoh, kami hanya sebagai wakil rakyat yang menjembatani," kata Kolillurahman.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan itu, para politisi itu akan melakukan studi banding ke Provinsi Gorontalo dan Banten, sebagai provinsi baru di Indonesia. Sebagai wacana, rencana tersebut ternyata banyak mendapatkan penolakan dengan berbagai alasan, meskipun secara emosional mungkin banyak juga yang mendukung.
Politisi PKB asal Madura, Prof Dr Mahfud MD mengemukakan, dirinya belum melihat "urgensi" dari munculnya kembali wacana menjadikan Pulau Garam itu sebagai provinsi.
"Kalau saya lebih sreg seperti sekarang saja. Karena saya belum melihat urgensinya. Cuma saya bukan berarti menolak wacana itu, silakan saja teman-teman menggulirkan gagasan seperti itu," katanya.
Menurut pakar hukum pertanahan dari UII Yogyakarta itu, untuk saat ini dirinya belum melihat adanya kebutuhan mendesak agar Madura melepaskan diri dari Provinsi Jatim.
"Karena itu kalau saya ditanya kapan Madura harus menjadi provinsi, saya jawab, tidak harus kapan. Dari sisi kepentingan masyarakat Madura, saya kira sekarang sudah cukup," kata alumnus Pendidikan Guru Agama (PGA) Pamekasan itu.
Ditanya apakah dengan menjadikan Madura sebagai propinsi bisa berdampak bagi kemakmuran masyarakat, ia mengemukakan, untuk hal itu masih ada harapan karena pengelolaan sumber-sumber ekonomi bisa lebih terkonsentrasi.
Menurut dia, sebetulnya dari sisi sumber daya alam, yakni kekayaan gas dan minyak bumi serta sumber daya manusia, Madura memenuhi syarat untuk menjadi provinsi.
"Sumber daya alam Madura sangat besar dan belum tergali, sementara sumber daya manusianya juga banyak yang mumpuni, tapi kini tesebar di mana-mana karena pengelolaan pemerintahan dan ekonomi di Madura masih belum leluasa," kata mantan Wakil Ketua Umum DPP PKB itu.
Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo mengatakan, Pulau Madura yang terdiri atas empat kabupaten, belum siap dimekarkan menjadi propinsi, karena selain masih harus menambah satu kabupaten, dari sisi ekonomi belum mencukupi.
Namun demikian, katanya, wacana yang berkembang agar Madura dijadikan provinsi adalah sesuatu yang bagus dan sah-sah saja, tapi masyarakat setempat juga harus memikirkan sisi pendapatan setiap kabupaten.
"Membentuk provinsi sangat gampang, asal sudah ada lima kabupaten. Tapi yang perlu diperhatikan adalah kesiapan ekonomi untuk menghidupi aparatur negera dan masyarakatnya," katanya saat berada di Sampang.
Ia mengaku heran, mengapa warga Madura ribut untuk membentuk provinsi sendiri, padahal pembangunan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) yang merupakan salah satu upaya agar pulau itu lebih makmur, belum selesai.
Imam berharap, warga Madura terutama para pemimpin di empat kabupaten (Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan), lebih memikirkan upaya meningkatkan usaha masyarakat, sehingga mereka yang ekonominya masih lemah, bisa lebih baik.
Meskipun pulau itu kini ternyata banyak ladang migas yang kini digarap oleh investor, namun ia memprediksi masih belum cukup menjamin kehidupan masyarakat di pulau itu jika kelak menjadi provinsi.
Ia mencontohkan, ladang migas di Pagerungan, Pulau Kangean, Sumenep yang awalnya diprediksi mampu berproduksi hingga 2012, tapi kenyataannya tahun ini sudah dinyatakan habis. Karena itu ia meminta empat bupati di Madura merapatkan barisan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing.
"Bila semuanya diperkirakan akan mampu menghidupi warga dan pemerintahan Madura, baru berencana pada pemekaran satu kabupaten lagi, sebelum menggarap Madura jadi provinsi, berpisah dari Jatim," ucapnya.
Anggota DPR RI asal Sumenep, Ilyasi Siraj menilai, jika tujuan pembentukan Provinsi Madura hanya untuk meningkatkan pelayanan publik, maka rencana itu kurang penting karena pelayanan publik yang bagus dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten.
Menurut dia, selain masih harus ada pemekaran satu kabupaten untuk memenuhi syarat menjadi propinsi, masalah kesejehteraan, rasa aman, dan penghidupan yang layak bagi masyarakat adalah hal yang sangat penting diperhatikan oleh semua pihak. Masyarakat di "Pulau Garam" yang kini terbagi menjadi empat kabupaten itu, diyakini tidak merasa penting Madura jadi propinsi, bila pelayanan dan penghidupan mereka tidak ada jaminan dari perubahan status tersebut. "Jadi, peningkatan taraf hidup itu yang sangat ditunggu, bukan Madura harus jadi provinsi," katanya.
Sementara Ketua LSM AKBAR Sumenep, Suroso ikut mendukung rencana itu. Ia terus menggugah warga Madura untuk mempersiapkan diri memproklamirkan wilayahnya terpisah dari Jawa Timur. "Kendati masih membutuhkan satu kabupaten atau kota, minimal masyarakatnya sudah mempersiapkan diri. (Antara)
Sumber :
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=145141
20 April 2009
Sumber Gambar:
http://perempuan.com/spaw/images/17062008_trav_karapan.jpg
Provinsi Banyumas Terus Digulirkan
PURWOKERTO-Anggota Komisi II DPR RI dari PDI-P, Agus Condro Prayitno menyatakan, usulan pemekaran Provinsi Banyumas atau Jateng bagian selatan-barat harus terus digulirkan di masyarakat dan pemerintah. Pasalnya, usulan tersebut harus mendapat respon luas dari berbagai kalangan.
''Saya setuju usulan pemekaran ini terus digulirkan. Ada banyak alasan yang menguatkan daerah ini bisa menjadi provinsi baru, pecahan Provinsi Jateng,'' kata Agus, saat melakukan kunjungan kerja di Banyumas dan Cilacap, kemarin.
Menurutnya, secara kultur, ekonomi, politik dan sosial, wilayah Banyumas layak menjadi provinsi tersendiri. Secara kultural, tujuh kabupaten yang ada di sekitar Banyumas juga memiliki kedekatan kultural. Yakni :
1. Cilacap
2. Purbalingga
3. Banjarnegara
4. Kebumen
5. Pemalang
6. Brebes
7. Slawi (Tegal)
8. Banyumas
''Secara ekonomi delapan kabupaten ini memiliki potensi ekonomi yang bagus. Purwokerto sebagai pusat ibukota juga tepat. Secara politik, sebagian besar masyarakatnya juga setuju,'' tandas wakli rakyat dari Dapel Cilacap-Banyumas ini.
Alasan lain yang menguatkan, kata dia, adanya provinsi baru bisa memperpendek jalur birokrasi, pelayanan ke publik akan semakin efektif dan efesien. Kemudian pembangunan akan semakin dekat dan sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Kalau semua dikendalikan dari Semarang, juga sangat jauh dan sering memboroskan anggaran.
Guliran wacana pemekaran Jateng bagian selatan-barat ini, kata dia, sebenarnya bukan wacana baru. Itu sudah bergulir sejak beberapa tahun lalu. ''Tahun 2006 lalu saat saya ketemu dengan teman-teman LSM di Banyumas dan sekitarnya, hal ini juga sudah menjadi pembicaraan. Makanya kalau sekarang bergulir lagi, ya harus didukung dan direspon positif,'' ujarnya.
Usulan Bawah
Saat usulan ini diteruskan ke pusat nanti, pihaknya juga berjanji akan membantu memperjuangkan. Terutama saat dibawa ke DPR. ''Yang penting dikuatkan dulu usulan dari bawah, dari semua kalangan,'' sarannya.
Dia menilai daerah Banyumas dan sekitarnya sebenarnya lebih siap dimekarkan menjadi provinsi tersendiri. Sebagai anggota DPRD yang membidangi pemerintahan dalam negeri, dia mengaku sudah berkali-kali mengunjungi dan melakukan survei ke sejumlah provinsi yang baru dimekarkan. Seperti Sulawesi Barat, Gorontalo dan Irian Jaya Barat.
''Dibandingkan Mamuju (ibukota Provinsi Sulawesi Barat), Kota Purwokerto lebih maju dan wilayahnya lebih luas. Yang penting sekarang adalah menguatkan keinginan dari bawah dan adanya kemauan politik bersama di tingkat pemerintah provinsi sekarang dan pemerintah kabupaten yang ada di wilayah Banyumas dan sekitarnya,'' katanya. (G22-55)
Sumber :
http://www.suaramerdeka.com/harian/0708/09/ban02.htm, 9 Agt 2007
Cirebon Berpotensi Jadi Provinsi Kaya
Provinsi Cirebon memang layak dibentuk, sebagai pemekaran dari wilayah Jawa Barat (Jabar) yang terdiri dari:
1. Kota Cireobon
2. Kabupaten Cirebon
3. Kabupaten Indramayu
4. Kabupaten Majalengka
5. Kabupaten Kuningan
(disingkat Ciayumajakuning).
Pasalnya, potensi pendapatan dari wilayah Ciayumajakuning sangat besar, tetapi uang yang dikembalikan dari pusat ke wilayah itu tidak signifikan, sehingga pembangunan dan kesejahteraan tersendat. Sedangkan kalau berpisah dari Jabar, Cirebon akan jadi provinsi kaya.
“Provinsi Cirebon itu merupakan wilayah potensial dan penyumbang penghasilan pajak yang sangat besar. Setiap tahun kontribusi pajak dari wilayah ini sebesar Rp 13 triliun tetapi yang balik ke daerah lagi tidak sampai Rp 1 triliun. Jadi, njomplang sekali. Makanya ini sudah siap dan layak untuk jadi provinsi Cirebon, provinsi yang kaya,” kata Wakil Ketua Komisi V DPR RI Yoseph Umarhadi (Fraksi PDI-P) kepada jakartapress.com, Sabtu (14/2).
Wakil rakyat asal daerah pemilihan Cirebon dan Indramayu ini, mengungkapkan bahwa infrastruktur di wilayah Ciayumajakuning yang akan dibentuk menjadi Provinsi Cirebon itu sudah banyak yang rusak, namun untuk perbaikannya atau pembangunannya tidak bisa segera ditangani daerah, karena harus mendapat persetujuan dan ditangani pusat. “Jadi, akan lebih cepat pembangunan infrastrukturnya kalau menjadi provinsi sendiri karena memiliki sumber daya alam yang besar,” tegas pimpinan Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur dan perhubungan ini.
Yoseph mengemukakan, potensi perikanan dan pertambangan di wilayah Ciayumajakuning juga besar sekali. Makanya, masyarakat setemnpat yakin kalau wilayah ini menjadi Provinsi Cirebon, maka akan cepat maju pembangunannya. Kalau dari pusat, dana pembangunan menetes sedikit-sedikit, sehingga ketinggalan terus. Padahal, wilayah ini penghasilan pajak yang sangat besar,” papar Wakil Ketua Komisi V DPR.
Ditambah lagi, produk pertanian dari wilayah ini adalah terbesar. “Kabupaten Indramayu adalah penghasil beras terbesar, penyumbang 16 persoe besar nasional. Ini sebagai penyumbang beras terbesar se-Indonesia. Itu pun sawahnya masih sebagai penadah hujan, yakni terganggu hujan. Kalau saja dibuatkan irigasi teknis, maka hasil produksi berasnya akan lebih besar lagi,” tandas Yoseph.
Menurutnya, semua komponen masyarakat yang ada juga mendukung berdirinya Provinsi Cirebon. Bahkan, termasuk Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dan Wagubnya Dede Yusuf yang terpilih sekarang ini, juga setuju dibentuknya Provinsi Cirebon. Persetujuannya ditegaskan saat pasangan cagub dan cawagub ini kampanye di pilkada Jabar lalu. “Sebelum jadi Gubernur Jabar, saat kampanye pilkada lalu, dia sudah tanda tangan menyatakan saetuju mendukung dibentuknya Provinsi Cirebon. Saya lihat sendiri saat itu,” ungkap Yoseph Umarhadi, anggota DPR RI asal dapil Cirebon.
Dikatakan, SDA maupun SDM di Ciayumajakuning sudah mencukupi dan memenuhi syarat untuk membentuk provinsi sendiri. Bahkan pendapatan daerah di Ciayumajakuning setiap tahunnya mencapai Rp 3,4 triliun. Pendapatan daerah yang cukup besar itu setiap tahunnya disetorkan ke Pemprov Jabar, dan yang dikembalikan ke Ciayumajakuning sekitar 30% saja.
Dengan membentuk provinsi sendiri, lanjutnya, maka pendapatan daerah yang mencapai Rp 3,4 triliun itu bisa digunakan untuk biaya pembangunan di kawasan Ciayumajakuning. Sehingga percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat bisa cepat terwujud. Selain itu, juga akan semakin mendekatkan pelayanan birokrasi kepada masyarakat, yakni ibukotanya lebih dekat di Cirbeon daripada di Bandung untuk Provinsi Jabar. Provinsi Cirebon yang sudah digagas oleh masyarakat sejak tahun 2000 itu memiliki pelabuhan besar di Cirebon yang potensial untuk dimanfaatkan.
Sementara Ketua Panitia Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) Nana Sudiana mengatakan, rencana deklarasi gagasan Provinsi Cirebon yang dijadwalkan 15 Februari diundur menjadi 8 Maret 2009. “Pengunduran ini terkait persiapan, termasuk pengamanan acara deklarasi itu,” kata Ketua P3C di Cirebon, Sabtu (14/2). Menurut dia, pendeklarasian itu diundur mengingat banyak warga Ciayumajakuning yang bermukim di luar daerah ingin menyampaikan aspirasinya.
Masyarakat Ciayumajakuning di luar daerah seperti di Palembang, Solo dan Bekasi ingin menyampaikan aspirasi mereka, dan hal itu memerlukan waktu lama. “Selain itu, kami juga memperhatikan moratorium pemerintah tentang pemekaran wilayah. Kami tidak ingin deklarasi tersebut menimbulkan tindakan anarkis,” jelasnya.
Untuk itu, semua aspirasi terkait gagasan tersebut oleh P3C akan disampaikan ke masing-masing DPRD kabupatan/kota. Dijadwalkan pada 17 Februari aspirasi disampaikan ke DPRD Kuningan, 19 Februari ke DPRD Kabupaten Cirebon, 24 Februari ke DPRD Kota Cirebon, dan 25 Februari 2009 ke DPRD Majalengka.
Sedangkan Indramayu sudah dilaksanakan beberapa waktu lalu dan sudah mendapatkan rekomendasi dari bupati serta DPRD setempat. Ia mengatakan, pada 4 Maret rekomendasi setiap daerah harus sudah masuk ke P3C, dan 8 Maret 2009 deklarasi se Wilayah III Cirebon diharapkan terlaksana. Pada awal April diharapkan sudah ada rekomendasi dari DPRD Jabar dan gubernur Jabar. “Insya Allah pada 2009 Cirebon sudah menjadi provinsi,” paparnya. (ARI)
Sumber :
http://www.jakartapress.com/news/id/4451/Cirebon-Berpotensi-Jadi-Provinsi-Kaya.jp, 14 Feb 2009
Sumber Gambar:
http://apakatajapra.files.wordpress.com/2008/12/keraton-kasepuhan.jpg
Pemekaran (Di Jawa Barat) Dikebut Pasca Pemilu
Bandung(Sindo) – Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan berjanji bersedia membahas dan lebih membuka diri terhadap aspirasi pemekaran kabupaten setelah rangkaian Pemilu 2009 tuntas.
”Sekarang jangan dulu bicara pemekaran. Kita bicarakan setelah pemilu. Saya sedang konsentrasi supaya pemilu lancar dan aman,” ujar Heryawan setelah membuka musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Jabar di Hotel Horison,Jalan Pelajar Pejuang ’45,Kota Bandung, kemarin. Dia juga mengingatkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini belum mencabut moratorium atau penundaan pemekaran daerah di Indonesia pascainsiden demo brutal massa yang menuntut pemekaran Provinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumut,Selasa (3/2) lalu.
Meski begitu, Heryawan kemarin sempat mengungkapkan bahwa proses pembentukan Kabupaten Bogor Barat pemekaran dari Kabupaten Bogor sudah memasuki tahap akhir di DPRD Jabar. ”Sejauh ini baru usulan tetang Bogor Barat yang secara resmi sudah sampai di tingkat provinsi. Mungkin akan menyusul Kabupaten Sukabumi Utara dan Kabupaten Pangandaran,”sebutnya.
Di tempat yang sama,Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf yang awal pekan ini mengangkat lagi wacana pemekaran 10 kabupaten di Jabar,mengatakan bahwa pembentukan daerah otonom baru adalah untuk mengimbangi sebaran dan jumlah penduduk di Jabar. ”Di Jabar, banyak daerah kaya yang mayoritas penduduknya miskin. Ini harus diubah,”katanya. Dede membantah usulannya ini adalah strategi untuk mengalihkan isu pembentukan Provinsi Cirebon,berpisah dari Jabar, yang pernah dideklarasikan di Cirebon dan Indramayu.
Provinsi Cirebon diarahkan untuk terdiri atas Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan,Kota/Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Indramayu. ”Bukan mengalihkan isu. Itu (keinginan pemekaran) kan digulirkan oleh P3C (Panitia Pembentukan Provinsi Cirebon).Semua pemda di sana belum sepakat,”jelasnya. Dia menegaskan, proses menuju pembentukan Provinsi Cirebon masih sangat panjang karena perlu kajian ilmiah yang mendalam lebih dulu.
Berbeda dengan pembentukan kabupaten baru yang di beberapa daerah sudah didukungkajian akademis yang menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Sementara itu, Bupati Cianjur Tjetjep Muchtar Soleh mengungkapkan, berdasarkan kajian Universitas Padjadjaran (Unpad) beberapa waktu lalu,Kota Cipanas dan Kabupaten Cianjur Selatan ternyata tidak layak menjadi daerah otonom baru yang terpisah dari Kabupaten Cianjur. Meski begitu,dia tidak keberatan bila aspirasi pemekaran kembali mencuat dan diperjuangkan lagi.
”Yang penting pemekaran bukan untuk perebutan lahan dan bagi-bagi kue.Tidak ada masalah bagi kami.Asalkan memang berorientasi pada kemajuan daerah dan mengikuti kajian,”terangnya. Diberitakan sebelumnya, Wagub Dede Yusuf menyatakan, setidaknya ada 10 daerah di Jabar yang sudah sangat mendesak untuk dimekarkan. Menurut dia, dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur,jumlah daerah otonom di Jabar yang hanya 26 kabupaten/ kota sangat kurang. Tidak ideal jika dirasiokan dengan jumlah penduduk yang mencapai sekitar 42 juta jiwa.
Provinsi Jateng yang jumlah penduduknya sekitar 38 juta jiwa sudah memiliki 36 kabupaten/kota sementara Jatim dengan 39 juta penduduk punya 38 kabupaten/ kota. Paling tidak, kata Dede, Jabar punya 36 kabupaten/ kota atau 10 daerah otonom baru. Sejumlah kabupaten di wilayah utara, tengah, dan selatan layak dimekarkan karena berpenduduk padat dan wilayahnya luas.
Sejauh ini, memang muncul wacana dan proses pemekaran wilayah setidaknya di 10 kabupaten di Jawa Barat, yakni :
1. Kabupaten Pangandaran (Kabupaten Ciamis)
2. Kabupaten Garut Selatan (Kabupaten Garut)
3. Kabupaten Cianjur Selatan (Kabupaten Cianjur)
4. Kota Cipanas (Kabupaten Cianjur)
5. Kabupaten Sukabumi Utara (Kabupaten Sukabumi)
6. Kabupaten Jampang Mandiri (Kabupaten Sukabumi)
7. Kabupaten Bogor Barat (Kabupaten Bogor)
8. Kabupaten Bekasi Utara (Kabupaten Bekasi)
9. Kabupaten Cikampek (Kabupaten Karawang)
10.Kabupaten Subang Utara (Kabupaten Subang)
Belakangan,muncul pula wacana pemekaran Kabupaten Bandung Timur dan dan Lembaga Pengelola Perkotaan di Kawasan Pendidikan Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Provokatif
Sementara itu, Sekretaris Komisi C DPRD Kabupaten Subang Moch Nur Wibowo menilai pernyataan Dede Yusuf sangat provokatif.”Bagaimana pun, nuansany sangat politis.Pembentukan daerah otonom baru tidak menjamin terjadinya efisiensi anggaran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Semua tergantung kebijaan kepala daerah,” tegas Nur Wibowo. Dia menyatakan,tidak setuju dengan wacana pembentukan Kabupaten Subang Utara yang sudah bergulir sejak 1990-an. (krisiandi sacawisastra/ annas nasrullah)
Sumber:
Harian Seputar Indonesia, Selasa 24 Maret 2009
Selamat Datang, Kabupaten Bogor Barat!
TEMPO Interaktif, Bogor: Warga Kabupaten Bogor menyambut gembira diterimanya usulan pembentukan Kabupaten Bogor Barat yang telah disetujui dalam rapat paripurna DPRD Jawa Barat yang ditargetkan mulai dilakukan pada 2010.
Kelak setelah usulam tersebut terealisasi, Kabupaten Bogor harus rela melepas 14 kecamatan yang potensi ekonomi daerahnya lumayan tinggi, termasuk kawasan Gunung Emas Pongkor.
Sejumlah kalangan berharap dengan pembentukan Kabupaten Bogor Barat akan terjadi peningkatan di bidang perekonomian dan kewenangan mengatur daerahnnya.
Rencananya Kabupaten Bogor Barat yang merupakan pemekaran Kabupaten Bogor meliputi 14 kecamatan, yakni :
1. Nanggung
2. Leuwiliang
3. Leuwisadeng
4. Pamijahan
5. Cibungbulang
6. Ciampea
7. Tenjolaya
8. Tenjo
9. Rumpin
10.Jasinga
11.Parungpanjang
12.Sukajaya
13.Cigudeg
14.Dramaga.
“Jika ini terjadi, kami akan senang membangun daerah sendiri. Selama ini Bogor Barat bukan menjadi prioritas utama Kabupaten Bogor dalam pembangunan,” ujar Arihta Surbekti, salah seorang tokoh pemuda Kecamatan Cibungbulang, saat ditemui Tempo, Rabu (13/8)
Menurut Arihta yang sejak 2000 aktif dalam forum masyarakat pendukung pembentukan Kabupaten Bogor Barat, keinginan dan perjuangan masyarakat Bogor Barat tercapai, sehingga layak disambut suka cita.
Dia menyebutkan potensi yang ada di wilayah ini sangat besar, antara lain Gunung Mas Pongkor yang dikelola PT Antam, pemanfaatan energi panas bumi yang dikelola PT Chevron Geothermal Salak, dan bahan galian C, batu galena -- bahan baku timah.
Ketua Pansus DPRD Kabupaten Bogor untuk pemekaran wilayah Bogor Barat, Dadeng Wahyudi juga menyambut gembira keputusan ini. “Selama ini kontribusi wilayah ini sangat besar kepada Pemkab Bogor,” jelasnya.
Setelah disetujuinya pembentukan kabupaten baru ini, diharapkan semua urusan pelayanan publik sampai administrasi pemerintahan bisa dilayani dengan baik dan cepat. Selama ini untuk mendapatkan pelayanan publik semacam itu terlebih dulu harus menempuh jarak sekitar 50 kilometer, dari daerah Bogor Barat ke ibukota Bogor di Cibinong.
Mengenai usulan ibukota kabupaten, dari pelbagai daerah yang diajukan -- seperti Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Darmaga, Kecamatan Cigudeg, dan Kecamatan Leuwisadeng -- namun setelah dikaji ternyata daerah yang paling tepat adalah wilayah Cigudeg. Alasannya secara geografis dinilai lebih aman dari berbagai bencana alam seperti gempa bumi, longsor dan banjir.
Sumber :
DEFFAN PURNAMA
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2008/08/13/brk,20080813-130727,id.html, 13 Agustus 2008
----------------------------------------------------------------------
Peta Wilayah Pemekaran Bogor Barat Rampung
Bogor, Pelita
Peryataan dukungan Gubernur Jawa Barat Dany Setiawan
Setiawan yang disampaikan dalam sebuah acara di Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor beberapa waktu lalu, menjadi
penyemangat bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mempercepat
pemekaran, pembentukan Kabupaten Bogor Barat (Bobar).
Bahkan peta wilayah untuk Kabupaten Bogor Barat itu kini
telah rampung.Tinggal nunggu tandatangan ketua dewan, ujar
Asisten Pemerintahan Kabupaten Bogor Dandan Mulyadi, Senin pekan
lalu.
Kendati demikian, Dandan meminta warga untuk lebih bersabar.
Sebab, masalah ini tak hanya terkait dengan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dan DPRD Jabar, melainkan hingga tingkat pemerintah
pusat dan DPR RI.
Selain itu, tahapan untuk pembentukan kabupaten baru ini
masih panjang. Satu di antaranya adalah penetapan ibukota Bobar.
Saat ini, tim dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Institut
Teknologi Bandung masih membuat kajian di antara empat daerah
yang bakal dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Bobar. Yakni,
Jasinga, Cigudeg, Leuwisadeng, dan Dramaga.
Selain titik pusat pemerintahan, tim pembentukan Bobar juga
belum menentukan besaran dana kontribusi dari daerah induk, yakni
Pemkab Bogor dan Pemprov Jabar. Dana kontribusi untuk kabupaten
bungsu ini diperkirakan sekitar Rp 20 miliar per tahun..
Berdasarkan hasil kesepakatan, dana ini akan diberikan untuk
Bogor Barat selama tiga tahun pertama. Selain itu juga dana
bantuan untuk pemilihan kepala daerah.
Lebih lanjut ia menjelaskan jika berkaca pada Kabupaten
Bandung Barat (KBB), pembentukan Bobar memang tak memakan waktu
sebentar. Jika dihitung sejak isu ini mulai digulirkan, yakni
pada 1998, KBB butuh waktu sembilan tahun sebelum diresmikan
menjadi kabupaten ke 26 di Jawa Barat.
Seperti Bobar, KBB juga memiliki sejumlah permasalahan yang
nyaris sama. Awalnya, banyak pihak yang sinis terhadap
pembentukan KBB. Sebab, di dalamnya terlibat tokoh masyarakat dan
aktivis partai politik sehingga memunculkan dugaan bahwa
pemekaran wilayah adalah untuk tujuan kekuasaan
Belum diserahkan
Sementara itu Ketua Pansus DPRD Kabupaten Bogor (Bobar) untuk
pemekaran wilayah Bogor barat (Bobar) Dadeng Wahyudi
mempertanyakan hasil kajian penetapan ibukota Bobar oleh Tim LPM
Institut Teknologi Bandung (ITB) yang hingga kini belum juga
diserahkan kepada Pansus.
Padahal kata Dadeng dalam pertemuan dengan tim pemerintah
daerah, Pansus dan Komite Percepatan Pemekaran Bogor Barat
(KPPBB) diruang setda Kabupaten Bogor Januari lalu, Tim LPM ITB
menjanjikan hasil kajian penetapan wilayah ibukota kabupaten
Bogor barat sudah diserahkan awal Februari 2008 ini.
Tapi sampai sekarang hasil kajian itu belum kami terima,
kami minta hasil kajian tersebut segera di serahkan. Agar ini
juga tidak menimbulkan tanda tanya di masyarakat, katanya.
Di lain pihak, ia juga mengkritik peryataan Bupati Bogor,
Agus Utara Effendi di media beberapa waktu lalu, yang mengatakan
dirinya pesimis dengan pemekaran Bobar tersebut.
Kalau bupati pesimis lantaran di bogor barat tidak ada
restoran atau hotel ini kan lucu. Sebab pak Agus ini kan sudah
menjabat sebagai bupati Bogor selama 10 tahun, jadi kalau di
bogor barat sampai sekarang belum ada restoran atau sarana
penunjang lainya, itu justru yang harus dipertanyakan , bagaimana
perhatian pemerintah daerah yang dipimpinya kepada masyarakat di
Bogor barat, ungkapnya.
Keinginan warga Bogor barat untuk memisahkan diri dari
Kabupaten Bogor, kata ia tentu didukung alasan-alasan yang cukup
mendasar. Selama ini pembangunan di wilayah Bogor barat ini jauh
tertinggal dibandingkan daerah lainya. Padahal kontribusi dari
Bogor barat terhadap pemerintah daerah cukup besar. Yang kedua
adalah rentang kendali pelayanan yang sangat jauh dan sulit
ditempuh oleh masyarakat Bobar. Dan yang ketiga adalah tingkat
kesejahteraan masyarakat sulit meningkat jika tetap bergabung
dengan Kabupaten Bogor, tegasnya.
Ia meminta agar elit dijajaran pemerintah Kabupaten Bogor
tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang justru dapat memicu
reaksi dari masyarakat Bogor barat, yang kini tengah bersemangat
menunggu waktu pemekaran itu tiba.
Kalau merasa pesimis kenapa baru sekarang itu dikatakan,
dan kenapa pemerintah daerah juga menyetujui pemekaran bahkan
mengusulkan untuk disetujui dewan. Ini kan berarti inkonsisten
namanya, imbuhnya. (don/ck-58)
Sumber :
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=44384, 20 April 2009
Kelak setelah usulam tersebut terealisasi, Kabupaten Bogor harus rela melepas 14 kecamatan yang potensi ekonomi daerahnya lumayan tinggi, termasuk kawasan Gunung Emas Pongkor.
Sejumlah kalangan berharap dengan pembentukan Kabupaten Bogor Barat akan terjadi peningkatan di bidang perekonomian dan kewenangan mengatur daerahnnya.
Rencananya Kabupaten Bogor Barat yang merupakan pemekaran Kabupaten Bogor meliputi 14 kecamatan, yakni :
1. Nanggung
2. Leuwiliang
3. Leuwisadeng
4. Pamijahan
5. Cibungbulang
6. Ciampea
7. Tenjolaya
8. Tenjo
9. Rumpin
10.Jasinga
11.Parungpanjang
12.Sukajaya
13.Cigudeg
14.Dramaga.
“Jika ini terjadi, kami akan senang membangun daerah sendiri. Selama ini Bogor Barat bukan menjadi prioritas utama Kabupaten Bogor dalam pembangunan,” ujar Arihta Surbekti, salah seorang tokoh pemuda Kecamatan Cibungbulang, saat ditemui Tempo, Rabu (13/8)
Menurut Arihta yang sejak 2000 aktif dalam forum masyarakat pendukung pembentukan Kabupaten Bogor Barat, keinginan dan perjuangan masyarakat Bogor Barat tercapai, sehingga layak disambut suka cita.
Dia menyebutkan potensi yang ada di wilayah ini sangat besar, antara lain Gunung Mas Pongkor yang dikelola PT Antam, pemanfaatan energi panas bumi yang dikelola PT Chevron Geothermal Salak, dan bahan galian C, batu galena -- bahan baku timah.
Ketua Pansus DPRD Kabupaten Bogor untuk pemekaran wilayah Bogor Barat, Dadeng Wahyudi juga menyambut gembira keputusan ini. “Selama ini kontribusi wilayah ini sangat besar kepada Pemkab Bogor,” jelasnya.
Setelah disetujuinya pembentukan kabupaten baru ini, diharapkan semua urusan pelayanan publik sampai administrasi pemerintahan bisa dilayani dengan baik dan cepat. Selama ini untuk mendapatkan pelayanan publik semacam itu terlebih dulu harus menempuh jarak sekitar 50 kilometer, dari daerah Bogor Barat ke ibukota Bogor di Cibinong.
Mengenai usulan ibukota kabupaten, dari pelbagai daerah yang diajukan -- seperti Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Darmaga, Kecamatan Cigudeg, dan Kecamatan Leuwisadeng -- namun setelah dikaji ternyata daerah yang paling tepat adalah wilayah Cigudeg. Alasannya secara geografis dinilai lebih aman dari berbagai bencana alam seperti gempa bumi, longsor dan banjir.
Sumber :
DEFFAN PURNAMA
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2008/08/13/brk,20080813-130727,id.html, 13 Agustus 2008
----------------------------------------------------------------------
Peta Wilayah Pemekaran Bogor Barat Rampung
Bogor, Pelita
Peryataan dukungan Gubernur Jawa Barat Dany Setiawan
Setiawan yang disampaikan dalam sebuah acara di Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor beberapa waktu lalu, menjadi
penyemangat bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mempercepat
pemekaran, pembentukan Kabupaten Bogor Barat (Bobar).
Bahkan peta wilayah untuk Kabupaten Bogor Barat itu kini
telah rampung.Tinggal nunggu tandatangan ketua dewan, ujar
Asisten Pemerintahan Kabupaten Bogor Dandan Mulyadi, Senin pekan
lalu.
Kendati demikian, Dandan meminta warga untuk lebih bersabar.
Sebab, masalah ini tak hanya terkait dengan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dan DPRD Jabar, melainkan hingga tingkat pemerintah
pusat dan DPR RI.
Selain itu, tahapan untuk pembentukan kabupaten baru ini
masih panjang. Satu di antaranya adalah penetapan ibukota Bobar.
Saat ini, tim dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Institut
Teknologi Bandung masih membuat kajian di antara empat daerah
yang bakal dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Bobar. Yakni,
Jasinga, Cigudeg, Leuwisadeng, dan Dramaga.
Selain titik pusat pemerintahan, tim pembentukan Bobar juga
belum menentukan besaran dana kontribusi dari daerah induk, yakni
Pemkab Bogor dan Pemprov Jabar. Dana kontribusi untuk kabupaten
bungsu ini diperkirakan sekitar Rp 20 miliar per tahun..
Berdasarkan hasil kesepakatan, dana ini akan diberikan untuk
Bogor Barat selama tiga tahun pertama. Selain itu juga dana
bantuan untuk pemilihan kepala daerah.
Lebih lanjut ia menjelaskan jika berkaca pada Kabupaten
Bandung Barat (KBB), pembentukan Bobar memang tak memakan waktu
sebentar. Jika dihitung sejak isu ini mulai digulirkan, yakni
pada 1998, KBB butuh waktu sembilan tahun sebelum diresmikan
menjadi kabupaten ke 26 di Jawa Barat.
Seperti Bobar, KBB juga memiliki sejumlah permasalahan yang
nyaris sama. Awalnya, banyak pihak yang sinis terhadap
pembentukan KBB. Sebab, di dalamnya terlibat tokoh masyarakat dan
aktivis partai politik sehingga memunculkan dugaan bahwa
pemekaran wilayah adalah untuk tujuan kekuasaan
Belum diserahkan
Sementara itu Ketua Pansus DPRD Kabupaten Bogor (Bobar) untuk
pemekaran wilayah Bogor barat (Bobar) Dadeng Wahyudi
mempertanyakan hasil kajian penetapan ibukota Bobar oleh Tim LPM
Institut Teknologi Bandung (ITB) yang hingga kini belum juga
diserahkan kepada Pansus.
Padahal kata Dadeng dalam pertemuan dengan tim pemerintah
daerah, Pansus dan Komite Percepatan Pemekaran Bogor Barat
(KPPBB) diruang setda Kabupaten Bogor Januari lalu, Tim LPM ITB
menjanjikan hasil kajian penetapan wilayah ibukota kabupaten
Bogor barat sudah diserahkan awal Februari 2008 ini.
Tapi sampai sekarang hasil kajian itu belum kami terima,
kami minta hasil kajian tersebut segera di serahkan. Agar ini
juga tidak menimbulkan tanda tanya di masyarakat, katanya.
Di lain pihak, ia juga mengkritik peryataan Bupati Bogor,
Agus Utara Effendi di media beberapa waktu lalu, yang mengatakan
dirinya pesimis dengan pemekaran Bobar tersebut.
Kalau bupati pesimis lantaran di bogor barat tidak ada
restoran atau hotel ini kan lucu. Sebab pak Agus ini kan sudah
menjabat sebagai bupati Bogor selama 10 tahun, jadi kalau di
bogor barat sampai sekarang belum ada restoran atau sarana
penunjang lainya, itu justru yang harus dipertanyakan , bagaimana
perhatian pemerintah daerah yang dipimpinya kepada masyarakat di
Bogor barat, ungkapnya.
Keinginan warga Bogor barat untuk memisahkan diri dari
Kabupaten Bogor, kata ia tentu didukung alasan-alasan yang cukup
mendasar. Selama ini pembangunan di wilayah Bogor barat ini jauh
tertinggal dibandingkan daerah lainya. Padahal kontribusi dari
Bogor barat terhadap pemerintah daerah cukup besar. Yang kedua
adalah rentang kendali pelayanan yang sangat jauh dan sulit
ditempuh oleh masyarakat Bobar. Dan yang ketiga adalah tingkat
kesejahteraan masyarakat sulit meningkat jika tetap bergabung
dengan Kabupaten Bogor, tegasnya.
Ia meminta agar elit dijajaran pemerintah Kabupaten Bogor
tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang justru dapat memicu
reaksi dari masyarakat Bogor barat, yang kini tengah bersemangat
menunggu waktu pemekaran itu tiba.
Kalau merasa pesimis kenapa baru sekarang itu dikatakan,
dan kenapa pemerintah daerah juga menyetujui pemekaran bahkan
mengusulkan untuk disetujui dewan. Ini kan berarti inkonsisten
namanya, imbuhnya. (don/ck-58)
Sumber :
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=44384, 20 April 2009
Pembentukan Kabupaten Pangandarab
HERYAWAN : PANGANDARAN LAYAK DIMEKARKAN
Ciamis (SI) – Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menilai Pangandaran sudah layak untuk dimekarkan dari Kabupaten Ciamis.
Meski begitu,pengajuan pemekaran calon Kabupaten Pangandaran ini masih ada di tingkat pemerintah provinsi. Pembahasannya masih belum rampung dan kemungkinan besar setelah pemilu,pengajuan pemekaran Ciamis Selatan atau Kabupaten Pangandaran akan dibahas di tingkat DPRD Jabar untuk diajukan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
“Pada prinsipnya sudah tidak ada persoalan dengan tahapan pemekaran. Pemekaran di Jabar sudah sangat layak,termasuk pemekaran Kabupaten Ciamis Selatan,“ ujar Heryawan seusai melantik Bupati dan Wakil Bupati Ciamis di Gedung DPRD Ciamis kemarin. Dia menegaskan, untuk persyaratan jumlah penduduk di Kabupaten Ciamis sudah cukup memenuhi yakni setara dengan satu provinsi di daerah lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Bisa dibayangkan jumlah penduduk di Gorontalo dibandingkan kabupaten/ kota di Jabar, sangat jauh perbandingannya. Apalagi seperti di Ciamis dan Bogor.Di Bogor saja jumlah penduduk mencapai 4,6 juta jiwa.Ini luar biasa,“ kata Heryawan. Untuk itu, lanjut dia, dengan pemekaran wilayah, percepatan pertumbuhan daerah diharapkan bisa lebih cepat.Kesuksesan di Gorontalo salah satu faktornya adalah luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif kecil, sehingga otonomi daerah dan pelayanan masyarakat bisa langsung dirasakan dengan cepat.
Berbagai potensi pun dapat dikembangkan dengan optimal. Anggota Komisi II DPR RI Eka Santosa menerangkan, pihaknya akan terus mengawal proses pemekaran calon Kabupaten Ciamis Selatan. Selain proses formal,Komisi II DPR RI terus melakukan upaya agar pemekaran ini bisa dilakukan dengan cepat.“Wilayah Ciamis Selatan sudah sangat layak untuk dimekarkan. Untuk itu,kami di DPR RI bersama anggota asal pemilihan Ciamis,Kuningan,dan Kota Banjar lainnya akan mengawal terus proses pemekaran ini,“ papar Eka.
Dia menjelaskan, upaya yang sedang dilakukan adalah mengumpulkan tanda tangan sejumlah anggota DPR RI untuk mengajukan hak inisiatif bagi percepatan proses pemekaran calon Kabupaten Pangandaran. “Sekalipun tidak ada target waktu,diharapkan maksimal pada 2010 ini pemekaran Pangandaran sudah berlangsung,“ tuturnya. (ujang marmuksinudin)
Sumber:
Harian Seputar Indonesia, Selasa 07 April 2009
----------------------------------------------------------------------
KABUPATEN PANGANDARAN TERBENTUK 2011
Proses pemekaran Ciamis selatan menjadi Kabupaten Pangandaran terus berlangsung, menyusul hasil kajian ilmiah tim Universitas Padjadjaran (Unpad) yang merekomendasikan adanya pemekaran tersebut, Pemerintah Kabupaten Ciamis akhirnya juga merekomendasikan pembentukan daerah baru tersebut. Kabupaten Pangandaran diperkirakan akan terbentuk tahun 2011.
Hal itu berkenaan dengan diserahkannya surat Bupati Ciamis Dedi Sobandi kepada DPRD yang merekomendasikan pembahasan lebih lanjut mengenai pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru Ciamis selatan.
Berkenaan dengan rekomendasi tersebut, Kabag Humas Setda Ciamis Endang Sutrisna mengatakan bahwa Bupati Ciamis yang baru ini juga memiliki kewenangan untuk membuat rekomendasi. Alasanhya karena persoalan tersebut sudah cukup lama menjadi pokok bahasan dan antara eksekutif maupun legislatif, pada prinsipnya sudah menyetujui.
"Jadi tidak perlu lagi ada rekomendasi dari Mendagri. Persoalan itu kan sudah cukup lama, selain itu juga tidak bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya. Sesuai ketentuan, yang dilarang itu apabila bertentangan dengan kebijakan yang ada. kalau ini kan tidak, justru untuk memperlancar kebijakan sebelumnya," tuturnya, Jumat (9/1).
Penegasan itu berkenaan dengan adanya keraguan dari sejumlah elemen yang menilai bahwa Bupati Ciamis Dedi Sobandi yang masa jabatannya akan berakhir pada bulan April 2009, tidak berhak mengeluarkan rekomendasi. Dengan demikian yang berhak mengeluarkan rekomendasi adalah Bupati mendatang.
Sementara itu Ketua DPRD Ciamis Jeje Wiradinata mengungkapkan telah menerima surat rekomendasi dari Bupati Ciamis Dedi Sobandi mengenai pemekaran Ciamis selatan. Disebutkan, pihaknya segera membentuk panitia khusus (Pansus) yang menangani persoalan tersebut.
"Kita sudah menerima surat dari Bupati Ciamis yang merekomendasikan pemekaran Ciamis selatan. Suratnya sudah kita terima tadi. Dewan juga segera membentuk pansus yang menangani berbagai persoalan terkait pemekaran Ciamis Selatan," tuturnya.
Apabila seluruh tahapan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme dan tanpa ada halangan, lanjut Jeje, maka pemisahan Ciamis selatan akan tuntas pada tahun 2011. "Dengan demikian pada tahun tersebut juga otomatis terbentuk kabupaten baru, yakni Kabupaten Pangandaran," kata Jeje.
Sumber asli:
http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=52300
-------------------------------------------------------------------------
ANGGOTA DPR RI BANTU PERCEPAT PEMEKARAN PANGANDARAN
CIAMIS (SI) – Sejumlah anggota DPR asal Daerah Pemilihan (Dapil) Kabupaten Ciamis melakukan upaya percepatan proses pemekaran calon Kabupaten Pangandaran.
Hal itu diungkapkan Ketua Presidium Pemekaran Wilayah Ciamis Selatan Supratman.Menurut dia, saat ini sejumlah anggota DPR asal Dapil Kabupaten Ciamis dan sekitarnya sedang mengumpulkan tanda tangan persetujuan pemekaran calon Kabupaten Pangandaran. ” Jika sedikitnya sudah terdapat 13 anggota DPR RI yang menandatangani, mereka akan menggunakan hak inisiatif anggota untuk mengajukan segera dilakukannya proses pemekaran calon Kabupaten Pangandaran kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri),” ujarnya kemarin.
Supratman menjelaskan, upaya yang dilakukan sejumlah anggota legislatif pusat tersebut juga mendapat dukungan dari Komisi II DPR. ” Kami mendapat bocoran, kalau upaya yang dilakukan sejumlah anggota DPR asal Kabupaten Ciamis berhasil,proses pemekaran Kabupaten Pangandaran tidak akan mendapat hambatan lagi di tingkat pusat, bahkan di provinsi (Jabar). Sekarang, usulan pemekaran daerah yang ditujukan kepada pemerintah pusat sangat banyak. Tapi bila hak legislasi berhasil, Ciamis Selatan akan menjadi prioritas agar lebih cepat diproses,” tandasnya.
Tahapan proses pemekaran calon Kabupaten Pangandaran secara formal sedang memasuki tahapan administrasi.Dengan kata lain,masih menunggu syarat pengesahan oleh Gubernur Jabar dan DPRD Jabar.” Jika hak inisiatif anggota DPR di tingkat pusat sudah berhasil, kemudian tahapan formal di tingkat provinsi tidak ada persoalan lagi, kami optimistis proses pemekaran calon Kabupaten Pangandaran bisa terealisasi pada 2010 mendatang,” ucap Supratman.
Menanggapi hal ini,Wakil Ketua Komisi II DPR Eka Santosa membenarkan tentang pengumpulan tanda tangan sejumlah anggota legislatif pusat yang dimotori anggota DPR asal Dapil Kabupaten Ciamis dan sekitarnya.Inisiatif ini bermula dari pertemuan antara 150 tokoh masyarakat Ciamis Selatan dan Komisi II DPR.”Selain menempuh tahapan formal,kami di DPR selaku perwakilan masyarakat asal Ciamis Selatan juga akan mengajukan hak inisiatif kepada Badan Legislasi untuk percepatan pemekaran calon Kabupaten Pangandaran agar masuk pada 2009,” katanya.
Eka menjelaskan,proses pemekaran Ciamis Selatan tidak mempunyai batasan waktu.Tetapi, dia bersama sejumlah fraksi di DPR akan memasukkan agenda pemekaran calon Kabupaten Pangandaran ke dalam percepatan pemekaran, termasuk delapan daerah lain yang sudah masuk dalam pembahasan Depdagri. ”Proses biasa tetap dilakukan, tapi kami di DPR juga punya kewajiban untuk melakukan upaya ini.
Sebab, hampir semua wakil fraksi yang hadir dalam pertemuan antara Komisi II DPR dan tokoh Ciamis Selatan mendukung langkah pemekaran Kabupaten Pangandaran,” ujarnya. Sekadar informasi,terdapat sepuluh kecamatan yang masuk dalam rencana pemekaran Kabupaten Pangandaran.
Kesepuluh kecamatan itu ialah :
1. Pangandaran
2. Cijulang
3. Cigugur
4. Parigi
5. Kalipucang
6. Padaherang
7. Langkaplancar
8. Cimerak
9. Sidamulih
10.Mangunjaya.
Sebelumnya pemkab dan DPRD Kabupaten Ciamis telah memberikan dukungan secara formal bahwa 10 kecamatan di wilayah Ciamis Selatan layak untuk dimekarkan sebagaimana hasil kajian pemkab yang dikerjakan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
Sumber :
Seputra Indonesia, 26 Maret 2009
Sumber Gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY2-JTbj2pJuAxqOAbHakH1nrg0chXFgM_G_7D2Mf5tj7it9RJEkGi1CF4xnVRNirDSnCqkA4-vsIEdPykIacXy8Hq8COSA3d-44Ex9B-2HnLs2VPUBZKO_CWZ-LA40RglnaKvMTY4BAXB/s320/Kabupaten+Pangandarn.jpg
http://www.java-travel.com/images/pangandaran1.jpg
Subscribe to:
Posts (Atom)