Saturday, August 25, 2012

Kabupaten Bekasi: Pemekaran atau Penggabungan ?

Oleh : Roni Pradana

Pemekaran Kabupaten Bekasi tampaknya semakin mendekati kenyataan. Beberapa waktu lalu (30/5) Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Calon Kabupaten Bekasi Utara telah menyampaikan aspirasinya ke komite I DPD RI, sebagai salah satu pintu masuk pemekaran daerah selain Kementrian Dalam Negeri dan DPR RI. Namun dalam catatan penulis ada beberapa hal yang mungkin perlu untuk kita lihat lebih jauh.

Info Kabupaten Bekasi Utara


Sedikitnya ada beberapa alasan daerah ingin memekarkan diri dari daerah induk. Seperti memperpendek rentang kendali pemerintahan, percepatan dan pemerataan pembangunan daerah, sampai isu suku, agama dan ras. Menurut penulis adanya jarak kendali dalam pemerintahan disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena luas wilayah suatu daerah yang begitu besar dan potensi daerahnya yang memang banyak. Sehingga ketika masyarakat membutuhkan pelayanan publik harus menempuh jarak yang sangat jauh dan menghabiskan biaya yang sangat besar.

Kedua, karena infrastruktur di suatu daerah sangat buruk. Akibatnya, walaupun daerah itu tidak luas tapi jarak tempuh dari dan ke satu wilayah bisa menjadi sangat jauh. Diperparah lagi dengan minimnya angkutan untuk mobilitas masyarakat.

Untuk kasus kabupaten Bekasi, penulis melihatnya lebih pada sebab kedua. Masyarakat yang berada di wilayah paling utara bekasi seperti di Kecamatan Muara Gembong, konon harus menghabiskan waktu 2-3 hari untuk mengurus keperluan ke ibukota kabupaten yang terletak di Cikarang. Sebab, jeleknya infrastruktur yang buruk mengharuskan masyarakat yang mau ke Cikarang harus lewat Jakarta Utara. Dan ketika sampai di Cikarang, kantor pemerintahan sudah pada tutup. Dan baru bisa menyelesaikan urusan mereka keesokan harinya.

Sebenarnya untuk sebab pertama bisa jadi solusi terbaiknya adalah pemekaran, walaupun mesti dilihat lagi berbagai ukuran lainnya. Namun untuk sebab kedua, tentu saja pemekaran bukan jawaban yang tepat. Perbaikan infrastruktur dan pemenuhan angkutan adalah jawabannya. Tapi rentang kendali yang cukup jauh di Kabupaten Bekasi dikarenakan pula oleh pembangunan pusat pemerintahan yang terkonsentrasi di daerah Deltamas yang notabene adalah kawasan selatan bekasi yang sudah padat dengan perumahan elit dan kawasan insdutri. Masyarakat di wilayah Bekasi Utara pun semakin terpinggirkan dari pusat pemerintahannya.

Satu waktu ketika penulis melihat lapangan sepak bola di Pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi saya bisikkan kepada teman: “Kayaknya gak ada ya yang main sepak bola disini, kecuali jin gundul nyasar”. Kalau bisa disayangkan, mungkin rentang kendali akan dapat disiasati dengan membangun pusat pemerintahan di wilayah tengah seperti di Sukatani, Tambelang atau Cibitung.

Untuk percepatan dan pemerataan pembangunan daerah, saya melihat bahwa perbedaan pembangunan antara bekasi bagian selatan dan bekasi utara memang terlalu mencolok. Banyaknya kawasan industri dibagian selatan mempercepat pembangunan infrastruktur dan secara signifikan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, bekasi bagian utara masih mengandalkan pertanian sebagai ujung tombak perekonomiannya. Kalau ini dijadikan sebagai dasar isu pemekaran, sebenarnya juga masih sedikit tidak relevan. Sebab harus diingat bahwa pemekaran adalah pemecahan pemerintahan. Padahal dalam kasus peningkatan perekonomian daerah selatan, peran swasta lebih dominan. Dimana pusat industri dibangun oleh pengusaha dan tentu saja letaknya lebih ditentukan oleh pertimbangan ekonomi, untung dan rugi. Aksesibiltas terhadap jalan tol yang akan memudahkan pengangkutan produknya. Bukan pada pertimbangan utara dan selatan. Sehingga ketika ada kabar ingin dibangunnya Pelabuhan, bandara Kargo dan tol lingkar luar di Wilayah Bekasi Utara, bermunculan pula kabar akan dibangunnya wilayah-wilayah industri di wilayah tersebut.

Untuk alasan SARA, pemekaran daerah bisa menjadi ancaman tersendiri bagi keanekaragaman bangsa Indonesia. Bayangkan jika masing-masing suku mendirikan satu daerah pemerintahan sendiri. Atau satu daerah memisahkan diri dengan alasan perbedaan keyakinan. Untuk alasan yang satu ini, tampaknya harus kita hindari bersama untuk menjaga NKRI dan Kebhinekaan bangsa kita.

Selain alasan pemekaran Kabupaten, ada beberapa hal lain yang dapat dikritisi. Diantaranya soal logika pemekaran itu sendiri. Jika pembentukan daerah baru mensyaratkan botom up (usul dari masyarakat kemudian dibawa ke pembuat kebijkan), pelaksanaan otonomi itu sendiri sebaliknya: up to down. Dimana ketika sebuah daerah otonom baru terbentuk, maka yang pertama dipenuhi adalah unsur-unsur pemerintahan: mulai dari legislatif, judikatif dan eksekutif. Yang dibangun pertama adalah kantor Pemda dan seluruh unsur birokrasinya. Mulai dari staf, Pejabat, Kepala Dinas dan Kepala Daerah-nya. Yang dibangun kemudian adalah kantor DPRD dan kemudian pemilihan anggota-anggota DPRD-nya, baju dan mobil dinasnya. Yang dipenuhi berikutnya adalah bangunan Pengadilan, staf serta hakim-hakimnya. Pembangunan Gedung dan segala macam perangkat organisasi ini tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bahkan hampir mengambil seluruh porsi anggaran yang didapat dari bantuan Kabupaten induk. Konsekuensinya, urusan jalan yang rusak, sekolah yang mau rubuh, petani yang kekurangan air dan pupuk akan masih seperti sebelumnya. Nanti setelah pemerintahan terbentuk baru dipikirkan bagaimana menyelesaikannya.

Logika Up to down ini jelas terlihat dari logika APBD yang lebih berkonsentrasi pada belanja pegawai daripada pembangunan ril. Sebagai contoh, dari data Kementrian Keuangan: APBD Kabupaten Bekasi tahun 2010 sebesar 1,383 Triliun dan 750 milyar dianggarkan untuk Belanja Pegawai. Sementara itu, APBD Kota Bekasi menyediakan dana buat Belanja Pegawai sebesar 702 Milyar dari total APBD sebesar 1, 657 Triliun. Kita belom tahu berapa anggaran daerah Kabupaten Bekasi nantinya. Tapi kalau mengikuti logika ini, kita boleh bertanya kira-kira berapa lama masyarakat Bekasi Utara menjadi sejahtera?

Kesejahteraan adalah ukuran dari keberhasilan suatu pemerintahan. Seperti yang disebutkan dalam undang-undang dasar: Mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintahan bukan saja soal memilih bupati dan anggota DPRD baru, tapi yang lebih esensial adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan itu. Dan pertimbangan ini yang tampaknya selalu luput dari suatu kajian pembentukan daerah otonom baru.

Tanri Abeng dalam satu kesempatan menyatakan bahwa semakin kecil wilayah satu daerah maka skala ekonominya akan semakin kecil. Kalau sumber daya ekonominya terbatas, modal apa yang bisa dijadikan pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakatnya? Mengandalkan dana perimbangan pusat? Tentu saja keliru. Karena semakin banyak daerah otonom baru maka DAU dan DAK yang dibagikan Pemerintah Pusat akan semakin kecil. Pendapatan nasional kita tidak bertambah sementara dananya harus dibagi ke Kabupaten dan propinsi yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Makanya di Negara lain seperti Jepang, yang lagi ngetrend adalah bagaimana satu wilayah bergabung dengan wilayah lain untuk mengakselerasi pembangunan. Bahkan di Eropa seperti yang kita tahu bersama mereka bersatu menjadikan EURO sebagai mata uang kawasan.

Di Indonesia, konsep Megapolitan yang sempat berembus, hanya menjadi hiasan halaman koran belaka. Padahal jika pengelolaan daerah ibukota dan sekitarnya benar-benar disatukan, bukan tidak mungkin Bekasi menjadi sentra pembangunan berikutnya setelah padatnya kawasan Jakarta. Menurut saya, pertanyaan berikutnya mana yang lebih relevan: pemekaran atau penggabungan?

Roni Pradana - Direktur Ilalang-Institute Bekasi

(brat)


Sumber :
http://bekasiterkini.com/read/3036/kabupaten-bekasi-pemekaran-atau-penggabungan-
1 Juli 2011
Sumber Gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bekasi

No comments:

Post a Comment