Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah memiliki sejarah cukup panjang dalam sistem kenegaraan Indonesia. Dimulai sejak diberlakukannya Decentralitatie Wet tahun 1903 di zaman kolonial Belanda. Diteruskan dengan peraturan perundangan nasional yang silih berganti mengatur pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, dari UU No.1 Tahun 1945 hingga UU No. 5 Tahun 1974. Namun sampai sejauh itu, otonomi daerah dianggap hanya sekadar suplemen dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akibat dominannya peran dan intervensi Pemerintah Pusat.
Perhatian secara lebih intensif terhadap otonomi daerah, baru hadir pada 1996. Melalui Keppres No. 11 tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah, ditetapkan setiap tanggal 25 April. Pertimbangan penetapan tanggal tersebut karena 25 April 1995 merupakan momentum peresmian pemantapan Daerah Percontohan Otonomi dengan titik berat pada Daerah Tingkat II (kabupaten/kota). Tuntutan Reformasi Pemerintahan Daerah yang hadir pada tahun 1998, ternyata memberikan dorongan yang lebih besar terhadap penguatan otonomi daerah. Melalui UU No. 22 Tahun 1999, otonomi daerah yang seluas-luasnya ditempatkan pada daerah kabupaten/kota, serta diserahkannya kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten/kota, kecuali enam urusan yang tetap menjadi kewenangan Pusat.
Terjadi dinamika yang sangat tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sejak diberlakukannya undang-undang ini. Bahkan untuk beberapa hal justru muncul lompatan-lompatan besar di luar perkiraan penyusun undang-undang tersebut, sehingga tanpa diharapkan justru menghadirkan turbulancy dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Misalnya, kecenderungan hadirnya raja-raja kecil di daerah, pembangkangan bupati/ walikota terhadap gubernur yang terjadi secara merata. Bahkan, secara perlahan-lahan namun pasti, berkembang politik dinasti di daerah.
Kondisi tersebut diantisipasi dengan menghadirkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk sinkronisasi tata pemerintahan daerah dengan pengembangan demokrasi lokal. Regulasi yang terkait dengan rekruitmen kepemimpinan daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, diakomodasi dalam undang-undang ini.
Namun fakta menunjukkan, bahwa proses transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia belum berjalan baik. Hadirnya wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung bersama kepala daerah, semula diharapkan memperkuat kepemimpinan daerah, justru menghadirkan kepemimpinan daerah yang tidak efektif. Kurang lebih 96% hubungan kepala daerah dengan wakilnya tidak harmonis, serta menimbulkan friksi dan pengkotakkotakan aparat birokrasi pemerintahan.
Pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara langsung, terutama di kabupaten/ kota, ternyata menghadirkan biaya demokrasi lokal yang sangat tinggi, serta tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Hal ini ditengarai penyebab 291 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah, lebih dari 3.000 orang anggota DPRD serta 1.500 aparatur birokrasi pemerintahan daerah, harus berurusan dengan hukum karena tindak pidana korupsi.
Banyak Capaian
Mencermati perkembangan otonomi daerah dalam 17 tahun terakhir ini, sebagai bagian dari transisi pemerintahan daerah dan demokrasi lokal yang masih terus berjalan, cukup banyak capaian yang telah diraih, walaupun terdapat beberapa kelemahan regulasi dan sistem pendukung yang masih terus harus dibenahi. Dari perspektif berdemokrasi, kebijakan otonomi daerah telah memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat di daerah untuk berpartisipasi membangun daerahnya. Otonomi daerah juga menjadi salah satu penopang pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di Indonesia, serta meningkatnya skala ekonomi masyarakat di daerah.
Pemerintah terus menata aspek regulasi otonomi daerah, dengan merevisi UU No. 32 tahun 2004. Dalam rangka mengakomodasiisu-isu strategis dalam pemerintahan desa, pemerintahan daerah maupun rekuitmen kepemimpinan daerah, saat ini tengah dipersiapkan RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemilihan Kepala Daerah dan RUU Pemerintahan Desa, yang merupakan konversi terhadapkondisi kekinian penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pemekaran Daerah Otonom Baru ke depan, dirancang relevan dengan Desain Besar Penataan Daerah (Desartada), setelah dilakukan moratorium pemekaran daerah empat tahun terakhir ini. Daerah-daerah yang akan dimekarkan misalnya, wajib menjadi daerah persiapan selama 3 hingga 5 tahun, sebelum menjadi daerah otonom penuh. Selama menjadi daerah persiapan, semua persyaratan teknis,administratif sebagai daerah otonom harus dipersiapkan secara matang, untuk menghindari maraknya konflik-konflik ketika ditetapkan sebagai daerah otonom baru. RUUPemerintahan Daerah juga menata kembali kewenangan dan urusan pemerintahan daerah, kelembagaan, sumber daya aparatur dan pembiayaan daerah, yang disesuaikan dengan besaran kewenangan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Sementara itu, penataan terhadap demokrasi lokal yang diarahkan pada sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan tidak langsung, calon kepala daerah dipilih secara berpasangan atau tunggal, penyelesaian sengketa pilkada diusulkan di MA tidak lagi di MK, pengaturan politik kekerabatan, pembiayaan pilkada serta wacana pilkada serentak, juga telah dituangkan ke dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah. Dengan menata ulang regulasi ini, maka demokrasi lokal diharapkan berkorelasi positif terhadap efektivitas pemerintahan daerah.
Dalam rangka penguatan desa dengan kewenangan otonomi aslinya, maka kehadiran RUU Desa dilandasi pada pengembangan keanekaragaman desa, di mana istilah desa disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai budaya masyarakat yang ada di setiap daerah otonom kabupaten dan provinsi di Indonesia. RUU Desa mencoba mengangkat semangat demokratisasi di tingkat desa, di mana penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat luas. Demikian juga dengan hakhak tradisional yang perlu dilestarikan, sehingga pemerintah desa diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai budaya yang ada.
Waktu 17 tahun penyelenggaraan otonomi daerah luas ini, boleh dibilang merupakan usia remaja yang penuh dinamika dan gejolak. Namun, dalam usia ini seyogianya kita semakin menuju kepada kematangan berotonomi daerah. Revisi terhadap UU No. 32 Tahun 2004 yang tengah dibahas Pemerintah dan DPR, adalah momentum yang tepat untuk konsolidasi regulasi kebijakan desentralisasi kita.
Selamat Hari Ulang Tahun OTDA ke 17, semoga daerah kita menjadi semakin maju dan mandiri.
Sumber :
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Suara Pembaruan, 9 April 2013, dalam :
http://otda.kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/744-17-tahun-otonomi-daerah
No comments:
Post a Comment